Home / Berita Utama / Reuni Karib Lama di Perbatasan

Reuni Karib Lama di Perbatasan

Membangun dari Pinggiran (3)

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, Wakil Gubernur Uu Ruzhanul Ulum, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nasuha KH Usamah Mansyur, Bupati Cirebon, dan Kepala BKKBN Jabar.

Sosialisasi PKBR yang berlangsung di Pondok Pesantren An-Nasuha bukan pertemuan biasa. Bagi Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, kegiatan ini menjadi semacam reuni bagi BKKBN dan dunia pesantren dalam memasyarakatkan program keluarga berencana.

Menjadi Bupati Kulonprogo selama tujuh tahun memberikan pengalaman berharga bagi Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo. Salah satunya terkait bagaimana membangun sinergi antara pemerintah, termasuk pemerintah daerah, dengan kalangan ulama atau pondok pesantren.  Salah satu rumusnya, barang siapa yang ingin menjadi umara atau pemerintah yang baik, maka ia harus dengan ulama. Rumus itu pula yang menjadi pegangan Hasto.

“Saya banyak mendengar dari para kiai selama menjadi bupati selama tujuh tahun di Kulonprogo. Kalau mau menjadi umara yang baik, banyak-banyaklah berkunjung kepada ulama. Ilmunya para ulama kita terapkan pada saat menjadi umara. Karena itu, sejak empat bulan menjadi kepala BKKBN ini saya memilih untuk datang ke pesantren, untuk belajar kepada Pak Kiai,” kata Hasto saat menyambangi Pondok Pesantren An-Nasuha di Desa Kalimukti, Kecamatan Pabedilan, Kabupaten Cirebon, dalam rangka pelayanan terpadu kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) Jawa Barat-Jawa Tengah akhir Oktober 2019.

Lebih dari sekadar kegiatan momentum, Hasto menilai sosialisasi penyiapan kehidupan berkaluarga bagi remaja (PKBR) yang dilakukan di Pontren An-Nasuha merupakan sinergi antara ulama-umara dalam pembangunan KKBPK. Apalagi, kebersamaan BKKBN dan kalangan pondok pesantren bukan hal baru. Jauh sebelum kunjungan perdananya ke pesantren sebagai kepala BKKBN, kerjasama BKKBN dengan para kiai maupun lembaga pendidikan pesantren sudah berlangsung sangat lama.

“Saya katakan ini adalah reuni karena dulu BKKBN sudah bekerjasama dengan pesantren dengan baik. Terima kasih sekali kepada Pak Kiai. Kita sekarang menyambung kembali silaturahmi yang baik pada masa lalu,” ungkap Hasto sambil menyampaikan salam hormat kepada Pengasuh Pondok Pesantren An-Nasuha KH Usamah Mansyur yang duduk bersama dengan ratusan santrinya.

Menanggapi secara khusus pernyataan Kiai Usamah terkait pendidikan seks dalam referensi klasik pesantren, Hasto menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya. Menurutnya, apa yang dipaparkan Kiai Usamah sudah sangat sesuai dengan visi dan misi BKKBN. Yakni, mendorong pendewasaan usia perkawinan melalui perencanaan keluarga sebaik-baiknya.

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo bercerita pengalamannya selama menjadi Bupati Kulonprogo yang senantiasa bermitra dengan kalangan pondok pesantren.

Pada dasarnya, sambung Hasto, agama dan ilmu pengetahuan memiliki kesamaan. Dia mencontohkan, Al-Quran mengatur bahwa jarak antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya adalah 30 bulan. Angka ini tidak jauh berbeda dengan Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) yang menetapkan jarak ideal kelahiran adalah 33 bulan. Jadi, memang sains dan agama berjalan beriringan. Nah, peran pesantren dan para kiai atau ulama terletak pada penjembatanan dua sumber keilmuan tersebut.

Sejumlah hasil penelitian menunjukkan, jarak kehamilan kurang dari dua tahun menjadi pemicu kelahiran kasus stunting. Anak memiliki tinggi banyak yang kurang, agak kerdil, dan otaknya tidak tumbuh dengan baik. Sebagian lagi tercatat autis. Itu banyak terjadi pada anak dengan jarak kelahiran yang dekat.

