Home / Featured / Lebih Dekat dengan Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Barat Fazar Supriadi Sentosa

Lebih Dekat dengan Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Barat Fazar Supriadi Sentosa

Kepala Perwakilan BKKBN Jabar Fazar Supriadi Sentosa usai dikukuhkan Gubernur Ridwan Kamil di GOR Saparua, Kota Bandung, Jumat 11 Agustus 2023. Turut menyaksikan antara lain Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Tb Ace Hasan Syadzily, Deputi Bidang Adpin BKKBN Sukaryo Teguh Santoso, dan Ketua Perkadis KB Jawa Barat Muhammad Hairun. (IRFAN HQ/BKKBN JABAR)

Kehadiran Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jawa Barat Fazar Supriadi Sentosa di Bumi Parahyangan kini makin afdhal. Jumat siang tadi, 11 Agustus 2023, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengukuhkan pria berdarah Tasikmalaya ini sebagai nakhoda BKKBN Jawa Barat di GOR Saparua, Kota Bandung. Bagaimana Fazar melihat Jawa Barat dan apa yang akan dilakukannya selama memimpin program Bangga Kencana dan percepatan penurunan stunting di provinsi dengan jumlah penduduk terbesar tersebut, mari kita simak hasil wawancara Warta Kencana dengan pria kelahiran Bandung tersebut berikut ini!

Pak Kaper, selamat datang di Jawa Barat. Kapan kali pertama Anda tahu bakal ditugaskan di Jawa Barat?

Makasih, Kang. Saya sebetulnya bukan orang asing di Jawa Barat. Saya memang menapaki karir sebagai pegawai BKKBN di Bangka. Namun demikian, ayah saya orang Tasikmalaya. Saya lahir di Ujungberung, Kota Bandung. Jadi, ke Jawa Barat itu ada unsur nostalgia juga. Leluhur saya di Jawa Barat. Terkait penugasan di Jawa Barat, terus terang saya kaget juga. Tidak menyangka akan ditugaskan di Jawa Barat. Saat dilantik pada 22 Juni 2023 pun tidak tahu akan ditempatkan di mana. Memang ada clue dari Pak Kepala (BKKBN) saat dipanggil pada tanggal 17 (Juni) akan ditempatkan di provinsi besar. Tapi kan provinsi besar yang tidak ada pejabat definitif itu gak hanya Jabar, ada Sumut, Sulsel, Sumsel, dan Jateng. Jadi, itu tetap menjadi rahasia. Saat ada yang nanya pun saya jawab belum tahu karena memang belum tahu.

Sebelum ke Jawa Barat, seluruh karir Anda dihabiskan di Bangka Belitung. Bisa diceritakan?

Saya mengawali karir sebagai petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) pada 1993 di Kota Pangkalpinang, Pulau Bangka. Waktu itu belum menjadi provinsi sendiri, masih bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Enam tahun kemudian, pada 1999 saya mendapat promosi menjadi kepala sub seksi, eselon V. Kebetulan waktu itu ada tiga jabatan kepala sub seksi yang kosong di BKKBN Kota Pangkalpinang. Dua tahun kemudian, karena Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berdiri, maka ditariklah ke BKKBN Provinsi sebagai kepala sub bagian perlengkapan dan perbekalan selama dua tahun. Karena dulu sangat terbatas orangnya dan sarananya juga terbatas, saya merangkap jadi operator perencanaan. Kemudian, akhirnya karena memang Kasubag Perencanaan itu orang Palembang, dia pindah ke Palembang. Saya menggantikannya menjadi Kasubag Perencanaan selama tiga tahun.

