Home / Berita Utama / Peta Keluarga, Peta Pembangunan

Peta Keluarga, Peta Pembangunan

Asisten Kesra Setda Pemprov Jabar Ahmad Hadadi mendapat penjelasan mengenai Peta Keluarga dari sekretaris BPPKB Kab. Bandung. (DUAANAK.COM)

Asisten Kesra Setda Pemprov Jabar Ahmad Hadadi mendapat penjelasan mengenai Peta Keluarga dari sekretaris BPPKB Kab. Bandung. (DUAANAK.COM)

Program berkualitas lahir dari data berkualitas. Kalau rumusnya begitu, maka hadirnya data berkualitas menjadi sebuah keniscayaan. Nah, pendataan keluarga merupakan sebuah jalan menghadirkan data berkualitas.

Nafsiah Mboi tentu masih ingat masa-masa pengabdiannya saat mendampingi sang suami, Ben Mboi, sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 1978-1988 silam. Selama 10 tahun itulah dokter spesialis anak yang juga ahli kesehatan masyarakat ini bersentuhan dengan kalangan akar rumput. Dia tahu betul metode pengendalian program keluarga berencana (KB) yang menjadi salah satu program unggulan Orde Baru.

Apa yang tersisa dari pengalamannya menjadi Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi NTT tersebut? “Dulu waktu saya aktif menjadi penggerak PKK sering melihat peta PUS (pasangan usia subur) yang dibuat BKKBN. Kenapa serakarang tidak ada?” ungkap Menteri Kesehatan RI menggantikan mendiang Endang Rahayu Sedyaningsih tersebut saat menghadiri Rapat Kerja Nasional Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) akhir Januari 2013 lalu.

Pertanyaan Menkes Nafsiah tersebut seolah menguatkan komitmen Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam mengupakan peningkatan kualitas data keluarga Indonesia. BKKBN yang kala itu tak memiliki kepala sepeninggal Sugiri Syarif langsung menggulirkan pendataan keluarga melalui peta PUS. Melalui surat edaran Deputi Advokasi Penggerakkan dan Informasi (Adpin), BKKBN mewajibkan semua kabupaten dan kota melakukan pemetaan PUS di dua RT dalam satu desa terpilih.

Apakah pemilihan dua RT dalam satu desa di setiap kabupaten cukup? Perwakilan BKKBN Jawa Barat punya jawaban sendiri. Menilai bahwa satu RT dalam satu desa tidak akan mencerminkan wajah PUS secara keseluruhan, Jabar memiliki melaksanakan secara intensif di 12 kabupaten dan kota terpilih. Merasa keluarga tak hanya urusan BKKBN, Dinas Kesehatan Jawa Barat pun dilibatkan.

“Untuk menentukan 12 kabupaten dan kota tersebut, kami bekerjasama dengan Dinas Kesehatan. Ke-12 daerah dipilih berdasarkan data demografi, jumlah PUS, kesertaan ber-KB, dan unmet need yang masih tinggi. Dari aspek kesehatan, diperhatikan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) yang masih tinggi,” terang Kepala Bidang Adpin BKKBN Jawa Barat Rudy Budiman saat ditemui di kantornya belum lama ini.

Berbeda dengan “perintah” Jakarta, Bandung memilih seluruh kecamatan di 12 kabupaten dan kota. Di setiap kecamatan dipilih dua desa, masing-masing desa terjauh dan desa terdekat dengan pusat kecamatan. Pemilihan ini diharapkan mampu merepresentasikan kondisi kecamatan yang bersangkutan. Hasilnya, pendataan dilakukan di 393 kecamatan, 786 desa, 6.860 RW, dan 27.939 RT.

Puluhan ribu RT tersebut didata selama lebih kurang dua bulan, Maret-April. Ada sembilan formulir yang harus diisi para kader di setiap RT. Data itu meliputi demografi, kelompok kegiatan (Poktan) Pusat Informasi Konseling (PIK) Remaja/Mahasiswa, tempat pelayanan kesehatan dasar, data Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS), poktan pos pelayanan terpadu (Posyandu), poktan bina keluarga balita (BKB), bina keluarga remaja (BKR), bina keluarga lansia (BKL), dan peserta KB dilihat dari tingkat risiko kehamilan hingga pemetaan apakah PUS tersebut masuk kategori  unmet need atau tidak.

“Kami dari BKKBN menyosialisasikan formulir ini, mereka (kader) mendata lebih lanjut. Diharapkan outputnya ada peta keluarga atau peta PUS. Sekarang sudah peta PUS karena yang didata itu PUS. Peta PUS digunakan untuk mempermudah bidan atau petugas lapangan memotret daerahnya pada saat operasional lapangan. Misalnya di daerah A ada yang hamil, ada yang berisiko, dan lain-lain,” Rudy menjelaskan lebih lanjut.

Apa parameter berisiko bagi seorang ibu hamil? Indikator ini datang dari Dinas Kesehatan. Diambilah empat terlalu: terlalu tua (>34 tahun), terlalu muda (<18 tahun), terlalu rapat (1-2 tahun terlalu rapat), dan terlalu banyak. Melahirkan anak lebih dari dua itu berisiko bagi sang ibu. Risiko kematian ini menjadi perhatian penting BKKBN setelah melihat evaluasi Millenium Development Goal’s (MDG’s) yang masih menunjukkan tingginya AKI di Indonesia.

Sampai 2011 lalu, AKI Indonesia masih sebesar 228/100.000 kelahiran hidup. Sementara AKB usia 0-11 bulan 34 per 1.000 kelahiran hidup. Bayangkan, hampir setiap satu jam terdapat dua ibu melahirkan yang meninggal dunia. Dalam kerangka itu, maka program KB menjadi salah satu ikhtiar menekan angka kematian tersebut.

