Home / Berita Utama / Menyoal Realitas dan Fenomena Kemiskinan di Jawa Barat

Menyoal Realitas dan Fenomena Kemiskinan di Jawa Barat

Seorang warga miskin menerima bantuan langsung. (DOK. DUAANAK.COM)

Seorang warga miskin menerima bantuan langsung. (DOK. DUAANAK.COM)

Kemiskinan seolah sebuah keharusan sejarah. Bahkan, usia kemiskinan lebih tua dari sejarah itu sendiri. Kemiskinan menjebak dirinya sendiri untuk kemudian mereproduksi menjadi kemiskinan baru. Begitu seterusnya. Sejumlah program pengentasan kemiskinan seolah kesulitan meninggalkan jejak. Kalaupun ada, sangat sedikit dan samar. Tapi, semua itu bukan alasan untuk menjadikan kita pesismistis. Kini, optimisme itu hadir di Jawa Barat.

Ada sebuah cerita menarik ketika IDT alias Instruksi Presiden (Inpres) Desa Tertinggal diperkenalkan dua dekade silam. Memasuki periode senja pemerintahan Orde Baru, pemerintah meluncurkan program peningkatan penanggulangan kemiskinan yang tertuang dalam Instruksi Presiden No. 5 tanggal 27 Desember 1992 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan. Belakangan regulasi ini cukup disebut program IDT. Ini merupakan program tambahan di samping program pembangunan yang telah ada dan disebar pada puluhan ribu desa di 199 kecamatan yang tergolong miskin di Indonesia. IDT direalisasikan mulai 1 April 1994.

Konon, munculnya IDT diawali dengan dipublikasikannya peta kemiskinan yang disusun Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bapenas Ginandjar Kartasasmita bersama dengan pembantu dekatnya, Prof. Mubyarto dan Prof Soegijanto Soegijoko. Peta itu memuat data tentang jumlah penduduk miskin dalam kantong-kantong kemiskinan yang mencapai 1.236 kecamatan atau 34 persen dari 3.625 kecamatan di Indonesia.

Beriringan dengan kemunculan IDT muncul pula anekdot seputar kemiskinan. Sebuah tabloid berbahasa Sunda yang terbit di Jawa Barat menulis judul, “Nu Baheula Embung Disebut Miskin, Ayeuna Pamiskin-miskin.” Judul yang lebih kurang berarti berlomba menyandang status miskin ini seolah menyindir pemerintah desa di Jawa Barat yang berusaha “memiskinkan diri” untuk menerima bantuan dari Jakarta. Bila sebelumnya miskin merupakan sebuah aib, sejak itu miskin dianggap ada gunanya juga. Wajar bila kemudian sejumlah desa di Jawa Barat pamiskin-miskin.

Adakah jejak yang ditinggalkan program IDT tersebut? Wallahualam. Faktanya,  awal Januari 2013 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat merilis tingkat kemiskinan di provinsi paling gemuk di Indonesia tersebut. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat sampai September 2012 berjumlah 4.421.484 orang atau 9,89 persen dari penghuni Jawa Barat itu sendiri. Setahun sebelumnya, September 2011, jumlah warga miskin sebanyak 4.650.810 orang atau 10,57 persen dari jumlah penduduk. Sementara dibanding enam bulan lalu, Maret 2012, tingkat kemiskinan mengalami penurunan 56.046 orang atau 0,20 persen. Pada Maret tersebut, jumlah warga miskin berjumlah 4.477.530 orang atau 10,09 persen dari jumlah penduduk.

Dalam Berita Resmi Statistik (BRS) yang dirilis BPS Jawa Barat tersebut, tampak dalam kurun waktu enam bulan terakhir persentase penduduk miskin yang tinggal di daerah perdesaan turun sebesar 2,10 persen. Adapun di daerah perkotaan turun 0,62 persen. Secara absolut, selama periode Maret 2012 – September 2012, penduduk miskin di perdesaan berkurang 39.969 orang sementara di perkotaan turun sebanyak 16.075 orang. Secara keseluruhan, jumlah penduduk miskin lebih banyak tinggal di perkotaan dibanding perdesaan, yakni 57,89 persen. Adapun sisanya 42,10 persen sisanya berada di perdesaan.

