Peringati Harganas, BKKBN Jabar Ajak Keluarga Lebih Sadar Stunting
BANDUNG | WARTAKENCANA.COM
Percepatan penurunan stunting memerlukan cara baru yang lebih kolaboratif dan berkesinambungan, dari hulu hingga hilir. Jika sebelumnya lebih sibuk dalam penanganan bayi setelah lahir, ke depan bakal turut menyasar calon keluarga. Cara baru ini diharapkan menurunkan prevalensi stunting secara radikal dari 26,2 persen pada 2019 menjadi 14 persen pada 2014 mendatang dan benar-benar menghilangkan stunting baru (zero new stunting) mulai 2023. Segenap pemangku kepentingan di Jawa Barat memastikan diri siap berkolaborasi menjemput era baru tanpa stunting.
Tekad bersama tersebut menjadi poin penting webinar seri kedua dalam rangka peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) 2021 yang dihelat Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat pada Rabu, 7 Juli 2021. Memanfaatkan platform Zoom, seluruh narasumber dan peserta mengikuti acara secara virtual dari tempat masing-masing. Seluruh rangkaian webinar terdokumentasi secara virtual dan bisa terus disaksikan melalui kanal Youtube BKKBN Jawa Barat.
Webinar menghadirkan Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Jawa Barat Atalia Praratya Ridwan Kamil, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Wahidin, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat Siska Gerfianti, Ketua Pengurus Daerah Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Jawa Barat Eva Rianti, Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat Idam Rahmat, Kepala Bidang Kelembagaan dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPM Desa) Jawa Barat Lisa Avianty, dan Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Jawa Barat Frima Nurahmi. Sekretaris Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Barat Najip Hendra SP memandu jalannya webinar dari studio e-learning Bidang Pelatihan dan Pengembangan BKKBN Jawa Barat di Jalan Sederhana Nomor 1 Kota Bandung.
Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Wahidin menjelaskan, setelah ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk menjadi Ketua Pelaksana Percepatan Penanganan Sunting mulai memetakan sasaran secara cermat. Sasaran itu meliputi calon pengantin atau calon pasangan usia subur (PUS), PUS dengan usia isteri < 20 tahun, ibu hamil, ibu menyusui, unmet need terhadap pelayanan keluarga berencana (KB), anak berusia 0-59 bulan, PUS dengan status miskin dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, dan remaja.
“Sebagai konduktor baru, tentu BKKBN berupaya menyelaraskan seluruh proses yang sudah berlangsung. Bukan mengganti atau mengubah total. Ini dilakukan karena setelah memperhatikan data, kita menemukan dua di antara faktor risiko stunting yang dapat dicegah dan dampaknya sangat besar. Selama ini, 32 persen kasus stunting terjadi karena pernikahan anak usia 16-18 tahun. Kemudian, 32 persen kasus stunting terjadi karena anemia. Dua penyebab ini bisa diintervensi sejak awal, dari hulu,” terang Wahidin.
Bagi doktor ilmu manajemen sumber daya manusia ini, pendekatan hulu yang menjadi tawaran BKKBN tersebut sudah sangat selaras dengan agenda Jawa Barat untuk mencapai zero new stunting pada 2023 mendatang. Alasannya, stunting baru bisa dicegah dengan cara menyiapkan calon keluarga secara tepat. Keluarga diajak sadar stunting sejak dini. Dalam hal ini termasuk remaja yang nota bene bakal menjadi keluarga-keluarga baru.
“Strategi Pemprov Jawa Barat untuk mencapai zero new stunting yaitu dengan berfokus pada remaja atau dari hulu. Dengan kata lain, mempersiapkan kondisi pranikah, kehamilan, hingga pascapersalinan. Tiga bulan sebelum pernikahan, calon ibu mengikuti pembekalan dan screening kesehatan. Pada masa kehamilan, seluruh bidan memantau dan mengawasi ibu hamil. Pada masa interval pasca kelahiran, semua ibu dimotivasi untuk menggunakan KB dan diberi pelayanan secara gratis. Selain itu, ibu melahirkan juga dibimbing dan diarahkan untuk memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif,” papar Wahidin.