Pada 2006 saya ditunjuk jadi Sekretaris Perwakilan BKKBN Babel. Seingat saya, pada saat dlantik itu usia 37 tahun dan menjadi Sekretaris BKKBN Provinsi termuda kala itu. Sembilan tahun saya menjadi sekretaris. Setelah itu jadi Kepala Bidang Keluarga Sejahtera dan Pembangunan Keluarga (KSPK) selama dua tahun. Selama menjadi Kabid KSPK, saya juga  merangkap Kabid Advokasi, Penggerakan, dan Informsi (Adpin). Pada saat jadi Kabid Apdin itu saya ikut seleksi pimpinan tinggi pratama Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Babel. Alhamdulillah saya lulus dan dilantik sebagai Kepala Perwakilan pada 20 Maret 2020. Dengan demikian, sebelum ke Jawa Barat ini memang saya menghabiskan karir di Babel.

Selama menjadi pegawai maupun pejabat di Babel, apa yang menurut Anda menarik?

Dibanding Jawa Barat, Babel ini jauh lebih kecil. Penduduknya juga sedikit, jadi semuanya kenal dengan orang-orangnya. Kepala dinas kenal semua. Karena sedikit jadi lebih mudah dalam melaksanakan program. Dalam memberikan contoh juga lebih mudah. Terlebih saya berangkat dari lapangan, PLKB, terbiasa menyampaikan atau melakukan KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi). Saya ini sama dengan Pak Wahidin (Kepala Biro Perencanaan BKKBN, red) dan Pak Teguh (Deputi Bidang Adpin BKKBN, red). Sama-sama memulai karir dari penyuluh. Sama-sama susah jadi PLKB. Kemudian sama-sama pernah menjadi Kepala BKKBN Jawa Barat, hehehe…

PLKB dulu itu susah, tidak seperti sekarang. Saat ini PLKB atau PKB disediakan (sepeda) motor, uang operasional, laptop dibelikan, dan fasilitas-fasilitas lainnya. Ke mana-mana ada uang transportasi. Kalo dulu gak ada apapun. Hanya PLKB di Jawa yang dapat (sepeda) motor itu. Daerah Sumatera, Kalimantan, dan daerah luar Jawa lainnya tidak dapat (sepeda motor). Padahal, medan (di luar Pulau Jawa) lebih berat. Jadi kita susah. Tapi karena memang kita PLKB bekerja dengan ikhlas, ya dikerjakan saja. Saya pernah mendapat penghargaan sebagai PLKB Teladan.

Bagaimana dengan Jawa Barat?

Jawa Barat jelas berbeda dari Babel. Jawa Barat ini (provinsi) paling besar di Indonesia, penduduknya paling banyak. Itu memerlukan orang yang memang “petarung.” Mungkin Pak Kepala (BBKBN) melihat saya seorang petarung. Saya dianggap berhasil di Bangka Belitung, kemudian dikirim untuk provinsi lebih besar. Jadi, ini masa coba-coba juga karena kan wilayah maupun jumlah penduduk sangat jauh perbandingannya. Penduduk Babel hanya 1,5 juta jiwa, sementara Jawa Barat hampir 50 juta jiwa. Jumlah kabupaten dan kota juga jauh berbeda. Babel hanya memiliki tujuh kabupaten dan kota, sementara Jawa Barat memiliki 27 kabupaten dan kota.

Walaupun begitu, saya optimistis. Kalau kita bicara teknik, semuanya sebetulnya sama. Teknik pengelolaan program di provinsi kecil dan provinsi besar sama saja. Kalau diibaratkan sebagai olahraga, perbedaannya pada stamina. Tekniknya sudah dikuasai, berikutnya harus menyiapkan stamina.

Setelah beberapa hari di Jawa Barat, apakah sudah terasa tuntutan butuh stamina lebih besar?

Itu yang saya rasakan. Kalau di Babel, Sabtu-Minggu itu biasanya saya sudah tidak memikirkan pekerjaan. Kecuali jika ada agenda rapat pimpinan dengan BKKBN Pusat misalnya. Makanya kalau di Babel itu saya biasanya Sabtu-Minggu tidak pegang handphone. Saya menikmati hobi bertani. Di Jabar tidak bisa. Sekarang Sabtu-Minggu pas buka handphone WA-nya penuh. “Pak ini siapa yang mau ditugaskan ke acara A? Siapa ke acara B, acara C, dan seterusnya.” Gak ada hari libur saking padatnya agenda.  Akhirnya kita bagi-bagi siapa yang menghadiri undangan A, kegiatan B, dan seterusnya. Saya menghadiri yang penting-penting saja.

