BANDUNG – DUAANAK.COM
Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sudibyo Alimoeso memanfaatkan pertemuan dengan anggota dan pimpinan Satuan Karya Pramuka Keluarga Berencana (Saka Kencana) se-Jawa Barat di Bandung untuk bercerita pengalamannya mengikuti sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, belum lama ini. Hal ini dianggapnya penting untuk menggambarkan betapa beratnya tantangan remaja Indonesia di pentas global.
Tantangan itu, terang Sudibyo, antara lain menyangkut perang ide dan negosiasi tentang hak-hak reproduksi. Beberapa resolusi yang diusulkan negara lain bertentangan dengan nilai-nilai yang selama ini dianut bangsa Indonesia. Selain bertentangan dengan tata nilai bangsa, resolusi tersebut juga berpotensi memicu resistensi dari kalangan tertentu. Pria yang akrab disapa Pak Dibyo ini menengarai adanya kepentingan donor yang dititipkan dalam agenda sidang PBB.
“Saya sampaikan dalam sidang, jangan-jangan ketika pulang ke Indinesia kantor saya sudah dibakar kelompok FPI (Front Pembela Islam). Mungkin saja mereka mendengar kabar kita menerima resolusi pernikahan sejenis misalnya,” kenang Dibyo saat berbicara di hadapan anggota dan pimpinan Saka Kencana se-Jawa Barat di Hotel Newton, Kota Bandung, Senin 28 April 2014.
Yang membuat Sudibyo kaget adalah pernyataan delegasi remaja Indonesia yang secara lantang mengatakan akan mendesak pemerintah mengakui pernikahan sejenis, penggunaan kontrasepsi bagi remaja, aborsi yang diblehkan remaja apabila diinginkan dan apabila remaja tidak menghendaki anak yang dikandungnya. Pernyataan remaja tersebut bertentangan dengan sikap resmi delegasi Indonesia yang menolak sejumlah resolusi tadi.
Tak hanya itu, beberapa negara yang semula memiliki pandangan sama dengan Indonesia beralih haluan menyetujui rancangan resolusi. “Itu karena pengaruh donor. Mereka memiliki ketergantungan terhadap donor. Akhirnya suara jadi pecah. Ini negosiasi yang berat,” ujar Sudibyo yang pada sidang tersebut hadir bersama Kepala BKKBN Fasli Jalal dan sejumlah anggota delegasi lainnya.
Tekanan terhadap negara penolak juga demikian besar. Bahkan, sambung dia, panitia sampai mengejar ke toilet untuk melobi delegasi agar tidak mengeluarkan pernyataan keras. Pilihannya, bersikap lunak, kompromi, atau diam sama sekali. Kondisi ini dianggap Sudibyo memberi tekanan tersendiri. Belum lagi waktu pelaksanaan sidang yang disinyalir sengaja membuat peserta lelah. Dengan begitu, delegasi tinggal mengiyakan rancangan yang sudah disusun. “Bayangkan, sidangnya sampai pukul 06.00 pagi. Jangan-jangan ini teknik juga yang disiapkan mereka,” tandas Sudibyo.
Lalu, apa sikap resmi delegasi RI? Bersama dengan sejumlah negara lain seperti Malaysia dan Iran, Indonesia menerima dengan beberapa catatan. Catatan diberikan terhadap pasal-pasal yang dianggap tidak relevan dengan tata nilai yang berlaku di Indonesia. Pasal lain dikoreksi secara halus. Pasal lainnya diusulkan kembali ke keputusan awal PBB sebelum sidang itu.
“Kalau diterima semua, bagaimana. Indonesia menolak resolusi tentang keluarga yang mengatur sebuah keluarga terdiri dari ayah dan ayah atau ibu dan ibu, kakak dan adik, dan seterusnya. Di sana dikenal sexual orientation and gender identification dan sexual and reproductive health right. Jadi mereka ingin bermain di kata-kata sexual right-nya itu. Antara lain itu. Kita menunggu definisinya apa sebenarnya. Kalau definisinya sesuai bisa kita terima. Tapi kalau definisinya seperti yang saya sebutkan tadi, delegasi Indonesia menolak,” tegas Sudibyo.
Menurutnya, sikap itu diambil karena tidak ingin memaksakan sekaligus tidak ingin mencederai perasaan publik di tanah air. Prinsipnya, tidak menerima sesuatu yang negara lain kesulitan untuk melaksanakan itu. Prinsip kedua, kebebasan itu bukan kebebasan yang tak berlebihan yang pada akhirnya menyulitkan diri sendiri maupun bangsa secara keseluruhan. Dia mencontohkan, bila Indonesia setuju dengan resolusi tentang orientasi dan identifikasi seksual, konsekuensinya adalah mengubah pilihan jenis kelamin pada dokumen-dokumen kependudukan. Mengacu kepada resolusi dalam sidang tersebut, manusia dianggap memiliki tiga jenis kelamin: laki-laki, perempuan, lainnya.
“Yang ketiga ini bisa transgender, waria, dan lain-lain. Kan repot kita. Ini melanggar berbagai aturan-aturan yang kita anut. Ini sengaja saya sampaikan untuk memberikan gambaran betapa sulitnya bernegosiasi di tingkat global. Saya menaruh harapan besar kepada Saka Kencana untuk melakukan sesuatu yang mulai dari berpikir dan berbuat. Saka Kencana menjadi andalan generasi muda dalam pembangunan kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga atau KKBPK,” harap Sudibyo.
Harapan itu tampaknya tidak berlebihan mengingat besarnya potensi Gerakan Pramuka di masyarakat. Di sisi lain, saat ini Indonesia memiliki populasi remaja cukup tinggi. Tahun ini saja, Sudibyo memperkirakan jumlah remaja mencapai 66,7 juta jiwa. Jumlahnya akan terus meroket seiring datangnya periode bonus demografi pada 2028 hingga beberapa tahun setelahnya. Pada saat bersamaan, tantangan remaja semakin besar, terutama menyangkut seks bebas, narkotika, dan HIV/AIDS.(NJP)