Home / Berita Utama / Proyeksi Penduduk Jabar Terancam Meleset

Proyeksi Penduduk Jabar Terancam Meleset

Saut PS Munthe, Pengamat Kependudukan. (DOK. BKKBN JABAR)

Saut PS Munthe, Pengamat Kependudukan. (DOK. BKKBN JABAR)

Angka proyeksi penduduk Indonesia, tentu saja di dalamnya ada Jawa Barat, menyimpan sejumlah kekhawatiran. Pengamat kependudukan Saut PS Munthe mengkhawatirkan ledakan penduduk Jabar bakal tiba lebih cepat dari proyeksi. Ada banyak implikasi yang bakal timbul dari mereoketnya jumlah penduduk tersebut. Dalam bingkai bonus demografi atau windows of opportunity sekalipun.

Saut mencontohkan, mangacu pAda Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, pada 2020 mendatang penduduk Jabar akan mencapai 50 juta jiawa. Sementara data 2010 saja sudah 43,7 juta jiwa. “Pertambahan penduduknya sangat cepat. Angka 50 juta bisa dicapai sebelum tahun 2020, mungkin tahun 2019 atau 2018 karena kita lihat trend pembangunan Jabar ini sangat cepat,” tutur,” kata Saut.

Alasannya, kata Saut, di Jabar ada rencana pembangunan bandara, pelabuhan dan berbagai insfrastruktur yang mungkin bisa mendorong bertambahnya penduduk Jabar lebih cepat dari yang diproyeksikan. “Kalau kita lihat proyeksi tahun 2035 menurut proyeksi yang dibuat nasional, penduduk Jabar ke angka 57,2 juta. Kalau sampai 2020 ini meleset, mungkin di tahun 2035 angkanya akan melampui angka 60 juta. Ini suatu persoalan yang sangat serius,” terang pengurus Koalisi Kependudukan Pusat ini.

Persoalan serius selanjutnya adalah jumlah penduduk Jabar merupakan provinsi terbanyak penduduknya secara absolut di Indonesia. Menariknya lagi, tahun 2015 penduduk Jabar akan didominasi oleh penduduk usia produktif. Penduduk usia produktif Jabar berada pada kisaran 68-69 per 100 penduduk Jabar. Pada tahun 2015, dari 100 penduduk Jabar adalah 68 penduduk usia produktif, 27 anak-anak tidak produktif, dan hanya lima lansia.

Sementara pada 2035, dari 100 penduduk Jabar terdiri atas 69 usia produktif, 21 anak-anak, dan 10 lansia. “Lansianya meningkat sangat cepat. Ini juga fenomena yang sebetulnya menarik untuk dicermati dari sekarang karena mempersiapkan usia lansia ini tidak bisa dalam waktu pendek,” tuturnya.

Baginya, yang menjadi persoalan dalam proyeksi penduduk di Jabar adalah implikasi yang besar. Ia menjelaskan empat implikasi berkaitan dengan proyeksi penduduk Jabar, yaitu lapangan kerja, pangan, energi, dan sampah. “Bertambahnya satu juta penduduk saja punya implikasi yang amat besar. Kalau satu juta dikalikan dengan kebutuhan beras, perumahan, dan lainnya, tentu saja kita harus menyediakan beribu-ribu ton beras setiap tahun. Berapa hektar sawah yang harus dikonversi menjadi hunian? Belum lagi harus membuat jalan, sekolah, dan insfrastruktur yang mendukung hunian serta pertambahan penduduk itu,” papar Saut.

Penduduk usia produktif membutuhkan pangan yang lebih banyak. Mereka lebih banyak makan dari anak-anak dan lansia. Manusia produktif juga perlu bahan energi yang lebih banyak, perlu menghabiskan bensin lebih banyak dari pada anak-anak dan lansia karena mobilitasnya tinggi. “Usia produktif juga memproduksi sampah lebih banyak,” kata Saut.

