Home / Featured / Teu Poekeun di Jalan

Teu Poekeun di Jalan

Yayu Farida Hidayati, TPD Kabupaten Subang. (DOK. WARTA KENCANA)

Yayu Farida Hidayati, TPD Kabupaten Subang. (DOK. WARTA KENCANA)

Pengalaman TPD di Tengah Masyarakat 

Kebahagiaan tak bisa dibeli dengan uang, berapa pun. Begitulah kira-kira pernyataan tepat untuk menggambarkan perasaan Yayu Farida Hidayati saat dimintai tanggapannya tentang aktivitasnya sebagai tenaga penggerak desa (TPD) di Desa Padaasih, Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang. Dengan honor Rp 750 per bulan, sudah barang tentu masih jauh dari angka upah minimum kabupaten (UMK) Subang yang mencapai Rp 1,22 juta. Toh, Yayu merasakan kebahagiaan tak terkira.

“Asik-asik saja. Enak banget lah karena kita kekeluargaan,” kata sarjana lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung ini saat ditemui di sela pertemuan lini lapangan pengelola program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) beberapa waktu lalu.

Dia mencontohkan, salah satu kebahagiaan setiap kali berkunjung ke Desa Padaasih yang menjadi binaannya. Meski tidak tinggal di desa yang bersangkutan, ibu muda ini tak lantas dianggap tamu. Bahkan, kepala desa hingga kader dan pos KB menyambutnya dengan sukacita. Ajakan ngaliwet atau sekadar ajakan mampir menjadi sapaan hangat setiap kali menyambangi rumah warga.

Pokona teu disaha-saha. Ke mana-mana kenal sama warga. Mereka menyambut dengan ramah. Moal poekeun di jalan. Alhamdulillah itu rejeki buat saya atau pengelola lini lapangan pada umumnya. Ini bukan soal uang, tapi bagaimana mereka menyambut kita, senyuman mereka, menerimanya mereka di tengah-tengah mereka,” Yayu menambahkan.

Melihat pembawaannya yang supel sekaligus murah senyum, tak heran bila kemudian perempuan yang menjadi TPD sejak 2011 ini mudah diterima warga. Apalagi, Yayu getol menyambangi tokoh agama maupun tokoh masyarakat guna menyosialisasikan program KKPBK. Walhasil, pengguna kontrasepsi dalam rahim atau IUD ini tak pernah menemukan resistensi dari tokoh agama maupun tokoh masyarakat tersebut.

Sejauh pengalamannya mendampingi pasangan usia subur (PUS) di desa binaannya, Yayu mengaku lebih banyak mendapat hambatan dari pasangan calon peserta KB. Hambatan lainnya berkaitan erat dengan pola komunikasi masyarakat. Seseorang pada umumnya lebih mudah menerima setelah mendapat contoh atau menerima penjelasan dari kalangan mereka sendiri. Pun sebaliknya, masyarakat mudah goyah bila menemukan adanya kasus kegagalan kontrasepsi.

Dia mencontokan, suatu ketika dia bertemu seorang ibu calon peserta KB. Sang ibu sudah ngebet ingin menjadi peserta KB melalui metode operasi wanita (MOW). Alasannya, jumlah anak mereka sudah banyak. Ketika rencana itu disampaikan kepada sang suami, eh malah si suami mencak-mencak menolak memberikan izin kepada istrinya untuk menjalani tubektomi alias MOW tadi.

“Si suami beralasan kalau di-MOW takut istrinya selingkuh. Karena tidak bisa lagi hamil, dikhawatirkan istrinya bebas berhubungan dengan laki-laki lain. Saya pun berusaha keras meyakinkan si suami bahwa tidak ada alasan untuk curiga karena istrinya setiap hari beraktivitas di rumah. Selama ini kegiatan istri yang mengurus rumah,” jelas Yayu.

Dalam kasus berbeda, Yayu mengaku cukup kerepotan setiap kali menemukan calon peserta KB yang ragu-ragu setelah menemukan adanya kasus kegagalan kontrasepsi. Seperti rumus berita bad news is good news, berita kegagalan pemakaian kontrasepsi biasanya cepat menyebar. Sialnya, informasi tersebut mendapat bumbu di sana-sini hingga berbuah rumor negatif tentang pemakaian kontrasepsi.

“Saya berusaha sedapat mungkin untuk meredam berita kegagalan kontrasepsi ini. Bukan untuk menutupi fakta, melainkan menghindari penyebaran informasi yang tidak akurat setelah dibumbui rumor dari sana-sini. Pada saat bersamaan, saya berusaha menjelaskan pilihan kontrasepsi disertai kelebihan dan kekurangan bagi tubuh peserta KB. Dalam beberapa kasus, calon peserta menganggap kontrasepsi memberikan dampak sama bagi semua orang. Padahal, keberhasilan kontrasepsi sangat ditentukan kondisi tubuh orang bersangkutan,” Yayu menjelaskan.

Yayu tak lantas putus asa. Bagi perempuan yang lahir 26 tahun lalu ini, kasus-kasus yang ia temukan di tengah masyarakat tersebut malah menjadi pelajaran. Temuan-temuan dianggapnya sebagai tantangan untuk kemudian dicari solusinya. Dia percaya bahwa masyarakat adalah “ruang kelas” raksasa untuk dijadikan tempat belajar tentang masalah yang muncul di masyarakat itu sendiri. Lebih dari itu, terjun ke tengah masyarakat merupakan sebuah ajang silaturahim. Dan, silaturahim itulah yang kelak mendatangkan rejeki dengan bentuk yang berbeda-beda. Selamat bertugas ya, Bu! (WARTA KENCANA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top