Home / Berita Utama / PKK Dorong PUP Jadi Indikator Pembangunan Desa

PKK Dorong PUP Jadi Indikator Pembangunan Desa

Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat Netty Heryawan. (DOK. BKKBN JABAR)

Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat Netty Heryawan. (DOK. BKKBN JABAR)

BANDUNG – DUAANAK.COM

Pembangunan kependudukan tidak bisa berdiri sendiri. Butuh keterlibatan sejumlah pemangku kepentingan (stake holders) untuk bersama-sama menjadikan kependudukan sebagai sentral pembangunan. Aspek-aspek kependudukan sudah seharusnya menjadi bagian dari indikator pembangunan desa.

Demikian benang merah lokakarya Kesatuan Gerak PKK-KB-Kesehatan 2014 di Gedung PKK Jawa Barat, Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, 9 Oktober 2014. Lokakarya menghadirkan narasumber Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Sugilar, Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat Netty Prasetiyani Heryawan, Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Jawa Barat Nenny Kencanawaty, Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat Alma Lucyati, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Jawa Barat. Acara diikuti satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait dan Tim Penggerak PKK se-Kabupaten dan Kota se-Jawa Barat.

Netty Heryawan mencontohkan, salah satu bentuk konkret perencanaan terpadu di tingkat desa berupa masuknya program pendewasaan usia perkawinan (PUP) dalam indikator pembangunan desa. Untuk itu, pengelola program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) di tingkat lini lapangan harus terlibat aktif dalam Musyarawah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).

“Belum lama ini Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kementerian Hukum dan HAM bersinergi mengembangkan program Desa Sadar Hukum. Salah satu indikator dalam program tersebut adalah perlunya setiap anak yang lahir memiliki akta kelahiran. Saya pikir PUP juga bisa didorong menjadi salah satu indikator pembanguann,” tandas Netty.

Sebagai bagian dari agenda pembangunan global, imbuh Netty, PUP sudah selayaknya menjadi agenda pembangunan masyarakat. Dia mewanti-wanti agar pengelola program tidak terjebak pada istilah atau konsep maupun kebijakan. Lebih penting dari itu adalah substansi kegiatan benar-benar muncul di tengah masyarakat.

“Saya sudah berpesan kepada Ibu Nenny di BP3AKB untuk tidak menggunakan istilah kesetaraan gender atau traficking misalnya. Yang penting bagi masyarakat adalah bagaimana agar tidak terjadi kekerasan di setiap rumah tangga, tidak ada anak yang dilecehkan secara seksual, atau bentuk kekerasan lainnya. Bagi saya dan kita semua, instilah itu tidak penting,” Netty menegaskan.

Kaitannya dengan program PUP yang digulirkan BKKBN dan BP3AKB, Netty menekankan pentingnya substansi itu menjadi indikator pembangunan desa. Bila sudah termasuk, apapun namanya, hal itu bukanlah masalah. Yang penting, tidak ditemukan lagi adanya perempuan yang menikah di bawah usia 20 tahun.

Tentu, langkah tersebut harus dilakukan sejak perencanaan digulirkan. Idealnya masuk sebelum anggaran dana desa (ADD) digelontorkan ke kas desa. Lebih dari sekedar indikator tersebut, kader KB juga harus aktif mengawasi jalannya program pembangunan.

“Angka Rp 1 miliar itu bukan jumlah yang kecil. Perlu pengawasan dari masyarakat secara aktif. Ini harus dikeloladan diawasi dengan baik, petugasnya mendapatkan bintek (bimbingan teknis) dengan baik. Bila tidak diawasi jadi rawan penyimpangan, rawan kebocoran. Ingat Rp 100 juta saja bisa jadi bancakan. Apalagi Rp 1 miliar,” ungkap Netty.

Sebelumnya, Kepala BKKBN Jabar Sugilar menekankan pentingnya kerjasama semua pihak dalam pembangunan kependudukan. Kependudukan yang memiliki matra kuantitas, kulitas, dan mobilitas sangat erat kaitannya dengan pihak lain. Untuk mendukung kualitas misalnya, kependudukan menjadi garapan bersama Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan. Sementara menyangkut mobilitas beririsan dengan administrasi kependudukan dan catatan sipil maupun ketenagakerjaan.

“Benar kata Ibu Ketua Tim Penggerak PKK tadi. Kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, harus bersinergi satu sama lain. Kegiatan posyandu misalnya bisa bersinergi dengan kegiatan bina keluarga balita (BKB) dan pendidikan anak usia dini (PAUD) yang dikelola SKPD berbeda,” Sugilar mencontohkan.(LM/NJP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top