Otonomi daerah sempat menjadi mimpi buruk bagi kelangsungan program keluarga berencana (KB) di daerah. Kegamangan makin menjadi-jadi saat organisasi perangkat daerah (OPD) yang menangani KB disapih dari induknya, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang kemudian bertransformasi menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Bak anak ayam kehilangan induk, OPD KB kehilangan orientasi program. Tak hanya itu, petugas lapangan atau PLKB yang selama ini menjadi motor penggerak di lini lapangan menyusut drastis tergerus kebijakan mutasi pegawai.
Beruntung, performa program KB mulai menggeliat selama beberapa tahun terakhir. Rentang waktu yang disebut Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jabar Soeroso Dasar sebagai periode “cacat sejarah” program KB perlahan menunjukkan perbaikan. Komitmen pemerintah daerah terhadap program KB mulai tampak. KB pun berhasil mendapatkan tempat sebagai urusan wajib pemerintah daerah. Muncullah Badan KB dengan sejumlah nomenklatur berbeda di kabupaten dan kota.
Tuntaskah urusan kelembagaan “urusan wajib” pemerintah ini? Tentu saja tidak. Ada saja tumpang tindih di sana-sini. Karut-marut penempatan pegawai menambah benang kusut pelayanan KB di daerah. Tak ada ukuran baku untuk menentukan keberhasilan program KB di suatu daerah. Barangkali itulah salah satu alasan BKKBN untuk mengeluarkan panduan tolok ukur pelayanan melalui Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang KB dan Keluarga Sejahtera yang mulai dirilis 2010 lalu, setahun setelah Undang-undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Apa saja isinya? Mari kita simak jeroan panduan SPM ini.
Dalam panduan tersebut dijelaskan, SPM KB dan KS merupakan tolok ukur kinerja pelayanan KB dan keluarga sejahtera yang diselenggarakan pemerintah daerah. Pelayanan yang dimaksudkan dalam SPM ini ini meliputi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) KB, penyediaan obat dan alat kontrasepsi, dan penyediaan informasi data mikro. SPM ini merupakan pelayanan dasar kepada masyarakat. Hal ini mencerminkan fungsi pemerintah dalam memberikan dan mengurus keperluan kebutuhan dasar masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sesuai namanya, SPM merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara.
Ada tiga jenis layanan dasar dengan sembilan indikator kinerja di dalamnya. Pelayanan KIE memiliki tujuh indikator, penyediaan alat dan obat kontrasepsi satu indikator, dan satu indikator penyediaan informasi data mikro. Seluruh indikator tersebut ditargetkan tuntas pada 2014 mendatang.
Indikator pertama pelayanan KIE meliputi cakupan pasangan usia subur (PUS) yang istrinya di bawah usia 20 tahun sebesar 3,5 persen. Dari seluruh PUS yang ada, indikator kedua menargetkan 65 persen di antaranya menjadi peserta KB aktif. Sementara PUS yang tidak terlayani (unmet need) ditargetkan hanya tersisa lima persen.
Indikator juga nenetapkan 70 persen cakupan Bina Keluarga Balita (BKB) menjadi peserta KB aktif. Sementara 87 persen cakupan PUS peserta KB ditargetkan menjadi anggota Unit Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS). Untuk mendukung kinerja tersebut, rasio penyuluh KB atau petugas lapangan KB terhadap desa atau kelurahan alah 1:2. Artinya, satu penyuluh atau PLKB mengurusi dua desa atau kelurahan. Mereka diharapkan bisa dibantu masing-masing seorang petugas Pembantu Pembina KB Desa (PPKBD) untuk setiap desa.
Berikutnya untuk penyediaan alat dan obat kontrasepsi ditetapkan BKKBN mampu memenuhi permintaan masyarakat sebesar 30 persen. Sisanya dilakukan oleh swasta. Sementara penyediaan informasi data mikro diharapkan bisa dilayani secara menyeluruh atau 100 persen.
Dalam beberapa kesempatan, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Siti Fathonah menegaskan, penyediaan informasi merupakan prasyarat utama untuk memberikan pelayanan KB berkualitas kepada masyarakat. Ke depan, Fathonah menargetkan seluruh data mikro bisa disajikan secara online. Dia juga berjanji untuk menjaga akurasi data yang disajikan kepada publik tersebut.
Di bagian lain, Fathonah menjelaskan pembagian tugas antara pemerintah daerah dan pusat dalam memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Bila sebelumnya KB menjadi “monopoli” BKKBN, kini sebagian besar tugas itu diserahkan kepada pemerintah daerah. Wajar bila kemudian SPM KB dan KS mengatur pelaksanaan di tingkat kabupaten dan kota. Meski begitu, pusat tetap mendapat kewenangan secara proporsional.
“SPM KB dan KS ini menjadi tanggung jawab bupati dan wali kota di daerah yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan satuan kerja perangkat daerah (SPKD) yang bersangkutan. SPM juga menjadi acuan dalam penyusunan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Para kepala daerah ini melaporkan pelaksanaan SPM sesuai pedoman yang telah ditentukan,” jelas Fathonah.
Lalu, di mana peran BKKBN? Setidaknya terdapat tiga hal yang dilakukan BKKBN sebagai representasi pemerintah pusat. Pertama, melakukan monitoring dan evaluasi. Kedua, pengembangan kapasitas daerah melalui fasilitasi petunjuk teknis, bimbingan teknis, dan pemberian orientasi dan pelatihan. Ketiga, pendanaan program yang berkaitan dengan penetapan kebijakan, pembinaan dan fasilitasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan, dan fasilitasi.
“Hasil monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM digunakan sebagai masukan bagi pengembangan kapasitas pemerintah daerah. Tentu, fasilitasi pengembangan kapasitas daerah sudah memperhitungkan kemampuan daerah. Maklum, tidak semua daerah atau kepala daerah memiliki kemampuan yang sama dalam melaksanakan SPM,” urai Fathonah. (NJP)