Home / Berita Utama / SSK, Biar Remaja Tak Buru-buru Menikah

SSK, Biar Remaja Tak Buru-buru Menikah

Sugilar, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat. (DOK. BKKBN JABAR)

Sugilar, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat. (DOK. BKKBN JABAR)

BANDUNG – DUAANAK.COM

Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Sugilar tak memasang target muluk untuk program Sekolah Siaga Kependudukan (SSK). Bagi Gilar, sapaan akrab Sugilar, tugas seorang siswa tentu saja belajar dengan sungguh-sungguh untuk meraih prestasi belajar sebaik-baiknya. Dengan belajar dan berprestasi, Gilar optimistis akan berpengaruh langsung terhadap keputusan seorang remaja untuk menikah.

“Kami berharap para remaja ini bisa turut menyosialisasikan kependudukan. Pada tahap awal, mereka berprestasi dulu, jangan dulu kawin. Angka DO (drop out) sekarang tinggi. Saya berharap anak-anak kita ini terus meneruskan sekolah,” kata Gilar saat membuka media gathering yang secara khusus menyangkat tema SSK di salah satu resto di Kota Bandung, 9 September 2015.

Tanpa menyebut tingkat DO di Jabar, Gilar menengarai angka putus sekolah berbanding lurus dengan angka kawin muda. Semakin tinggi DO, maka semakin besar kemungkinan seorang remaja untuk menikah. Terlebih untuk remaja putri yang berpengaruh langsung terhadap angka fertilitas. Gilar percaya bahwa pendidikan merupakan salah satu cara ampuh menunda perkawinan atau kelahiran.

Dia mencontohkan, bila anak perempuan menikah pada usia 15 tahun, maka usia fertilitasnya panjang. Perkawinan yang diikuti dengan kehamilan anak pertama setahun kemudian memiliki rentang panjang sampai masa menopause tiba pada usia 49 tahun. Kondisinya berbeda bila perkawinan dari remaja terpelajar pada usia 20 tahun. Selain memangkas masa reproduksi, remaja dengan pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi akan mempertimbangkan faktor risiko tinggi melahirkan pada usia di atas 30 atau 35 tahun.

“Usia kawin pertama Jabar masih di bawah 20 tahun. Harapan kita, selain memaknai secara luas mengenai kependudukan, akhirnya punya kegiatan dan berdampak pada penundaan usia kawin. SSK ini penting untuk memberikan pemahaman sekaligus kesadaran mengenai PHBK atau perilaku hidup berwawasan kependudukan,” papar Gilar.

Gilar menegaskan, remaja memiliki posisi strategis dalam pembangunan kependudukan. Selain akan sangat menentukan terhadap nasib program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK), mereka pula yang akan merasakan dampak kependudukan secara langsung di kemudian hari. Terlebih Jabar yang memiliki populasi remaja terbesar di Indonesia, sekitar 11 juta dari total penduduk Jabar sebanyak 46 juta jiwa.

“Kita harus menanamkan pada generasi muda mengenai PHBK, dipahami benar. Tidak hanya berapa jumlah atau kuantitas, tetapi harus dipikirkan juga bagaimana kualitas penduduk itu sendiri. Kuantitas dan kualitas harus seimbang. Ini akan jadi berabe untuk Jabar ke depan bila kualitas tidak diperhatikan,” kata Gilar.

Dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) sekitar 2 persen, maka setiap tahun jumlah penduduk Jabar bertambah sekitar 1 juta jiwa. Jumlah ini sama dengan penduduk satu Kabupaten Purwakarta atau bahkan satu Provinsi Gorontalo. Sudah barang tentu tantangan yang dihadapi akan semakin besar. Terutama berkaitan dengan aspek lingkungan maupun daya dukung lain pada umumnya.

“Sudah beberapa hari ini keluar rumah sudah macet. Padahal setelah dicek tidak ada apa-apa. Semua itu terjadi karena kebutuhan akan transportasi akibat jumlah penduduk yang banyak. Nanti akan semakin meningkat pula. Sementara lahan tidak bertambah, malah berkurang. Itulah salah satu dampak pertambahan penduduk. Kemacetan, jumlah kendaraan, pendidikan, ekonomi, dan berdampak pada kesejehteraan. Apalagi penduduk Jawa Barat akan berlipat dari sekarang sekitar 30 tahun ke depan,” papar Gilar.

“Penerus-peneurs bangsa tadi, para generasi muda, perlu diberikan pemahaman kependudukan. Bukan pemahaman menggunakan kontrasepsi, tetapi wawasan persoalan-pesoalan kependudukan. Kami tentu tidak punya cukup waktu dan tenaga untuk memberikan sosialisasi kepada 11 juta remaja tadi. Karena itu, kami mencoba bekerja sama dengan sekolah melalui program SSK supaya mengintegrasikan materi kependudukan ini ke dalam kurikulum pembelajaran,” Gilar menambahkan.

Gilar mengapresiasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) Kabupaten Sukabumi yang telah menginisiasi kerjasama dengan Dinas Pendidikan setempat untuk mengembangkan SSK. Sampai 2015 ini, sambung Gilar, SSK diterapkan di 118 sekolah di Jawa Barat. Jumlah tersebut diharapkan bertambah pada tahun berikutnya. Selain di Jawa Barat, konsep SSK juga diadopsi sejumlah daerah di Indonesia.(NJP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top