Home / Berita Utama / Para Orang Tua, Belajarlah Mendengar!

Para Orang Tua, Belajarlah Mendengar!

Pesan Bunda Genre untuk Keluarga Jawa Barat

Bunda Genre Atalia Kamil saat ngobrol santai virtual bersama remaja Jawa Barat.

BANDUNG | WARTA KENCANA

Perbedaaan usia menjadi titik paling krusial dalam komunikasi orang tua dan anak. Untuk membangun harmoni komunikasi antargenerasi agar tetap efektif, kedua belah pihak harus bersedia memahami satu sama lain. Para orang tua harus berkompromi dengan perubahan yang terjadi. Para orang tua harus belajar mendengar.

Bunda Generasi Berencana (Genre) Jawa Barat Atalia Praratya Ridwan Kamil menyampaikan pesan tersebut saat bincang virtual bertajuk “Komunikasi Efektif Orang Tua dan Remaja” yang berlangsung Kamis siang, 16 Juli 2020. Bincang virtual dalam rangkaian kegiatan pemilihan Duta Genre 2020 Tingkat Provinsi Jawa Barat ini diikuti para orang tua yang tergabung dalam kelompok kegiatan bina keluarga remaja (BKR), para Duta Genre kabupaten dan kota, dan pengelola pusat informasi konseling remaja (PIKR) se-Jawa Barat.

Berbicara langsung dari kediaman resmi Gubernur Jawa Barat di Gedung Negara Pakuan, Jalan Otto Iskandardinata Nomor 1, Kota Bandung, Atalia bercerita banyak seputar kesehariannya dalam membangun komunikasi dua anak remajanya: Emmiril Khan Mumtadz  (Eril) dan Camillia Laetitia Azzahra (Zara). Bahkan, Atalia sempat mempraktikkan bagaimana dia bertelepon ria bersama dua remajanya tersebut. Tidak langsung dengan  buah hatinya, melainkan dengan Duta Genre Jabar 2019 Teliana Juwita yang berperan sebagai Zara dan Duta Genre Putra Jabar 2019 Imam Muhammad Agung Fauzy yang memerankan Eril.

“Beda generasi sudah pasti. Sekarang kita hadir di dunia digital. Semua serba digital. Orang tua dulu banyak memberikan aturan dengan mengatakan pamali. Misalnya, pamali jika saat waktu magrib tiba masih ada di luar rumah, pamali duduk di lawang panto, dan lain-lain,” ujar Atalia diiyakan Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Kusmana yang mengikuti jalannya talkshow dari ruang kerjanya.  

Atalia menilai rumus “pamali” tersebut tidak mempan lagi diberikan kepada remaja milenial atau zilenial. Remaja kini menuntut penjelasan logis untuk setiap perintah atau larangan yang diberikan orang tua. Seorang remaja tidak akan begitu saja menerima penjelasan orang tuanya. Dia akan mencoba mencari tahu dengan cara browsing melalui internet. Bia bisa saja langsung membantah manakala penjelasan orang tua dianggapnya tidak masuk akal.

“Dulu, saat Bunda remaja, sumber informasi itu terbatas. Guru dan orang tua menjadi sumber informasi utama. Sekarang informasi melimpah di mana-mana. Orang tua tidak bisa lagi menjadi satu-satunya rujukan informasi. Sebaliknya, orang tua harus belajar mendengar,” kata Atalia. “Mau tahu kapan Bunda remaja? Masa remaja Bunda itu zamannya Milan dan Milea, tahun 90-an. Bagi yang menonton film Dilan dan Milea, seperti itulah gambaran remaja Bunda,” tambahnya.

Terkait komunikasi efektif dengan anak, Atalia berpesan kepada para orang tua untuk menjadi pendengar yang baik. Jika sebelumnya komunikasi yang terbangun hanya satu arah dari orang tua kepada anak, kini orang tua harus membuka diri untuk menerima informasi sebaliknya dari sang anak. Orang tua dan anak harus bersama-sama membangun komunikasi dua arah.