 

Tapal Batas Kemiskinan

Angka-angka kemiskinan di atas menyisakan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana angka-angka itu datang? Atau, bagaimana menghitung kemiskinan sendiri? Jawabannya adalah garis kemiskinan (GK). Dalam proses penghitungan kemiskinan, besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi GK tadi. Itulah tapal batas yang membedakan penduduk miskin dengan mereka yang tidak miskin. Menurut BPS, batasan penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK.

GK juga dibedakan berdasarkan karakteristik masyarakat perkotaan dan perdesaan. Pembeda lainnya adalah makanan dan nonmakanan. Sampai September 2012 lalu, GK perkotaan naik sebesar 4,17 persen dari Maret 2012, dari Rp 239.189 menjadi Rp 249.170. Sedangkan GK perdesaan mengalami kenaikan yang lebih tinggi,  dari Rp 216.610 menjadi Rp 228.577 atau 5,52 persen. Nah, selama Maret 2012 – September 2012, GK naik sebesar 4,61 persen dari Rp 231.438 per kapita per bulan pada Maret 2012 menjadi Rp 242.104 pada September 2012.

Merujuk pada garis kemiskinan makanan (GKM), pada September 2012 daerah perkotaan adalah sebesar Rp 175.306 dan garis kemiskinan nonmakanan (GKNM) sebesar Rp 73.864. Sedangkan GKM di perdesaan sebesar Rp 173.512 dan GKNM nya sebesar Rp 55.065. Bila ditotal, GKM sebesar Rp 174.690 dan GKNM sebesar Rp 67.414. Angka tersebut menunjukkan bahawa pola konsumsi masyarakat pada tingkat ekonomi rendah lebih dominan untuk pengeluaran kebutuhan makanan dibandingkan nonmakanan. Sumbangan GKM terhadap GK sebesar 70,35 persen untuk daerah perkotaan. Sedangkan di daerah perdesaan sebesar 75,90 persen. Total peranan komoditi makanan terhadap GK adalah sebesar 72,15 persen.

Berbicara saat ekspose BRS awal Januari 2013 lalu sebagaimana tertuang dalam dokumen Nomor 04/01/32/Th. XV tanggal 2 Januari 2013 tentang Tingkat Kemiskinan Jawa Barat September 2012, Kepala BPS Jawa Barat Gema Purwana menjelaskan, BPS menggunakan pendekatan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan cara ini dapat dihitung headcount index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.

Garis kemiskinan tersebut, sambung dia, terdiri atas GKM dan GKNM. Penghitungan GK dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi, di antaranya adalah padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain.

“Adapun GKNM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. Nah, sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan  September 2012 adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Triwulan III Modul Konsumsi September 2012,” papar Gema.

Gema menjelaskan, persoalan kemiskinan bukan sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan.

“Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 1,639 pada keadaan Maret 2012 menjadi 1,625 pada keadaaan September 2012. Penurunan nilai indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan. Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan sedikit mengalami kenaikan pada periode yang sama, yang menunjukkan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin turun dari tahun sebelumnya, yaitu dari 0,412 menjadi 0,419,” Gema menerangkan.

 

Disparitas Kemiskinan

Benarkah Jawa Barat miskin? Tentu saja jawabannya benar. Angka-angka di atas mengonfirmasi jawaban itu. Namun demikian, ada dua hal yang membuat masyarakat harus berbesar hati. Pertama, trend kemiskinan terus menurun dari tahun ke tahun. Ihwal yang satu ini dibahas dalam bagian terpisah dari tulisan ini. Kedua, Jawa Barat bukan satu-satunya daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi di Indonesia. Bahkan, dibanding Jawa Tengah dan Jawa Timur yang nota bene trio obesitas kemiskinan, Jawa Barat memiliki catatan lebih baik.

Sampai September 2012 lalu, BPS mencatat, adanya 4.421.480 penduduk miskin atau 9,89 persen dari jumlah penduduk. Adapun Jawa Tengah dengan jumlah penduduk 32.380.687 jiwa, jumlah penduduk miskinnya berjumlah 4.863.410 jiwa atau 14,98 persen. Sementara Jawa Timur dengan jumlah penduduk  37.436.011 jiwa, jumlah penduduk miskinnya mencapai 4.950.540 jiwa atau 13,08 persen. Melihat angka tersebut, tingkat kemiskinan Jawa Barat berada di bawah rata-rata kemiskinan nasional sebesar 11,66 persen.