Begitu pula terhadap produksi sampah. Ia mengatakan, kalau 50 juta penduduk dengan produksi sampah tinggi tidak dikelola dengan baik akan terjadi bencana serta kerusakan lingkungan. “Sampah masa depan itu makin bervariasi. Kalau dulu sampah itu kebanyakan daun, sebentar lagi telepon seluler jadi sampah, akan banyak (ponsel) terserak dalam bentuk sampah. Mobil dan motor yang berserakan di jalan akan menjadi sampah yang berserakan di mana mana,” jelas Saut.

Sebagai persiapannya, lanjut Saut, maka bidang pendidikan, agama, kesehatan harus mempersiapkan 50 juta penduduk tadi agar mereka produktif. Bukan hanya produktif berdasarkan usia semata. Bagi Saut, bila banyaknya usia produktif atau bonus demografi di Jabar tidak dioptimalkan, maka akan banyak bermunculan lansia yang rentan karena mereka tidak memiliki jaminan kesehatan yang baik. “Mudah-mudahan Pemda Jabar mempersiapkan momentum bonus demografi tersebut agar nanti ketika lewat 2045, lansia memiliki jaminan kesehatan yang baik,” terangnya.

Ia berharap, proyeksi yang dibuat itu tidak meleset terlalu jauh. Itu semua bergantung pada keberhasilan program kependudukan dan keluarga berencana (KKB). “Kalau program KKB sampai tahun 2020 sukses, melesetnya bisa kurang dari 1 juta,” kata Saut. Tetapi, sambungnya, kalau program KKB amburadul, melesetnya bisa sampai 5 juta penduduk. “Komplikasi sosialnya akan sangat luar biasa. Oleh karena itu, program KKB di Jabar harus serius,” ujarnya.

Saut menegaskan, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah kabupaten dan kota dalam mempersiapkan proyeksi di tahun 2020 dan 2035 yaitu harus mencermati data kependudukan tiap tahunnya. ”Jangan sampai ada kabupaten dan koa yang tidak punya data kependudukan lengkap,” tuturnya.

Kedua, lanjutnya, Pemda  harus membuat kebijakan pembangunan sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (PKPK) yang menempatkan penduduk sebagai titik sentral pembangunan. “Kalau mau membangun jalan, yang harus ditanya adalah berapa banyak penduduk yang memanfaatkan jalan itu. Kalau mendirikan pabrik, berapa banyak penduduk yang bisa ditampung menjadi tenaga kerja. Kalau memproduksi pangan, berapa banyak penduduk yang menikmati pangan itu,” papar Saut.

Menurutnya, pemerintah kabupaten kota harus memiliki dua mata tombak kebijakan dalam persiapan proyeksi penduduk, yaitu responsif dan mempengaruhi. Ia memberikan satu kebijakan yang responsif, yakni  model perumahan yang harus dibuat saat ini dalam menangani pertumbuhan penduduk. “Kalau perumahan di Jabar selalu horizontal, habislah sawah kita. Rumah di Jabar harus mulai vertikal, bertingkat. Hal ini untuk  untuk menekan luas tanah yang semakin sempit,” terangnya. Tetapi, kata Saut, secara budaya tidak mudah dilakukan karena budaya di Jabar membuat rumah itu diperluas, bukan dipertinggi. “Secara teknis mudah dilakukan membangun rumah bertingkat,” ujarnya.

Kedua, lanjut Saut, adalah influencing atau mempengaruhi. “Jabar juga harus memperhatikan net migration-nya minus. Caranya kerjasama dengan pemprov lain karena Jabar punya keunggulan, sehingga bisa mengirimkan orang-orang yang unggul ke provinsi mereka. Suatu ketika kita harus mendorong orang Jabar keluar daerah Jabar dan pulau Jawa,” paparnya.

Namun hal yang sangat disayangkan banyak kabupaten dan kota masih cenderung melihat kependudukan dengan kacamata yang pendek, hanya lima tahunan. Ya, sesuai dengan periodisasi masa jabatan kepala daerah. “Saya jarang mendengar bupati yang berpikir 20 atau 25 tahun. Padahal masalah kependudukan itu jangka panjang. Harus ada upaya dari civil society yang memiliki perhatian terhadap KKB mendorong pola pikir pengambil kebijakan,” kata Saut.(RDN)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top