Atalia bersama remaja dan keluarga Jawa Barat.

“Orangtua harus tahu kapan jadi pendengar. Paling penting, mengendalikan emosi. Katakanlah dengan bahasa yang baik. Dalam kondisi marah sekalipun, jangan mengeluarkan kata-kata kasar. Anak akan mudah meniru. Orang tua yang menggunakan bahasa halus saja, bisa jadi kasar. Apalagi kasar. Ingat, anak itu peniru yang baik,” pesan Atalia.

Lulusan terbaik program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pasundan (Unpas) ini juga mengingatkan para orang tua untuk tidak mudah menghakimi. Sebaliknya, orang tua harus memberikan ruang bagi sang anak untuk menyampaikan alasan di balik pengambilan sebuah sikap atau tindakan. Judgement negatif sudah barang tentu membangun persepsi negatif pada sang anak.

“Anak harus diberikan ruang untuk menyampaikan alasan. ‘Kamu mengapa matematika jelek? Kamu kurang belajar yah?’ Nah, belum tentu anak yang salah. Bisa jadi nilai jelek itu datang karena gurunya kurang piawai saat memberikan penjelasan kepada muridnya. Jangan sampai anak merasa dia selalu salah dan disalahkan. Ini akan menstimulasi sikap negatif. Bukan tidak mungkin karena kerap dihakimi buruk, anak malah memilih melakukan hal buruk. Dia merasa percuma melakukan hal baik karena pada akhirnya akan dianggap buruk juga. Ini berbahaya,” papar Atalia.

“Kadang orang tua masih menggunakan perspektif kolonial, zaman di mana dia tumbuh menjadi remaja. Padahal, remaja harus diberikan keprcayaan. Jangan terlalu dicurigiai. ‘Tong curigation wae atuh, Mamih! Mamah kayak gak percaya sama aku.’ Itu beberapa protes yang datang dari anak. Menghakimi dan curiga berlebihan membuat anak-anak jadi tidak mandiri. Overprotektif gak bagus. Berikan dasar pemahaman yang baik, mulai agama, etika, baik-buruk, dan lain-lain di rumah. Selanjutnya berikan kepercayaan kepada anak. Berikan ruang bagi anak untuk mengambil sebuah keputusan atau menyelesaikan masalah yang dihadapinya,” ujanya lagi.

Namun demikian, Atalia mengingatkan bahwa peran orang tua tetap penting dalam mendampingi tumbuh kembang anak. Ada peran-peran orang tua yang tidak bisa tergantikan oleh teknologi. Perhatian dan kasih sayang orang tua menjadi bagian penting bai remaja dalam mengarungi dunia barunya. Hanya saja, orang tua memerlukan penyesuaian dengan dunia digital saat ini.

Atalia mencontohkan, saat dia remaja harus selalu berada di rumah saat magrib tiba. Kini orang tua harus mau berkompromi jika anak remajanya terpaksa belum bisa ada di rumah pada waktu yang diminta tersebut. Orang bisa tetap melakukan pengawasan secara digital. Ini yang kemudian membedakan dengan sebelumnya yang harus selalu disampaikan secara langsung.

“Dulu itu Bunda harus pulang dulu ke rumah, baru minta izin berangkat lagi. Sekarang izin kepada orang tua bisa dilakukan melalui telepon atau WA. Waktu itu harus pulang dulu karena memang belum ada komunikasi cepat seperti sekarang. Dalam mengawasi juga demikian. Dulu orang tua harus ikut mendampingi, sekarang bisa memanfaatkan teknologi. Untuk mengetahui anak ada di mana, orang tua bisa memasng GPS pada gadget anaknya. Jika anak bilang sedang di perpustakaan, kita bisa mengecek kebenarannya dengan melacak GPS. Orang tua harus menyesuikan diri dengan perubahan ini,” ungkap Atalia.(NJP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top