“KIE ke depan akan lebih baik jika diarahkan secara spesifik dan mengacu pada wilayah Jawa Barat. Misalnya, memberi KIE terkait gizi dengan memberi contoh yang mudah diperoleh di Jawa Barat. Pendamping keluarga di tingkat desa, yaitu PKK, bidan, dan kader KB yang secara eksplisit akan melakukan pendampingan,” Wahidin menambahkan.
Hal senada datang dari Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Bappeda Jawa Barat Idam Rahmat. Idam menjelaskan, upaya percepatan penurunan stunting di Jawa Barat mengacu kepada Rencana Aksi Daerah Pecegahan dan Penanggulangan Stunting Jawa Barat tahun 2019-2023 yang ditetapkan melalui sebuah peraturan gubernur. Rencana aksi ini mengacu kepada Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting Tahun 2018-2024 yang sudah terlebih dahulu diterbitkan sebelum Presiden menunjuk BKKBN sebagai konduktor baru.
“Rencana aksi ini disiapkan untuk mencapai target zero new stunting pada 2023 mendatang. Sebagai ketua tim, Bappeda harus mengawal kondisi, perencanaan program, pelaksanaan, dan evaluasi penanganan stunting. Kami tidak sendirian. Ada belasan organisasi perangkat daerah yang membidangi 11 urusan terkait untuk bersama-sama bersinergi melakukan konvergensi percepatan penurunan stunting di Jawa Barat. Bappeda berupaya memastikan bahwa seluruh perangkat daerah yang terlibat dalam penanganan stunting bekerja dan berjalan efektif,” papar Idam.
Idam menegaskan, tuntutan percepatan yang diminta Presiden membutuhkan cara baru yang lebih menyeluruh dan kolaboratif. Hal yang perlu ditekankan adalah kesadaran orang tua dan perubahan perilaku masyarakat Jawa Barat dalam menghadapi stunting. Di sinilah pentingnya mempersiapkan kehidupan keluarga sejak pranikah.
“Apabila upaya penurunan stunting di Jawa Barat diteruskan dengan pola yang sudah ada, target prevalensi 14 persen pada 2024 tidak akan tercapai. Jika business as usual, pada 2024 mendatang Jawa Barat diperkirakan mencapai angka 17,1 persen. Karena itu, perlu percepatan yang dilakukan bersama-sama dan menyeluruh dari hulu hingga hilir,” tandas Idam.
Di sisi lain, Plt Kepala DP3AKB Jawa Barat Siska Gerfianti menekankan tiga pilar penting pencegahan stunting berbasis keluarga dan lingkungan. Dok Sis, sapaan akrab Siska Gerfianti, menepis anggapan bahwa stunting dipicu kekurangan gizi akibat kemiskinan. Spesialis Dokter Layanan Primer ini menilai stunting berkaitan erat dengan masalah perilaku masyarakat.
“Stunting tidak melulu berkaitan dengan masalah kemiskinan. Dari persentil tiga keluarga terkaya di Indonesia, ternyata ada anak yang stunting. Tidak melulu. Bukan satu-satunya faktor penyebab. Kami di DP3AKB menilai ada tiga pilar penanganan stunting, yaitu pola makan, pola asuh, dan sanitasi,” ungkap Dok Sis.
“Pola asuh dalam keluarga sangat penting. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat, sebagai sekolah pertama dan utama. Keluarga adalah fondasi utama dalam membangun ketahanan bangsa. Karena itu, penting melakukan pengasuhan berbasis hak, sebab persoalan stunting bukan hanya soal pola makan, melainkan juga pola asuh,” Ketua Pelompok Kerja IV Tim Penggerak PKK Jawa Barat ini menambahkan.