Sebagai contoh, untuk kegiatan kemitraan dengan Komisi IX DPR RI, ini saya akan bagi-bagi. Jumlahnya ada 120 titik. Saya juga tidak mungkin mengikuti 120 kan? Sebagai perintah Pak Kepala, Sestama, dan Deputi Adpin, kemitraan dengan Komisi IX ini menjadi perhatian khusus kami di BKKBN. Itu harus diatur nanti.

Saat ditunjuk menjadi Kepala BKKBN Jabar, apakah ada tugas khusus dari Kepala BKKBN?

Ada dua yang menjadi pesan utama Pak Kepala. Pertama, mewujudkan Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM). Kedua, meningkatkan kualitas dan cakupan pelaporan program. Terkait yang kedua ini, setiap kali berkunjung ke lapangan dan bertemu para petugas di Balai Penyuluhan KB, saya selalu bertanya kepada teman-teman penyuluh. Saya lihat memang belum nyambung, belum sinkron antara yang dilakukan dengan yang dilaporkan. Padahal laporan ini yang akan ditagih atau ditanyakan. Saya ambil contoh, berapa banyak jalan tol Pak Jokowi yang dibangun selama Pak Jokowi memerintah, jawabannya adalah jumlah kilometer. Nah, kalau dalam pelayanan keluarga berencana (KB) misalnya, yang akan ditanyakan adalah berapa jumlah akseptor atau peserta KB.

Harus diakui bahwa pelaporan di Jawa Barat masih belum optimal. Pada momentum Pelayanan Sejuta Sektor (PSA) beberapa waktu lalu, Jawa Barat tercatat melayani 500 ribu akseptor. Dari jumlah tersebut, cakupan laporannya hanya 25 persen. Ini sangat jauh dari jumlah yang harus dilaporkan. Waktu di Babel, saya menekankan bahwa laporan harus diinput 100 persen. Belum boleh pulang kalau (laporan) belum masuk Siga atau Sistem Informasi Keluarga, belum terinput semua. Walaupun gak semua, artinya sudah sampai. Makanya di sana kalau sudah oke, baru pulang. Pas sudah 100 persen saya suruh stop. Berbeda denga provinsi lain, ada 200 persen misalnya. Kalau Babel gak perlu (lebih dari 100 persen), yang penting target tercapai. Tidak usah juara lah, yang penting kita beneran sudah. Itu dibangunnya dari awal, gak bisalangsung begitu. Nah, kita bangun di Jawa Barat ini begitu nanti. Ini kan sudah bertahap. Saya minta waktu enam bulan. Kalau dulu di Babel minta dua bulan tetapi satu bulan sudah selesai.

Apa yang menjadi kendala sehingga cakupan laporan tidak bisa 100 persen?

Bagian paling krusial itu di bagian lapangannya. Dia harus nyambung. Sekarang misalnya di desa mana, Bapak tidak melapor, Bapak tidak membina. Saya bisa melihat dari Bandung. Kita ada 3 ribu PLKB, kita bisa lihat dia membina apa. Setiap saya ke Balai Penyuluhan saya tanya, berapa kali pergi ke KUA (Kantor Urusan Agama), ke fasilitas kesehatan (faskes), ke kelompok kegiatan (poktan)? Jawabannya bermacam-macam. Padahal tugas dari penyuluh itu melakukan pencatatan dan pelaporan. Itu kuncinya ada di situ.