“Maka saya yakin dengan apa yang disampaikan Pak Kiai tadi bahwa kita harus belajar kepada pondok pesantren. Terkait jarak kehamilan misalnya, Al-Quran dan WHO selisihnya sedikit saja. Karena itu, kami sangat nyambung sekali. Terlebih Pak Kiai menyampaikan bahwa dalam kitab kuning banyak mengajarkan tentang sex education,” kata Hasto.

“Ke depan, saya berharap BKKBN dan pondok pesantren bekerjasama untuk menyiapkan program program penyiapan bagi remaja. Program ini sangat penting untuk menyiapkan generasi berkualitas. Di sinilah pentingnya generasi berencana,” tambah dokter kandungan yang sebelumnya pernah menjabat Ketua Program Studi Program Pendidikan Dokter Spesialis Obsetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Kepada ratusan santri dan siswa madrasah di lingkungan Pondok Pesantren An-Nasuha, Hasto lantas menguraikan perbedaan perilaku seksual antara kucing dengan manusia. Hasto bercerita, Tuhan menyiapkan emosi seksual kucing dengan memunculkan rangsangan pada masa subur. Pada periode inilah kucing betina mengeluarkan bau yang dapat dicium kucing jantan hingga radius 1 kilometer. Sang jantan pun datang. Maka terjadilah hubungan seperti suami-istri pada manusia.

Ini sangat berbeda dengan manusia. Manusia bisa terangsang emosi seksnya setiap saat.  Pada saat berdekatan atau bergesekan pun sudah bisa terangsang. Karena itu, perencanaan itu menjadi sangat penting karena emosinya selalu digoda. Setiap saat bisa muncul libido.

“Kalau sama seperti kucing, masyaallah berat sekali. Bisa jadi, 1 kilometer dari sini ada yang masa subur, maka laki-laki gelisah. Untungnya berbeda. Kemunculan emisi seks laki-laki melalui mata. Melihat aurat perempuan sedikit saja bisa terangsang emosi seksnya. Tapi perempuan tidak begitu. Karena itu, perempuan menutup auratnya lebih luas dari laki-laki,” papar Hasto lagi.

Dengan demikian, sambungnya, pendidikan seks itu bisa dilakukan dengan cara tidak jauh dari pendidikan agama. Bahkan, sumbernya dari nilai-nilai agama tadi.

Penyiapan kehidupan berkeluarga juga menjadi sangat penting karena berkaitan dengan aspek kesehatan dan kematangan emosional. BKKBN menyarankan usia menikah minimal 21 tahun bagi perempuan 21 tahun dan 25 tahun bagi laki-laki. Sari sisi kesehatan, imbuhnya, perempuan yang berumur 20 tahun sudah memiliki ukuran panggul rata-rata 10 centimeter. Ini sesuai dengan ukuran kepala bayi.

Penampilan Tari Topeng Cirebon memeriahkan sosialisasi PKBR di Pondok Pesantren An-Nasuha Cirebon, perbatasan Jabar-Jateng.

Perempuan usia kurang dari 20 tahun memiliki ukuran lebih sempit. Akibatnya, ketika melahirkan anak akan mengalami kesulitan karena jalan keluarnya bayi terhambat. Ukuran panggul yang sempit juga menjadi pemicu utama kanker servis atau kanker mulut rahim.

Berdasarkan data Survei Kinerja dan Akuntabiltas Program KKBPK 2018, usia kawin pertama di Jawa Barat masih di bawah usia ideal yang dianjurkan BKKBN yaitu 19 tahun. Usia kawin pertama di Jawa Barat masih rendah, terutama di perdesaan maupun daerah perbatasan. Salah satunya akibat kurang terpaparnya remaja di wilayah perdesaan atau perbatasan terhadap informasi tentang perencanaan keluarga.

“Karena itu, kegiatan sosialisasi program PKBR di wilayah perbatasan menjadi penting untuk dilaksanakan, mengingat urgensinya untuk menyebarluaskan informasi seputar program Genre yang juga harus menyentuh daerah perbatasan yang masih jarang tersentuh. Dalam kesempatan ini dilakukan pula penandatanganan penyerahan Distribusi Dinamis alat obat kontrasepsi dari BKKBN Provinsi Jawa Tengah ke BKKBN Provinsi Jawa Barat,” papar Hasto. NJP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top