Wakil Ketua Umum Jabar Bergerak ini menambahkan, pola asuh berbasis hak anak kian penting manakala dikaitkan dengan dampak buruk pernikahan anak. Faktanya, risiko ibu/bayi meninggal saat persalinan lima kali lebih besar dan 40 persen anak berisiko terlahir stunting. Belum lagi adanya temuan bahwa 85 persen anak perempuan mengakhiri pernikahan setelah menikah dan 41 persen kekerasaan dalam keluarga dianggap wajar oleh perempuan.
Apa saja yang sudah dilakukan? Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Jawa Barat Frima Nurahmi merinci sejumlah intervensi spesifik yang sudah dilakuan dalam beberapa tahun terakhir. Sebut saja misalnya pemeriksaan kehamilan, pemberian makanan tambahan (PMT) bagi ibu hamil kekuarangan energi kronis (KEK), suplementasi tablet tambah darah (TTD) ibu hamil dan remaja putri, suplementasi kalsium, imunisasi, tata laksana gizi buruk, pemantauan dan promosi pertumbuhan, pemantauan tumbuh kembang, suplemen gizi makro, dan lain-lain.
“Dinkes juga melakukan intervensi gizi spesifik pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK), mulai periode dalam kandungan (280 hari), ibu nifas dan menyusui, periode 0-6 bulan, dan periode balita 6-23 bulan 540 hari. Intervensi terhadap remaja putri berupa pemberian tablet tambah darah. Hal ini untuk mempersiapkan calon ibu yang sehat bebas anemia,” terang Frima.
Frima memastikan protokol pelayanan gizi pada masa pandemi Covid-19 tetap dilakukan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Beberapa hal dilakukan secara daring. Bentuk lainnya dengan melakukan kunjungan rumah bagi balita berisiko.
Menanggapi melempemnya penurunan stunting sebagaimana tercermin dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 lalu, Kepala Bidang Kelembagaan dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat DPM Desa Jawa Barat Lisa Avianty menduga masih kurang intensifnya koordinasi antara pemanku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat. Padahal, Lisa menilai Jawa Barat memiliki potensi sangat besar untuk bersama-sama bergerak dengan cara memberdayakan masyarakat di perdesaan. Dia mencontohkan, berdasarkan peta potensi Jawa Barat, saat ini terdapat 52.432 pos pelayanan terpadu (Posyandu). Tidak kurang dari 78,31 persen kader posyandu juga berstatus aktif.
“Masih ada ketidaksinkronan pengaturan dana desa untuk pencegahan stunting. Bahkan, masih ada desa yang belum melakukan pelaporan penggunaan karena memang sifatnya belum wajib. Kami melihat penanganan stunting juga dapat diupayakan melalui program Akademi Desa Juara, Sekolah Bisnis Juara, juga Patriot Desa. Saat ini pencegahan stunting belum ada di dalam kurikulum Akademi Desa Juara,” ungkap Lisa.
Lisa menjelaskan, saat ini DPM Desa Jawa Barat terus melakukan sejumlah lankah strategis guna mendukung percepatan penurunan stunting. Beberapa di antaranya adalah penguatan kelembagaan pokjanal posyandu, penerbitan Peraturan Gubernur Nomor 66 tahun 2020 untuk penambahan meja konseling di posyandu penanganan stunting, menerbitkan surat edaran untuk alokasi dana desa dan penanganan stunting, advokasi penggunaan dana desa untuk skala prioritas di lokus stunting, dan lain-lain.
PKK All Out Turunkan Stunting
Perang melawan stunting juga bukan semata dilakukan pemerintah. Dua kelompok masyarakat memastikan diri untuk all out bersama-sama pemerintah memerangi stunting. Ketua IBI Jawa Barat Eva Rianti menegaskan 23 ribu bidan anggota IBI di Jawa Barat siap menjadi bagian dari aliansi besar percepatan penurunan stunting di Jawa Barat.