Di bagian lain, Rudy mengungkapkan, pemetaan PUS di Jawa Barat dilakukan sebagai langkah verifikasi data hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. Terdapat kesenjangan antara hasil pendataan rutin keluarga yang dilakukan BKKBN dengan survei lima tahunan yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut. Angka peserta aktif KB atau contraceptive prevalence rate (CPR) misalnya, pendataan rutin per Desember 2012 menunjukkan angka 76,13 persen dari total PUS. Sementara hasil SDKI menunjukkan CPR Jawa Barat hanya menyentuh angka 60,3 persen.

“Sebelumnya data itu sudah ada. Cuma kami ingin sampel. Di samping mekanisme MDK  (Mutasi Data Keluarga) tetap jalan, kami ingin melihat kesertaan ber-KB lebih up to date. MDK Juli-September, ini April. (Peta PUS) tidak menggantikan MDK. MDK lebih komplet variabelnya, mulai keluarga hingga tahapan keluarga,” papar Rudy.

 

Data Milik Desa

 

Pendataan keluarga melalui peta PUS ini seperti turun program kiriman. Semua sumber daya yang dibutuhkan didatangkan dari Bandung. Ya, dari kantor perwakilan BKKBN Jawa Barat di Jalan Surapati 122 Kota Bandung. Fasilitator, formulir, sampai pensil dan penghapus semuanya didrop dari Surapati. Namun begitu, semua data akan kembali ke desa. Semua data milik desa.

“Fasilitator bertemu dengan kader dan pos KB di desa atau kecamatan. Program ini disosialisasikan pendataan hingga pembuatan peta. Semua keperluan disiapkan dari sini (kantor BKKBN Jabar, red). Selanjutnya, kader diberi waktu dua minggu untuk mengisi formulir dan membuat peta,” terang Rudy.

Mantan Kepala Balai Pendidikan dan Pelatihan KB Nasional Bogor ini mencontohkan, ketika tim fasilitator akan berangkat ke Kecamatan Loh Bener di Indramayu, maka pada saat yang sama diboyong formulir hingga spidol dan pensil. Juga karton untuk membuat peta keluarga. Semuanya disiapkan sejumlah RT di dua desa di kecamatan tersebut. Tentu, sebelumnya sudah dilakukan terlebih dahulu pendataan kondisi demografi untuk setiap daerah sasaran.

Rudy memastikan seluruh rangkaian sudah tuntas dilaksanakan tim yang di dalamnya melibatkan semua komponen di kantornya itu. Pekerjaan selanjutnya adalah memasukkan data ke dalam server milik BKKBN untuk kemudian diolah oleh tim khusus. Setelah itu, data dikembalikan ke desa untuk digunakan pengelola program di lini lapangan. Di tingkat pengelola lapangan, data digunakan sebagai data basis operasional. Sementara di dingkat provinsi, data digunakan sebagai input dalam merumuskan program dan kebijakan.

Bagi pengelola program KB, data bisa digunakan untuk mengetahui apakah PUS berstatus hamil, masuk kategori unmet need berupa tidak ingin lagi atau ingin anak ditunda, dan lain-lain. Dari situ dapat diketahui langkah intervensi dari pengelola program KB. Itulah prioritas yang digarap lini lapangan.

“Misalnya mereka itu kan ingin ditunda tapi bukan peserta KB. Bisa juga tidak lerlayani misalnyanya karena ketiadkaan alat kontrasepsi atau saat datang ke klinik tidak ada bidan. Ada juga pada saat puskesmas ternyata bukan jadwal pelayanan KB. Atau pada saat datang ditarik biaya yang mereka tidak sanggup bayar. Akhirnya balik lagi. Selain itu, kita mendata kesertaan ber-KB. Pil, suntik, metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Kalau yang pil suntik nanti diajak utuk beralih ke MKJP,” Rudy mencontohkan.

Bagi Dinas Kesehatan, jelas Rudy, data kehamilan bisa memandu langkah intervensi yang harus dilakukan. Pada saat PWS atau pemantauan wilayah setempat misalnya, bidan bisa memonitor perkembangan ibu hamil melalui peta PUS. Dengan begitu, bidan cukup mendatangi kader di desa guna mengetahui kondisi ibu hamil. Melalui peta PUS itu pula sudah langsung dapat diketahui tingkat risiko kehamilan bagi mereka yang masuk kategori berisiko.

Yang tak kalah membuat kening Rudy berkerut ketika hasil pendataan sudah bertumpuk meja. Ternyata angka yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan hasil laporan rutin. Cuma itu tadi, PA tinggi ternyata masih menyisakan unmet need tinggi plus total fertility rate (TFR) yang tinggi pula.

“Tadinya memang karena kita aneh dengan data rutin. Kan PA (peserta aktif, red) tinggi, tetapi TFR juga tinggi. Akhirnya, di samping MDGS itu, juga ingin mendapatkan data. Setelah pendataan ternyata mirip. Aneh juga. Secara keseluruhan, ternyata mirip juga. Di tingkat RT di atas 75 persen. Setelah semua diolah, nanti akan ketahuan semua,” ujar Rudy.

Padahal, sambung Rudy, untuk mendapatkan data tersebut, BKKBN menetapkan kriteria  PUS sesuai SDKI. PUS dipatok sebagai pasangan usia 15-49 tahun. Kalaupun ada keterangan warga yang menyebutkan terdapat perempuan hamil di atas usia 49 tahun, BKKBN mengabaikannya. Alasannya, BKKBN ingin memverifikasi laporan SDKI 2012 yang menjadikan usia 49 tahun sebagai batas usia subur tertinggi.(WK)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top