Home / Berita Daerah / Cegah Pernikahan Dini untuk Cegah Stunting

Cegah Pernikahan Dini untuk Cegah Stunting

Koordinator Bidang KSPK Perwakilan BKKBN Jawa Barat Elma Triyulianti saat Kampanye Percepatan Penurunan Stunting di Desa Cipicung, Kecamatan Sukatani, Purwakarta, 15 November 2022.

PURWAKARTA | WARTAKENCANA.COM

Pencegahan stunting bisa dilakukan secara sederhana. Salah satunya dengan menikah pada usia ideal, minimal 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Dengan menikah pada usia ideal, seorang ibu memiliki kesiapan mental dan kematangan organ reproduksi. Kematangan ini kelak didukung dengan pembekalan dan persiapan sebelum pernikahan alias calon pengantin.

“Penanganan stunting bukan berarti hanya dilakukan bagi anak yang sudah divonis stunting. Lebih jauh dari itu, penanganan dilakukan melalui pencegahan sejak calon pengantin. Di sinilah pentingnya pendewasaan usia perkawinan sebagai satu upaya pencegahan stunting,” papar Elma Triyulianti, Koordinator Bidang Keluarga Sejahatera dan Pembangunan Keluarga (KSPK) Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat, saat Kampanye Percepatan Penurunan Stunting di Desa Cipicung, Kecamatan Sukatani, Purwakarta, 15 November 2022.

Elma mengingatkan bahwa stunting tidak bisa berarti kerdil. Stunting merupakan sebuah kondisi gagal pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial tidak memadai terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan. Stunting ditandai dengan pertumbuhan yang tidak optimal sesuai dengan usianya. 

“Stunting biasanya pendek, walau pendek belum tentu stunting. Kemudian gangguan kecerdasan.  Problematika stunting akan menyebabkan kesenjangan kesejahteraan yang semakin buruk. Stunting dapat menyebabkan kemiskinan antargenerasi berkelanjutan.  Selain itu, stunting dapat menyebabkan meningkatnya risiko kerusakan otak, dan dapat menjadi pemicu penderitanya terkena penyakit metabolik seperti diabetes dan sebagainya. Juga penyakit yang berkaitan dengan jantung pada penderitanya saat dewasa,” papar Elma.

Guna mencegah kemunculan kasus stunting, sambung Elma, idealnya tiga bulan sebelum menikah wajib memeriksakan kesehatannya (tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas dan kadar Hb). Hasil pemeriksaan diinput melalui aplikasi Elsimil (Elektronik Siap Nikah dan Hamil).

“Setelah semua data diinput, jika ada kerepotan untuk mengisi, maka akan ada yang mendampingi seperti tim pendamping keluarga (TPK), bidan, dan yang lainnya,” jelas Elma.

Meski beitu, Elma berpesan para calon pengantin tidak perlu khawatir karena hasil pemeriksaan kesehatan tidak akan menjadi syarat boleh tidaknya menikah. Apalagi jika dalam waktu dekat sudah berencana untuk menikah.

“Hasilnya seperti apa, anemia atau tidak, itu tidak menjadi syarat (menikah). Kita periksa, kalau hasilnya bagus ya nikah, kalau hasilnya tidak bagus ya nikah juga. Hanya saja, yang hasilnya tidak bagus kita kasih pendampingan supaya anaknya sehat,“ tegas Kepala Divisi KIE Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Provinsi Jawa Barat ini.

Pemeriksaan kesehatan ini bisa dilakukan di mana saja. Harapannya, faktor risiko yang dapat melahirkan bayi stunting pada catin atau calon pasangan usia subur (PUS) bisa teridentifikasi lebih dini dan dihilangkan sebelum menikah dan hamil. Salah satu fokus dalam pendampingan adalah meningkatkan pemenuhan gizi catin atau calon PUS untuk mencegah kekurangan energi kronis dan anemia sebagai salah satu risiko yang dapat melahirkan bayi stunting.

Di tempat yang sama, Tenaga Ahli Anggota Komisi IX DPR RI Putih Sari, Dedi Supratman, menyampaikan apresiasi atas upaya keras BKKBN dalam melakukan upaya percepatan penurunan stunting. Atas nama Putih Sari, Dedi mengaku opsimistis ikhtiar percepatan penurunan stunting bisa berjalan efektif.

“Pemerintah sudah mematok target penurunan angka prevalensi stunting menjadi 14 persen pada 2024 mendatang. Jika melihat capaian angka penurunan dalam beberapa tahun sebelumnya, jelas ini membutuhkan kerja keras dan upaya radikal untuk menurunkan prevalensi stunting ini. Untuk itu, Komisi IX mendukung langkah-langkah BKKBN dalam upaya percepatan penurunan stunting. Termasuk melalui kampanye percepatan yang dilakukan bersama Komisi IX DPR RI,” ungkap Dedi.

Mengutip data BKKBN, Dedi mengungkap tingginya prevalensi stunting di Jawa Barat disebabkan karena jumlah anak yang banyak dalam satu keluarga, rentang waktu kelahiran yang cukup rapat, serta pernikahan dini. Yang menarik, selama pandemi Covid-19, pernikahan dini di Jawa Barat jumlahnya mengalami peningkatan. Padahal perkawinan usia dini menyebabkan tingginya risiko kematian ibu dan bayi yang dilahirkan serta bayi yang stunting karena ketidakcukupan nutrisi selama kehamilan.(NJP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top