Home / Berita Utama / Profesor Tegaskan Stunting Butuh Pendekatan Multidisiplin

Profesor Tegaskan Stunting Butuh Pendekatan Multidisiplin

BKKBN Ajak 100 Profesor Cari Cara Cepat Turunkan Stunting
Webinar Seri 100 Profesor Bicara Stunting yang dihelat Perwakilan BKKBN Jawa Barat pada 5 Juli 2021.

BANDUNG | WARTAKENCANA.COM

Penanggulangan stunting tidak bisa mengandalkan pada satu pihak atau satu disiplin ilmu. Hal ini bisa dimengerti mengingat tingginya prevalensi dan kompleksnya masalah yang dihadapi. Pendekatan multisiplin ini menjadi sangat penting jika pemerintah menginginkan penurunan secara radikal, dari 27,6 persen pada 2019 lalu menjadi hanya 14 persen pada 2024 mendatang.

Demikian salah satu simpulan dari webinar seri perdana yang dihelat Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat pada Senin, 5 Juli 2021. Webinar menghadirkan tiga guru besar anggota Asosiasi Profesor Indonesia (API) dari tiga kampus utama Jawa Barat: Meutia Hatta Swasono dari Universitas Indonesia (UI), Hardinsyah dari IPB University, dan Hendriati Agustiani dari Universitas Padjadjaran (Unpad). Tiga guru besar tersebut menjadi bagian dari 100 profesor yang dimintai sarannya oleh BKKBN dalam upaya percepatan penurunan stunting di Indonesia.

Selain tiga profesor, webinar terlebih dahulu menghadirkan berturut-turut Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum, Deputi Kepala BKKBN Bidang Pelatihan dan Pengembangan Rizal Damanik, dan Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan keluarga (PKK) Jawa Barat Atalia Praratya Ridwan Kamil. Webinar dipandu Ketua Koalisi Kependudukan Indonesia (KKI) Jawa Barat Ferry Hadiyanto.

“Di sinilah kerja sama antara pihak peneliti di bidang kedokteran atau kesehatan dengan bidang antropologi dapat bekerjasama. Dalam perencanaan dan pelaksanaan program gizi untuk mencegah stunting misalnya. Ilmuwan kesehatan dapat menyampaikan komunikasi kesehatan yang mudah dipahami kader dan masyarakat melalui bekerjasama dengan ilmuwan komunikasi yang mengetahui infografis yang tepat dan efektif,” ungkap Meutia Hatta.

“Kemudian, ilmuwan antropologi dapat memberi masukan mengenai aspek sosial-budaya masyarakat yang memungkinkan warga masyarakat menerima dengan baik pesan-pesan komunikasi kesehatan yang direncanakan. Sementara itu, dari ilmuwan psikologi diperlukan pemahaman mengenai tipe kepribadian masyarakat yang perlu diberi program pemenuhan gizi,” tambah guru besar Departemen Antrologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI tersebut.

Secara khusus, sambung Meutia, dalam kerjasama penelitian antardisiplin terkait bidang antropologi dan bidang psikologi, ilmuwan psikologi dapat menjembatani peranan mertua dan peranan ibu dalam memutuskan pemberian makanan terbaik untuk bayi dalam periode 1.000 hari pertama kehidupan. Juga bersama-sama menemukan cara-cara mengurangi potensi konflik mental antara pihak yang berkuasa dan yang lemah (tertekan) dalam hubungan antarwarga dan rumah tangga penerima program.

Dari sisi disiplin ilmu gizi, guru besar ilmu gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB University Hardinsyah menekankan pentingnya pemenuhan gizi sejak awal 1000 hari pertama kelahiran. Perbaikan gizi dimulai dari ibu hamil, ibu menyusui, pemberian air susu ibu (ASI), dan makanan pendamping ASI (MPASI) yang tepat, aman, dan bergizi. Hardinsyah mencontohkan rendahnya konsumsi telor di Indonesia.

Padahal, sambung Hardinsyah, sebuah riset menunjukkan bahwa pemberian satu butir telur setiap hari selama enam bulan pada anak 6-9 bukan mampu menurunkan stunting hingga 47 persen dan underweight 74 persen. Merujuk hasil Susenas 2018 lalu, konsumsi telur di Indonesia hanya sembiln butir per bulan atau sekitar 16,5 gram per hari. Ini jauh di bawah China yang menyentuh angka 50 gram per hari atau bahkan Malaysia yang berada pada kisaran 35-40 gram per hari.

“Gizi seimbang dengan pengayaan tertentu pada pangan sumber protein, terutama telur, ikan, dan susu dapat mencegah stunting. Juga, perbaikan gizi bumil (ibu hamil) dapat dilakukan melalui penguatan fungsi keluarga, antara lain melalui peningkatan peran suami dan anggota keluarga untuk memberikan perhatian, doa, kasih sayang, perlindungan, dan memberikan prioritas makanan, dan minuman bagi pemenuhan gizi bumil serta mengurangi beban kerja dan meminimalkan stres bumil,” papar Ketua Umum Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia tersebut menambahkan.