Saya lihat isi visum penuh, tapi tidak terlaporkan. Itu kan bertolak belakang. Yang herannya lagi, di Balai Penyuluhan itu tidak 100 persen cakupan laporannya. Padahal dia berada di sana, masak tidak dilaporkan. Makanya, pesan Pak Kepala (BKKBN) sangat jelas, cakuopan laporan harus 100 persen. Yang penting cakupannya dulu, kualitasnya kita berangsur tingkatkan. Ini harus jadi komitmen PKB. Sebenarnya bekerja itu jangan dipikirkan jadi beban. Kalau jadi beban, jadi susah itu semuanya. Kalau kita lakukan sebagai ibadah, kita akan mendapat kemudahan dari Allah swt.

Saya punya pengalaman konkret tentang pentingnya laporan lengkap dan berkualitas ini. Saya masih ingat ketika Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akan menyalurkan bantuan pembangunan rumah layak huni bagi keluarga yang sebelumnya tidak memiliki rumah layak huni. Ketika ditanya siapa yang harus menerima bantuan, saya langsung jawab. Saya tunjukkan rumahnya, punya Bu Erna dan Pak Ruslan. Mengapa saya bisa menunjukkan, karena sebelumnya kita melakukan pendataan dengan baik, by name by address. Lebih dari sakadar menjalankan tugas, ini adalah ibadah untuk membantu saudara-saudara yang membutuhkan. Doa-doa yang merasa terbantu ini yang menjadikan tugas-tugas terasa mudah dan ringan.

Dengan dua tugas utama yang diberikan Kepala BKKBN, apa yang menjadi prioritas Anda di Jawa Barat?

Bentuknya melakukan penekanan kepada semuanya, secara infrastruktur tidak ada masalah, sumber daya manusia (SDM) Jawa Barat juga bagus-bagus, lebih ke etos kerja. Dari Aspek lain, upaya percepatan penurunan stunting tidak bisa bekerja sendiri. Harus melibatkan lintas sektor, komitmen pimpinan daerah, dan masyarakat itu sendiri. Jika komitmen pimpinan kurang, otomatis ke bawahnya juga kurang. Kalau pimpinannya memiliki komitmen kuat, semuanya terangkat.

Beberapa hari lalu saya mengikuti kegiatan monitoring evaluasi aksi stunting (Moring) di Tasikmalaya. Di sana sudah terlihat kolaborasi dalam aksi konvergensi percepatan penurunan stunting. Memang ada yang kurang dan ditingkatkan. Harus dipacu lagi. Selama ini penanganan stunting lebih kepada kuratif. Padahal, stunting ini lebih ke hulunya. Sebagai contoh, Dinas Pendidikan ini memberikan kontribusi kepada stunting itu. Sosialisasi dan edukasi pebcegahan stunting di sekolah harus lebih massif.

Kembali ke soal prioritas, Jawa Barat ini sudah unggul. Dari sisi SDM sudah mumpuni, S2-nya banyak sekali. Selama ini mungkin belum diarahkan, masih kurang. Kita kalau bekerja ini kan harus diarahkan. Untuk PKB/PLKB misalnya, itu seluruh Kedeputian itu ada di dia semua. Kalau bekerja dengan hati nurani dan dianggap sebagai ibadah, itu modal yang luar biasa. Makanya kalau kita melakukan itu harus kita pikirkan ke sana. Kita kan tidak punya uang untuk diberikan, jadi anggap ini sebagai ibadah. Kalau orang yang mampu kita bisa mengasih uang, bantu ini bantu ini. Dengan omongan, kita bisa sebagai ladang ibadah yang luar biasa juga.

Di luar kualitas SDM, apakah secara kuantitas sudah sesuai kebutuhan? Bagaimana rasio petugas terhadap masyarakat yang harus dilayani?

Kalau dari sisi rasio terhadap jumlah penduduk dan jumlah warga yang harus dilayani saya lihat sudah cukup. PKB/PLKB ASN lebih dari 1.000 orang, honorernya banyak. Tidak bermasalah lagi. Yang terpenting tugas sebagai PKB itu ada 10 langkah. Terakhir itu kan ada pencatatan dan pelaporan. Ke KUA, Puskemas, dan lain-lain kalau sudah melakukan berarti sudah menjalankan. Kalau bilang sudah, hasilnya dilaporkan. Kalau laporannya tidak 100 persen, berarti tidak dikerjakan. Kalau dikerjakan tidak 100 persen berarti tidak dilaporkan. Setiap PKB itu kan ada targetnya, berapa akseptor barunya, berapa kampung KB yang harus dibentuk, begitu seterusnya. Kita harus concern pada indikator kinerja.

