BANDUNG – DUAANAK.COM
Tentu, 20 menit bukanlah waktu yang lama. Bila dibandingkan dengan kegiatan sehari-hari, 20 menit barangkali hanya cukup untuk memasak mie rebus atau bahkan tak cukup untuk berinteraksi melalui jejaring sosial. Sangat singkat, bukan? Meski begitu, ternyata tak banyak orang tua yang memiliki waktu 20 menit untuk menemani anak-anaknya di rumah. Bercengkerama bersama keluarga pun menjadi begitu mewah.
Pada saat bersamaan, maraknya kekerasan terhadap anak ditengarai turut dipicu minimnya peran orang tua dalam pengasuhan. Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat Netty Prasetiyani Heryawan menyesalkan banyak orang tua yang merasa kewajibannya sudah tuntas ketika menitipkan pengasuhan anaknya kepada pembantu. Akibatnya komunikasi orang tua dan anak menjadi terbatas pada hal-hal tertentu saja, bahkan terkesan seperlunya.
Berbicara di hadapan 120 tenaga penggerak desa (TPD) dan seribuan kader penggerak masyarakat yang berafiliasi dengan sejumlah lembaga pemerintah di Bale Asri Pusdai Jawa Barat, Jumat 16 Mei 2014, Netty mengutip sebuah dialog antara seorang anak dengan ibunya. Dialog satir tersebut menyindir para ibu yang abai terhadap pengasuhan anak. Sang anak pun tak segan membandingkan dirinya dengan barang atau benda.
“Saya mendapatkan potongan dialog ini dalam bahasa Inggris. Lebih kurang artinya begini, ‘Apakah Ibu mau meninggalkan dompet yang di dalamnya terdapat sejumlah uang dan kartu-kartu berharga di rumah? Berani menitipkan barang berharga tadi kepada pembantu?’ ‘Tentu saja tidak,’ jawab si ibu. ‘Kalau begitu, mengapa engkau tega meninggalkan aku di rumah bersama si bibi?’ si anak menimpali. Si ibu pun terdiam. Ini sungguh tamparan bagi kita semua yang lebih suka mempercayakan pengasuhan kepada para pembantu. Para orang tua lebih sibuk dengan pekerjaan atau bahkan kegiatan lain yang sebenarnya tidak terlalu penting,” kata Netty disambut aplause peserta.
Lebih parah lagi, sambung Netty, banyak orang tua mempercayakan “pengasuhan” tak hanya kepada pembantu. Melainkan kepada televisi, gadget, dan internet tanpa pendampingan. Sejalan dengan naiknya taraf kesejahteraan, kini banyak rumah memiliki televisi lebih dari satu. Setiap kamar memiliki televisi. Akibatnya, kebersamaan orang tua dengan anak tidak terwujud. Komunikasi menjadi terhambat.
“Jangan heran bila tiba-tiba ada seorang ayah bilang kepada anaknya, ‘Nak, ternyata kamu ada tahi lalat di dagu. Atau, Nak ternyata kamu udah gede ya.’ Ini terjadi karena orang tua tidak pernah menjalankan fungsinya dalam pengasuhan anak. Terutama para ayah yang cenderung menyerahkan pengasuhan kepada ibu. Ini pemahaman yang salah karena tugas pengasuhan ada pada kedua orang tua, bukan hanya ibu,” tandas Netty.
Bunda PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Jawa Barat ini lantas mengutip sejumlah data yang dikeluarkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dalam tiga tahun terakhir ini terdapat 3.500-3.600 kasus yang ditangani oleh KPAI dari seluruh Indonesia. Kasus kekerasan terhadap anak dapat dikatakan sudah memasuki fase darurat sebab sampai awal Mei 2014 saja sudah terjadi lebih dari 400 kasus.
KPAI juga mencatat jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat. Porsi kekerasan seksual terhadap anak pada 2010 hanya 38,4 persen dari seluruh kasus kekerasan pada anak. Pada 2013, porsinya naik hingga mencapai 53,6 persen. Jumlah kasus kekerasan yang tak terungkap diyakini masih sangat besar. Masih banyak orangtua yang malu melaporkan kekerasan yang dialami anaknya. Belum lagi banyak korban yang justru dipersalahkan.
Netty meyakini munculnya kasus kekerasan terhadap merupakan masalah hilir. Karena itu, Netty menginginkan agar penanganan masalah tersebut dilakukan mulai dari hulu. Yakni, keluarga. Nyonya Gubernur Heryawan ini percaya ketahanan keluarga bisa menjadi upaya strategis untuk menghindari kasus-kasus kekerasan terhadap anak di kemudian hari. Cara ini ditempuh dengan mendorong para orang tua untuk meluangkan waktu bersama-sama dengan anak.
“Lewat Gerakan 20 Menit Orang Tua Mendampingi Anak, para orang tua diharapkan sadar atas peran yang harus dijalankannya. Gerakan itu pun diharapkan jadi titik awal untuk menumbuhkan kembali kesadaran orang tua. Gerakan ini diharapkan jadi starting poin untuk menyemangati dan merevitalisasi keluarga,” ucap Netty.
Mengapa 20 menit? Netty beralasan angka 20 dipilih terkait dengan momentum Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei. Netty menjelaskan, pencanangan Gerakan 20 Menit Orang Tua Mendampingi Anak akan dilakukan bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional di Gedung Sate pada 20 Mei mendatang. Gerakan serupa akan kembali digelorakan pada Hari Keluarga tingkat Jawa Barat pada 29 Juni dan Hari Ibu pada 22 Desember mendatang.
“Sebagai tahap awal, 20 menit cukup. Waktunya pukul 18.30-18.50 pada 20 Mei 2014 mendatang. Kalau kita pilih waktu 2 jam, mungkin orang tua akan bingung mau melakukan apa saat gerakan ini berlangsung. Nah, dalam 20 menit ini orangtua bisa melakukan hal sederhana tapi bermakna. Misalnya dengan cara makan bersama anak, mengaji bersama, menemani anak belajar, hingga mendengarkan cerita anaknya,” paparnya.
Pada saat pencanangan, sambung Netty, akan dibacakan tujuh poin pernyataan sikap masyarakat Jawa Barat. Pernyataan tersebut berisi keprihatinan terhadap maraknya kasus kekerasan terhadap anak, kutukan terhadap pelaku kekerasan, usulan pengasuhan berbasis masyarakat, tuntutan hukuman maksimal bagi pelaku kekerasan terhadap anak, dan lain-lain. Sekarang, yuk 20 menit mendampingi anak! (NJP)