Wawancara Khusus dengan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) Kabupaten Sukabumi H. Ade Mulyadi
Undang-undang RI Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sudah diundangkan lebih dari tiga tahun lalu. Namun demikian, pemerintah terkesan gamang. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKB) yang menjadi amanat UU tersebut tak kunjung terbentuk. Di Jawa Barat, praktis hanya Kabupaten Sukabumi yang berani mendeklarasikan. Kini menjadi SKPD yang diperhitungkan. Kampung Keluarga Kecil Berkualitas (KKB) menjadi sebuah model pembangunan terpadu berwawasan kependudukan. Kepala BKKBD Kabupaten Sukabumi Ade Mulyadi memberikan penjelasan khusus ihwal transformasi kelembagaan yang dipimpinnya. Berikut petikannya.
Sukabumi merupakan daerah pertama di Jabar yang membentuk BKKBD, apa latar belakang dan bagaimana prosesnya?
Latar belakangnya sebenarnya sederhana. Pembangunan itu kan ditentukan oleh parameter indeks pembangunan manusia (IPM). Indeks ini meliputi pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Sudah jelas, ketika berbicara manusia berarti kita berbicara tentang penduduk. Kalau sudah begitu diperlukann adanya lembaga yang secara khusus menangani kependudukan. Selama ini tidak. Nah, secara regulasi, nomenklatur kependudukan ini sudah diatur dalam UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang PKPK. Di sana disebutkan bahwa daerah harus membentuk BKKBD. Tidak yang harus dipertentangkan, kan? Makanya kami jalan terus.
Turunan peraturan dari UU 52/2009 yang mengatur BKKBD sendiri belum ada? Bagaimana bisa terbentuk?
Begini, kalau kita menunggu mau sampai kapan? Sekarang saja sudah lebih dari tiga tahun belum keluar juga PP (Peraturan Pemerintah, red). Di sana sudah jelas. Kami hanya melaksanakan. Kalau toh akhirnya ternyata berbeda dengan regulasi turunan UU, ya kita ubah saja. Kelembagaan ini kan bukan produk mati. Dinamis sekali sehingga sangat mungkin berubah.
Sebenarnya apa manfaat yang muncul dengan adanya BKKBD?
Keuntungan terbesar adalah adanya integrasi pengendalian penduduk dan keluarga berencana (KB) dalam satu atap. Kami juga mengembangkan model penggarapan terpadu tersebut melalui Kampung KKB. Melalui Kampung KKB inilah pembangunan yang berpusat kepada penduduk (People-centerd Development) dilaksanakan. Di sini berlangsung pembangunan pendidikan, kesehatan, dan perekonomian di level mikro.
Seperti apa bentuknya?
Dinamakan model kegiatan integratif karena semua berlangsung dalam satu kesatuan program. Muaranya adalah bagaimana meningkatkan derajat pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat.
Bagaimana prosesnya?
Kita memulai dengan adanya lokakarya di tingkat kecamatan. Lokakarya ini untuk memberikan pemahaman kepada tim kecamatan, bagaimana pengelolaan KB dan substansi KB yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Kemudian ada lokakarya mini di desa untuk menentukan kampung mana yang akan dijadikan lokasi sasaran. Setelah ditetapkan lokasi sasaran, maka kader-kader yang ada di desa itu dilatih di tingkat kabupaten untuk memahami dalam menggali data, potensi dan permasalahan.
Lalu data diolah menjadi informasi yang berkaitan dengan jumlah anak usia 0-6 tahun atau sudah mempunyai akta lahir atau belum. Kalau belum, maka kader akan melakukan pembinaan dan menyelesaikan kerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Selanjutnya adalah berkaitan dengan anak tumbuh usia 12 tahun dan usia 13-18 tahun. Kalau ada anak yang tidak sekolah, maka dilakukan pendekatan pembinaan. Apakah anak itu harus masuk ke sekolah atau cukup mengikuti paket ujian saja, hal itu nantinya diserahkan kepada Dinas Pendidikan.
Menyangkut kesejahteraan atau taraf ekonomi, bagaimana itu dilakukan?
Kita bisa memanfaatkan lahan yang dimiliki keluarga. Kader dibina bagaimana memanfaatkan lahan-lahan yang ada di sekeliling rumahnya. Inilah yang kelak dinamakan rumah pangan yang berfungsi mendorong peningkatan gizi. Jadi manfaat kampung KB tersebut sangat menyeluruh untuk kesejahteraan masyarakat melalui program terintegrasi dari data dan informasi yang telah digali oleh kader. Jadi, dari masyarakat, untuk masyakarat dan dilakukan juga oleh masyarakat.
Siapa saja yang terlibat?
Semua pihak. Ya, kalau berkaitan dengan kesehatan oleh Dinas Kesehatan, pelayanan KB oleh kita, pelayanan kependudukan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, ekonominya oleh Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, atau Dinas perikanan. Ada juga yang dibina Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Dengan begitu, para kader melakukannya dengan fokus. Insya Allah dengan dilakukannya kampung KKB, pelaksanaan kegiatan fokus pada 1 kegiatan 1 lokasi. Semuanya dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat, melalui pelatihan pada kader-kader yang ada di masyarakat.
Berapa banyak kampung KB yang sudah terbentuk?
Tahun 2013 ini kita sudah memiliki 90 kelompok pada 18 kecamatan. Insya Allah 2014 akan bertambah. Memang ini juga bergantung pada kebijakan Pak Bupati. Kami menargetkan Kampung KKB ini akan terbentuk di seluruh kecamatan.
Sambutan dari pihak lain?
Sejauh ini kami berhasil membangun kerjasama yang bagus dengan OPD-OPD lain. Tentu, harus kami akui masih ada yang kurang. Sampai sekarang sudah banyak kader-kader yang membuatkan akta-akta kelahiran. Dulu kan terhambat karena pembuatan akta yang satu tahun ke atas harus sidang terlebih dulu. Tapi Alhamdulilah ada perubahan di yudisial, di MK, sehingga mulai 1 Mei bisa melakukan pembuatan akta tersebut. Pembuatan KTP juga dibantu. Lalu dari (Dinas) Kesehatan membantu membuat jamban keluarga. Sementara dari Dinas Pendidikan mereka proaktif melaksanakan kelompok belajar paket A, paket B, dan paket C.
Dukungan kepala daerah sendiri sejauh mana?
Alhamdulilah, Pak Bupati sangat respons terhadap pengendalian penduduk ini, terutama dengan BKKBD. Ini pertama dari sisi kebijakan, regulasinya kita adalah daerah di Jawa Barat yang pertama memiliki BKKBD. Dari kebijakan anggaran, Alhamdulilah untuk 2013 ini kita diberikan anggaran Rp 15 miliar. Mudah-mudahan untuk tahun 2014 sekitar Rp 16 miliar.(*)