“Di lapangan, bidan selalu berdampingan dengan kader PKK, posyandu, dan juga penyuluh KB. Bidan melakukan pendekatan continum of care dan life cycle dalam upaya pencegahan stunting. Penanganan stunting bahkan harus dimulai sejak wanita menginjak usia subur. Karena itu, bidan memiliki peran kolaborasi dalam pencegahan stunting melalui intervensi sensitif, pendidikan, sosial, spesifik, dan kesehatan. Bidan bergerak di desa, puskesmas, dan juga praktik mandiri,” tandas Eva.
Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat Atalia Praratya Ridwan Kamil menegaskan, langkah pertama menangani persoalan stunting adalah menumbuhkan kesadaran di keluarga dan masyarakat tentang pentingnya pencegahan stunting. Penanganan stunting harus dimulai dari hulu ke hilir, edukasi masyarakat tentang pola asuh anak dan remaja serta menguatkan ketahanan keluarga dan edukasi orang tua untuk melakukan pengasuhan terbaik termasuk 1.000 HPK.
“Harus ada kolaborasi dan tidak saling menyalahkan antarpihak dalam rangka penanganan stunting. Dalam hal ini, PKK memiliki kader yang paling banyak di lapangan. Kami punya 1,5 juta kader di Jawa Barat yang siap membantu percepatan penurunan stunting. Saya berharap pertemuan ini menghasilkan langkah-langah nyata yang dapat diaktualisasikan di lapangan,” tegas Atalia langsung dari Gedung Pakuan di Jalan Otto Iskandardinata Nomor 1 Kota Bandung.
Bunda Generasi Berencana (Genre) Jawa Barat ini mengingatkan, kondisi pandemi Covid-19 menjadi tantangan luar biasa untuk petugas lapangan. Ini turut berpengaruh dalam upaya-upaya penanganan stunting. Karena itu, harus ada upaya terobosan dan inovasi supaya masyarakat dapat tertangani dalam hal pemenuhan keperluan kesehatan keluarga. Atalia yang akrab disapa Bu Cinta ini mengapresiasi berbagai pihak yang selama ini terus berijabku dalam upaya percepatan penurunan stunting.
“Saya berharap ada hasil berupa kesepakatan bersama terkait tugas masing-masing bidang sehingga dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara kolaboratif dan tidak tumpeng tindih antarbidang atau antarlembaga. Tentu, peran PKK di level provinsi adalah lebih banyak mendorong peran aktif kabupaten/kota,” ungkap Bu Cinta.
Dalam konteks pencegahan stunting, Pokja I PKK Jawa Barat terus melakukan sosialisasi ketahanan keluarga, meliputi pola asuh anak dan ketahanan remaja. Pokja III melakukan sosialisasi gerakan makan telur dan ayam. PKK mendorong supaya keluarga-keluarga tidak hanya merawat halaman dengan keindahan, namun juga digunakan untuk menghasilkan protein. Misalnya, dengan mengembangbiakkan ikan seperti mujair atau lele, juga beternak ayam.
“Disinyalir masyarakat lebih suka membeli rokok daripada telur. Padahal harganya hampir sama. Anak-anak pun disinyalir tidak menyukai makan makanan berprotein karena mengikuti kebiasaan makan orang tua. Ini menjadi tugas kita semua melakukan sosialisasi dan edukasi kepada keluarga,” ungkap Atalia.
Pada saat yang sama, Pokja IV PKK mendorong perilaku hidup sehat melalui berbagai media. Pihaknya juga mendorong penambahan meja posyandu keenam, yaitu meja konsultasi khusus terkait stunting, disabilitas, dan permasalahan lain seputar tumbuh kembang anak. PKK mendorong program Sekoper Cinta dengan harapan terbentuknya pengetahuan perempuan untuk membentuknya menjadi pribadi yang terampil.(NJP)