Memang, persentase tersebut masih jauh bila dibanding DKI Jakarta. Tetangga provinsi ini “hanya” mencatat jumlah penduduk miskin 366.770 jiwa atau 3,7 persen dari total penduduk sebanyak 9.588.198 jiwa. Ibu kota memang sukses mencatatkan diri sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah. Daerah lain dengan tingkat kemiskinan di bawah 10 persen antara lain Sumatera Barat (8 persen), Riau (8,05 persen), Jambi (8,28 persen), Bangka Belitung (5,37 persen), Kepulauan Riau (6,83 persen), Banten (5,71 persen), Bali (3,95 persen), Kalimantan Barat (7,96 persen), Kalimantan Tengah (6,19 persen), Kalimantan Selatan (5,01 persen), Kalimantan Timur (6,38 persen), Sulawesi Utara (7,64 persen), Sulawesi Selatan (9,82 persen), dan Maluku Utara (8,06 persen).

Sementara itu, empat provinsi di Timur Indonesia mencatatkan angka merah kemiskinan. Daerah-daerah tersebut memiliki tingkat kemiskinan di atas angka 20 persen. Papua di ujung Republik ini memiliki 976.370 penduduk miskin atau mencapai 30,66 persen dari total penduduk sebanyak 2.851.999 jiwa. Papua Barat yang belum lama disapih dari Papua mencatat kemiskinan 27,04 persen penduduk miskin. Tidak jauh dari pulau kepala burung tersebut, Provinsi Maluku mencatatkan kemiskinan 20,76 persen. Nusa Tenggara Timur (NTT) juga mencatat hasil buruk dengan kemiskinan 20,41 persen.

Disparitas kemiskinan juga tercermin dalam wajah kabupaten dan kota di Jawa Barat. Tingkat kemiskinan ini relatif linier dengan jumlah penduduk itu sendiri. Laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang dirilis November 2011 lalu menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk terbanyak di Jawa Barat memiliki kemiskinan tersar pula. Dengan GK pada 2010 lalu sebesar Rp 214.388, Kabupaten Bogor memiliki 474.559 penduduk miskin atau 9,97 persen dari total penduduk yang berdasarkan Sensus Penduduk (SP) 2010 lalu berjumlah 4.763.209 jiwa. Setahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor berjumlah 446.037 jiwa atau 10.81 persen dari jumlah penduduk. Pada saat itu, GK Kabupaten Bogor berada pada angka Rp 197.319.

Meski memiliki jumlah absolut kemiskinan tertinggi, persentase kemiskinan terhadap jumlah penduduk Kabupaten Bogor bukan yang tertinggi di Jawa Barat. Mengacu kepada dokumen Jabar Dalam Angka 2012 yang dirilis BPS dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat, persentase kemiskinan terburuk milik Kota Tasikmalaya. Dengan GK Rp 263.177 per bulan, Kota Tasikmalaya memiliki 131.317 penduduk miskin atau mencapai 20,71 persen dari jumlah penduduk.

Dari 26 kabupaten dan kota di Jawa Barat, terdapat 10 daerah dengan persentase kemiskinan di bawah angka 10 persen. Selain Kabupaten Bogor di atas, daerah lainnya terdiri atas Kabupaten Bandung (9,29 persen), Kabupaten Bekasi (6,11 persen), Kota Bogor (9,47 persen), Kota Sukabumi (9,24 persen), Kota Bandung (4,95 persen), Kota Bekasi (6,30 persen), Kota Depok (2,84 persen), Kota Cimahi (7,40 persen), dan Kota Banjar (8,47 persen). Kota Banjar dengan jumlah penduduk 175.165 jiwa tercatat sebagai daerah dengan jumlah absolut penduduk miskin paling sedikit (14.826 jiwa).