Dalam konteks manajemen, kita turut memperhatikan penghargaan dan hukuman (reward and punishment). Itu yang akan kita lakukan. Orang yang bekerja dihargai, orang yang tidak bekerja juga harus dihargai juga, dibalas karena dia makai uang rakyat. Kalau dia di rumah tidak ke lapangan, yang dia pakai kan uang rakyat, makanya harus dikasih juga terguran. Intinya, kita harus menjunjung tinggi sportivitas, fairness. Yang berprestasi dihargai, yang melanggar atau kinerjanya buruk harus dihukum.

Oke, Pak. Ngomong-ngomong sudah ke mana saja selama beberapa hari bertugas di Jawa Barat?

Selama sembilan hari ini saya sudah berkunjung ke tujuh kabupaten dan kota. Bertemua kepala dinas, beberapa wakil bupati, dan sudah bertemu wakil gubernur.

Bagaimana kesannya selama berkunjung keliling Jawa Barat? Apa yang Anda sukai di Jawa Barat?

Yang saya sukai di Jawa Barat tentu alamnya sejuk. Ini berbeda dengan Babel yang panas karena berada di kepulauan. Di Jawa Barat ini, walaupun ada pantai tapi juga memiliki bentang alam pegunungan yang sejuk dan segar. Terlebih ada kenangan juga saya ketika melihat sawah. Ini seperti mengembalikan kenangan saya puluhan tahun silam. Di sana sebetulnya  ada sawah, tapi tidak berpetak-petak seperti di sini. Di sini kita bisa melihat hamparan sawah menghijau yang sangat luas.

Terakhir, selain sebagai pejabat BKKBN, Anda menggambarkan diri seperti apa? Katanya pernah menjadi seorang petinju pro?

Saya itu berprinsip harus dikenal orang. Saat sekolah misalnya, apapun yang saya lakukan orang harus kenal dengan saya. Kalau di kelas kita harus menonjol. Tentu bukan menonjol karena hal negatif. Nah, karena saya merasa kecakapan otak terbatas, saya menekuni olahraga. Saya pikir melalui olahraga inilah orang bisa mengenal saya. Waktu SD masih ada lah ranking, tapi waktu di SMP kayaknya jauh.

Saya optimalkan potensi saya di olahraga. Dulu saya melakukan semuanya, dari lari kemudian lempar lembing, bulutangkis, dan lain-lain. Waktu kelas 1 SMP itu juara 1 bulutangkis. Cuma saya berpikir untuk mencari uang dan ketenaran itu tidak cukup dengan menjadi pemain bulutangkis. Banyak orang yang bulutangkis. Saya kemudian memilih bertinju. Saya mulai dari kelas 2 SMP. Saya bergabung dan berlatih di sasana punya PT Timah. Melalui tinju inilah saya makin dikenal. Saya berlatih dengan sangat keras. Hasilnya tidak mengecewakan. Saya tercatat menjadi petinju profesional di  kancah nasional.

Cuma ya di negara kita itu olahraga tidak bisa jadi jaminan untuk hidup sejahtera. Akhirnya saya banting setir, meneruskan  pendidikan. Saya disuruh orang tua kuliah, ya sudah saya kuliah saja. Tapi saya melihat jiwa sebagai olahragawan selalu tumbuh dalam diri saya. Daya juang dan sportivitas membantu saya untuk bekerja keras dalam menyelesaikan setiap tugas atau pekerjaan. Termasuk dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai ASN di BKKBN. Karena itu, saya optimistis dengan kerja keras kita bisa mewujudkan Jabar Juara demi mewujudkan Indonesia Maju.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top