Dalam perspektif psikologi, guru besar Fakultas Psikologi Unpad Hendriati Agustiani menekankan bahwa stunting dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Salah satunya orang tua memegang peranan penting dalam membentuk perilaku makan dari anak melalui pola asuh dan gaya makan. Di sinilah pentingnya pola asuh orang tua terhadap anakanya.

“Orang tua dapat memberi pengaruh besar pada kebiasaan makan anak-anak. Tindakan orang tua mengacu pada harapan menyiapkan anak menghadapi kehidupan. Karena itu, peran parenting dalam pencegahan stunting sangat signifikan. Ini menyangkut kesiapan calon ibu dan calon ayah dalam menghadapi kehamilan. Dalam hal ini kesiapan kesiapan fisik maupun psikologis,” tandas Hendriati.

100 Profesor Bicara Stunting

Dalam laporannya, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Wahidin berharap para guru besar yang dihadirkan secara khusus bisa memberikan terobosan untuk mempercepat penurunan stunting di Jawa Barat maupun di Indonesia. Menurut Wahidin, pelibatan para profesor dalam percepatan penanganan stunting juga selaras dengan pesan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang menekankan pentingnya kolaborasi dalam mewujudkan Jawa Barat Juara Lahir Batin.

Di forum yang sama, Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat Atalia Praratya Ridwan Kamil menilai pelibatan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu menjadi aksi nyata dalam pembangunan Jawa Barat. Dalam hal ini, setiap potensi warga dimaksimalkan untuk memberikan sumbangsih bagi penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi Jawa Barat.

“Akademisi bantu bagaimana mengatasi permasalahan yang ada. Mereka yang punya tenaga membantu dengan tenaga. Saya bersama relawan PKK juga terus bergerak di lapangan. Semua bergerak untuk Jawa Barat. Saya mengapresiasi setiap upaya kolaborasi dalam membangun Jawa Barat. Dalam konteks stunting ini, saya berharap para guru besar bisa membantu memetakan jalan percepatan penurunan menjadi zero stunting pada 2023 mendatang,” tegas Atalia.

Hal ini senada dengan pesan Wakil Gubernur Uu Ruzhanul Ulum yang menekankan bahwa stunting bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah. Melainkan turut penting untuk melibatkan masyarakat dalam upaya bersama percepatan penurunan stunting. Di sini, Uu menegaskan agar ibu hamil harus mendapat pendidian, baik kesehatan, lingkungan, dan lain-lain.

“Kami yakin stunting akan menurun dengan kerjasama semua. Untuk anggaran, kita bisa bicarakan. Tidak ada yang sukses tanpa anggaran. Pemerintah mengapresiasi, anggaran pun akan diperhatikan. Intinya adalah bagaimana menangani stunting ini karena nasib masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh anak-anak sekarang. Nasib kita ke depan di tangan anak bangsa. Pemuda atau anak-anak hari ini pemimpin masa depan. Kalau kita tidak menyiapkan, kami khawatir di masa depan tidak sesuai dengan yang kita harapkan,” tandas Uu.

Sementara itu, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menilai perlunya belajar dari sejumlah negara yang terbukti sukses dalam menurunkan stunting secara signifikan. Dia mencontohkan riset terkini yang dilakukan pada 2020 di lima negara: Nepal, Etiopoia, Peru, Kirgistan, dan Senegal. Lima negara ini berhasil menurunkan stunting dalam tempo tidak terlalu lama.

“Menurut saya lima ini bisa menjadi bahan kajian karena menarik sekali. Betapa Peru bisa turun jauh lebih rendah dari 20 persen sebagai standar WHO dalam waktu yang relatif singkat. Peru sangat luar biasa. Tahun 2008 masih mendekati 30 persen, kemudian 2014 sudah di bawah 20 persen. Saya kira contoh Peru contoh luar biasa penurunnya,” kata Hasto.

Dokter kandungan ini optimistis para profesor mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi hingga menemukan solusi cepat dalam penurunan stunting di Indonesia. Apalagi sampai saat ini stunting di sejumlah daerah di Indonesia masih memprihatinkan. Sebut saja misalnya di NTT dan Sulawesi Barat yang masih sangat tinggi.

“Saya yakin para ahli, profesor, akan sangat lebih mudah menganalisis permasalahan-permasalahan ini. Tidak bisa dilakansaakan biasa-biasa saja. Perlu melibatkan banyak pihak, termasuk para guru besar di Indonesia. Ini latar belakang kegiatan mengadakan kegiatan secara serentak,” mantan Bupati Kulonprogo tersebut menambahkan.(NJP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top