Selain Kota Tasikmalaya, praktis tidak ada daerah lain yang memiliki kemiskinan di atas 20 persen. Sementara itu, terdapat tiga daerah dengan persentase kemiskinan di atas 15 persen. Ketiga daerah tersebut terdiri atas Kabupaten Cirebon (16,12 persen), Kabupaten Majalengka (15,51 persen), dan Kabupaten Indramayu (16,58 persen). Bila diperhatikan, ketiga daerah tersebut terdapat di wilayah Cirebon. Garis Kemiskinan di tiga daerah ini juga relatif mirip, terutama Indramayu dan Majalengka sebesar Rp 264.576 dan Rp 263.377. Adapun Kabupaten Cirebon memiliki GK Rp 230.346 per bulan.

Secara keseluruhan, GK masing-masing kabupaten dan kota di Jawa Barat juga menunjukkan disparitas mencolok. GK tertinggi terdapat di Kota Bekasi sebesar Rp 332.849 per bulan. Jumlah ini sedikit di atas Kota Depok sebesar Rp 310.279 per bulan. Sementara GK terendah terdapat di Kabupaten Garut sebesar Rp 180.406 per bulan atau hampir setengahnya dari Kota Bekasi. Sementara sisanya bervariasi pada kisaran Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu.

Sementara itu, ADB Outlook 2013 sebagaimana disajikan dalam Poverty Brief edisi April 2013 yang dirilis USAID – SEADI (Support for Economic Analysis Development in Indonesia) untuk TNP2K memuji pertumbuhan Indonesia sebesar 6,2 persen pada 2012. Kombinasi ekspor dunia yang lesu dan permintaan domestik meningkat mengakibatkan neraca transaksi berjalan Indonesia defisit; pertama kali dalam lima tahun terakhir. ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2013 dan 2014 masing-masing di 6,4 persen dan 6,6 persen karena konsumsi swasta yang kuat, peningkatan kinerja investasi, dan perbaikan secara bertahap pada perdagangan dunia.

Perkiraan pertumbuhan lebih rendah di Indonesia bisa mengakibatkan tekanan terhadap pemerintah untuk mengambil tindakan nyata untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Guna menurunkan kemiskinan dan memperkecil jarak antara kaya dan miskin, perbaikan infratruktur publik merupakan prioritas tinggi. Transportasi lebih baik dan pasokan listrik pasti sangat penting untuk menunjang pertumbuhan di sektor manufaktur dan menciptakan lapangan kerja di sektor formal.

Di sisi lain, disparitas upah riil regional yang naik mengindikasikan peningkatan perbedaan pendapatan penduduk miskin Indonesia, seperti negara besar lain, memiliki perbedaan pendapatan regional dan provinsi serta perbedaan besar upah pekerja tidak terampil dan semi terampil. Kesenjangan upah riil, atau daya beli buruh tani menggambarkan perubahan dari pendapatan penduduk miskin. Pada 1987, upah buruh tani provinsi dengan tingkat upah tertinggi lebih besar tiga kali lipat dibandingkan upah buruh tani di provinsi dengan tingkat upah terendah.

Kemiskinan terpusat di Pulau Jawa. Upah riil di luar Pulau Jawa kurang lebih 50 persen lebih tinggi dibandingkan di Jawa. Teori dan pengalaman di bidang ekonomi sepakat bahwa buruh akan berpindah dari daerah dengan upah rendah ke daerah dengan upah tinggi. Pekerja resmi dapat berpindah dengan bebas. Migrasi substansial telah terjadi dan terus berlanjut. Terlebih bagi Jawa Barat yang nota bene menjadi salah satu pusat konsentrasi insustri strategis nasional.

 

Sebuah Siklus, Sebuah Jebakan

Tapi, kemiskinan bukan angka. Kemiskinan adalah manusia, masyarakat itu sendiri. Karena itu, kemiskinan tidak bisa serta merta dikuantifikasi menjadi deret statistik. Tengoklah sebuah kenyataan di Kabupaten Garut. Di penghujung 2011 lalu publik dikagetkan sebuah berita yang menyebutkan sebuah keluarga miskin yang tinggal bersama ternak mereka. Pasangan suami istri Agus dan Uum, warga Desa Salam Nunggal, Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat tinggal bersama empat anaknya Ogi, Ade, Uji, dan Ahil dalam rumah sempit berukuran 2 x 3 meter.

