JAKARTA – DUAANAK.COM
Program-program pemerintah maupun pemerintah daerah yang diperuntukkan untuk membangun ketahanan keluarga cukup melimpah. Sayangnya, belum ada satu keterpaduan antara satu program dengan program lainnya atau antara satu pengelola dengan pengelola lainnya. Wajar bila kemudian masih ditemukan tumpang tindih atau keroyokan program yang sama oleh lembaga berbeda. Alasannya sederhana, ternyata belum ada konsep jelas mengenai ketahanan keluarga itu sendiri. Nah, lho...
Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Politik Sosial dan Hukum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindurangan Anak (PP dan PA) Heru Kasidi mengungkapkan hal itu saat ditemui di sela hearing Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Ketahanan Keluarga Provinsi Jawa Barat di kantornya, Kamis 5 Juni 2014. Kondisi itulah yang kemudian mendorong Kementerian PP dan PA menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 6 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga beberapa waktu lalu.
“Kendala kita selama ini karena konsep tentang ketahanan keluarga itu nggak ada. Untuk menyasar bagian mana dari ketahanan keluarga, kita tidak tahu secara detail. Karena konsep belum ada, program-program untuk keluarga tidak berada dalam kesatuan utuh. Saya pikir kuncinya terletak pada konsep. Kalau konsepnya ada, kita tahu program ini untuk mempekuat komponen mana dalam keluarga. Misalnya pendidikan, pengasuhan, dan lain-lain,” kata Heru.
Heru menjelaskan, konsep ketahanan yang berkaitan erat dengan kesejahteraan keluarga harus menyangkut lima aspek di dalamnya. Poin pertama menyangkut landasan legalitas dan keutuhan keluarga. Berikutnya meliputi aspek ketahanan fisik, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial psikologi, dan ketahanan sosial budaya. Dalam pelaksanaannya, pemerintah maupun pemerintah daerah melakukan penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan inovatif dan afirmatif pada sisi penyedia pelayanan (supply side) dan penerima manfaat (demand side).
Saat ini, sambung Heru, legalitas dan keutuhan keluarga masih terbilang rendah. Indikatornya, persentase keluarga yang memiliki akta nikah masih sedikit. Kemudian, masih terdapat 41 persen anak di bawah lima tahun (Balita) yang tidak memiliki akta kelahiran. Dari aspek keutuhan keluarga, saat ini tercatat 2,8 persen keluarga dalam status bercerai, 2,1 persen ditinggal mati, 15 persen keluarga dikepalai perempuan, dan sekitar 10 persen anak tidak tinggal bersama ibu kandung.
Belum lagi bila ditinjau dari aspek ketahanan fisik keluarga. Sekitar 20 persen balita memiliki berat badan yang kurang dari bobot ideal. Kemudian, masih terdapat 17 persen ibu melahirkan yang tidak ditolong petugas kesehatan. Belum lagi menyangkut kepesertaan dalam program asuransi yang baru sekitar 40 persen. Pada saat yang sama, terdapat sekitar 2,9 persen anak sekolah yang drop out.
“Bicara masalah kekerasan dalam rumah tangga, ternyata 30-40 persen istri menyetujui kekerasan oleh suaminya. Ini menunjukkan betapa siatuasi ketahanan keluarga di Indonesia masih memprihatinkan. Dengan adanya konsep jelas mengenai ketahanan keluarga, diharapkan program-program yang digulirkan bisa langsung menuju pada sasaran yang tepat. Kita tahu mana yang sudah dilakukan, mana yang masih bolong,” papar Heru.
Disinggung tentang keselarasan antara Permen PP dan PA Nomor 6 tahun 2013 dengan Raperda Ketahanan Keluarga yang tenga digodok Pansus DPRD Jabar, Heru menilai secara fundamental sudah menunjukkan keselarasan. Bedanya, Permen lebih menekankan pada tataran konseptual dan koordinasi, Raperda menekankan pada kebutuhan di Jawa Barat. Bagi Heru hal ini bisa dimaklumi mengingat pemerintah pusat berupaya memberi fondasi dan pengayoman secara luas, sementara daerah menyesuaikan dengan tuntuan daerah itu sendiri.
“Situasi daerah memang bervariasi. Pada tingkat implementasi lebih kental. Kalau tingkat nasional kita sudah tahu apa itu kebutuhan keluarga secara umum. Di daerah interpretasinya berbeda karena situasi berbeda. Misalnya adanya pertimbangan adat atau faktor lainnya. Tentu, kami menyambut baik raperda (Ketahanan Keluarga) ini. Banyak masalah yang harus diselesaikan di tingkat keluarga. Keluarga yang baik membentuk manusia-manusia yang baik. Kalau keluarga bagus, anggotanya diharapkan bagus,” pungkas Heru.(NJP)