Liputan6 melaporkan, selain harus berdesakan dengan anggota keluarganya, Agus sekeluarga pun harus berbagi ruangan dengan ternak domba. Keluarga ini harus membiasakan diri mencium bau tak sedap dari kotoran dan air seni domba. Penghasilan Agus yang tak menentu membuat dirinya terpaksa memelihara hewan ternak milik tetangganya dengan harapan jika domba tersebut beranak ia akan mendapat bagian.

Ogi, anak sulung Agus, terpaksa harus putus sekolah karena ketiadaan biaya. Ogi kini hanya membantu Agus mencari rumput untuk pakan ternak. Sedangkan adiknya Ade yang duduk di kelas empat terkadang menjadi pemulung berkeliling kampung, mencari barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan untuk dijual.

Nah, bila dikonversi menjadi angka, cerita keluarga Agus ini hanya satu angka. Secara statistik, Agus boleh jadi tak bermakna apa-apa. Namun, tidak demikian bila kita melihatnya sebagai kenyataan kualitatif, sebuah fenomena. Setiap anak dari orang tua miskin itu seringkali tidak mengenal pendidikan. Waktu mereka seringkali dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. “Tidak ada harapan bagi mereka untuk menjadi seorang sarjana,” kata Ferry Hardiyanto, Ketua Koalisi Kependudukan Jawa Barat, dalam sebuah kesempatan.

Kalau sudah begitu, kemiskinan seperti sebuah siklus. Orang tua miskin melahirkan anak dalam keluarga miskin. Lahir kemudian tumbuh besar adalah anak miskin. Laki-laki miskin kemudian menikah dengan perempuan miskin. Lalu, mereka kemudian melahirkan anak-anak miskin. Begitu seterusnya. Kemiskinan terus mereproduksi kemiskinan. Kemiskinan ibarat siklus, begitu dan terus begitu.

Inilah yang kemudian disebut Jeffrey Sachs sebagai jebakan kemiskinan (poverty trap). Jeffrey Sachs dalam bukunya The End of Poverty mengungkapkan beberapa alasan seperti ketiadaan inovasi, kegagalan pemerintah, dan jebakan kemiskinan. Orang miskin karena dia miskin. Poverty trap menyatakan bahwa seseorang yang miskin tidak akan pernah keluar dari kondisi miskinnya jika tidak ada bantuan dari orang lain. Seorang yang miskin biasanya tidak memiliki modal, tidak memiliki keterampilan yang cukup apalagi pendidikan yang tinggi. Orang miskin secara singkat dapat dikatakan tidak berdaya untuk keluar dari kondisi itu walaupun ia sangat ingin.

Dalam kasus berbeda, Ferry yang juga Ketua Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran (Unpad) menyatakan, kemiskinan saat ini sudah menjadi kondisi yang sulit ditangani. Kemiskinan sudah mengklaster menjadi society, sebuah kelompok yang mempunyai hubungan kuat  satu dengan lainnya. Selain itu, kemiskinan merupakan siklus hidup dalam keluarga. Kebijakan pemerintah harusnya bukanlah untuk mengurangi kemiskinan. Akan tetapi memotong siklus kemiskinan itu.

Menurutnya, jika ayahnya miskin maka pemerintah harus memikirkan bagaimana agar anaknya tidak ikut miskin. “Mestinya itu yang dilakukan pemerintah. Bukannya pengurangan 10 persen atau sekian persen. Selama ini pemerintah tidak menangkap hal itu,” ujar Ferry.

Di bagian lain, Ferry menjelaskan, kondisi kemiskinan saat ini cenderung muncul budaya baru. Budaya tersebut ditandai dengan adanya anggapan kemiskinan bukan hal yang memalukan. Bahkan, secara ekonomi, orang miskin sudah mulai mempunyai daya tawar tersendiri bagi kelas menengah dan kelas atas. “Coba bayangkan, jika para pemulung di Kota Bandung mogok. Begitu banyak sampah yang berserakan. Itu bargaining mereka,” jelas Ferry.

Pada saat yang sama, status miskin memudahkan seseorang untuk mengakses layanan publik. Ketika data kemiskinan masih amburadul, maka kemiskinan menjadi ambigu. Wajar ketika setiap hari sejumlah keluarga antre mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM) untuk mendapat layanan kesehatan atau pendidikan. Barangkali, menjadi miskin memang ada gunanya juga. Begitulah.(NJP/MAJALAH GEDUNG SATE)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top