Home / Berita Utama / Mendewasakan Usia Perkawinan dari Pondok Pesantren

Mendewasakan Usia Perkawinan dari Pondok Pesantren

Membangun dari Pinggiran (2)

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dan Wakil Gubernur Uu Ruzhanul Ulum dan pimpinan pondok pesantren meresmikan Pusat Informasi dan Konseling Remaja Pondok Pesantren An-Nasuha, Kabupaten Cirebon.

Pelayanan terpadu KKBPK di perbatasan Jabar-Banten secara khusus menyambangi Pondok Pesantren An-Nasuha di Kabupaten Cirebon, tidak jauh dari tapal batas Kabupaten Brebes di Jawa Tengah. Sosialisasi PKBR ini mengingatkan kembali ihwal peran besar pondok pesantren dalam mendorong pendewasaan usia perkawinan maupun sosialisasi program KB dan pembangunan keluarga.

Masih melekat dalam ingatan KH Usamah Mansyur, pengasuh Pondok Pesantren An-Nasuha di Desa Kalimukti, Kecamatan Pabedilan, Kabupaten Cirebon, saat kali pertama membuka Madrasah Tsanawiyah (MTs) pada 1983 silam. Sebagai sarjana sekaligus kader utama pondok pesantren yang didirikan keluarga, Usamah muda lansung didapuk menjadi kepala sekolah. Bukan tugas mudah untuk memerankan diri sebagai pemimpin sekolah formal di tengah masyarakat yang kala itu tingkat pendidikan maupun taraf ekonominya masih rendah.

“Sekarang dengan Undang-Undang Perkawinan yang baru, menikah minimal pada usia 19 tahun. Jadi, selesai SMA atau Aliyah lalu istirahat setahun, baru menikah. Dulu saya saat baru berkiprah mendirikan MTs sering bertengkar dengan orang tua murid. Banyak sekali kasus anak yang terpaksa putus sekolah karena menikah. Pembelajaran baru jalan satu atau dua catur wulan (Cawu), sejumlah orang tua menarik anaknya dari sekolah. Mereka ditarik untuk dinikahkan,” kenang Usamah.

Padahal, sambung Usamah, si anak sebenarnya masih ingin melanjutkan sekolah. Terlebih dengan hadirnya sejumlah kegiatan ekstrakurikuler menjadikan anak makin betah sekolah. Sayangnya, orang tua muridlah yang kemudian memaksa mengeluarkan anaknya dari sekolah. Sebagai guru, Usamah berusaha memberikan pengertian kepada orang tua. Hasilnya tak banyak mempengaruhi keputusan orang tua.

“Saya sering menyampaikan, ‘Bu, anaknya masih kecil. Jangan dinikahkan sekarang. Biarkan dia sekolah dulu.’ Jawaban orang tua atau wali murid ringan saja. ‘Anak saya, yang hamil saya, yang ngeden saya. Mau sekolah atau dinikahkah gimana saya.’ Kalau sudah menjawab demikian, kita tidak bisa berbuat banyak lagi. Walaupun kasihan kepada si anak, kita mengalah kepada orang tua murid,” cerita Usamah.

Pendewasaan Usia Perkawinan

Cerita serupa bukan sekali dua kali. Sepanjang ingatan Usamah, sangat banyak siswa MTs terpaksa drop out (DO) di tengah jalan. Memang kondisi sosial-budaya masyarakat kala itu terbilang maih kolot. Pendidikan bukan menjadi prioritas keluarga. Bahkan, kala itu banyak anak lulus SD langsung menikah. Karena itu, wajar bila kemudian baru masuk SMP atau MTs akhirnya turut diambil kembali oleh orang tuanya untuk kemudian dinikahkan.

“Anaknya juga sebenarnya tidak mau (berhenti). Mereka masih mau sekolah. Apalagi saat itu mau berkemah, tapi ditarik untuk menikah. Jadi gak jadi kemah. Si anak nangis pulang dari sekolah sampai rumah. Dan, kasus begini demikian banyak,” tambah Usamah.

Pengasuh Pondok Pesantren An-Nasuha KH Usamah Mansyur menyampaikan pentingnya pendewasaan.

Mengingat pengalaman panjangnya tersebut, Usamah mengaku menyambut baik terbitnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Merujuk pada Undang-undang yang diteken Presiden Jokowi pada 14 Oktober 2019 tersebut, usia menikah untuk laki-laki dan perempuan serendah-rendahnya 19 tahun. Ketentuan ini tidak lagi membedakan batasan usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan.

Usamah meyakini menikah pada usia ideal akan menghasilkan keluarga lebih berkualitas bila dibandingkan dengan mereka yang menikah pada usia dini. Alasannya, menikah pada usia yang cukup dengan sendirinya menjadikan seorang lebih matang, baik secara emosional maupun kesehatan reproduksi dan ekonomi.

Alhamdulillah sekarang usia pernikahan antara 18-19 tahun ke atas. Mudah-mudahan anak-anak bisa bertahan (untuk tidak menikah dahulu) sampai usia 19 tahun. Lebih matang, lebih baik. Walaupun tinjauan agama boleh saja menikah di bawah usia 18 tahun, tetapi sebagai muslim yang moderat, demi kepentingan bangsa dan negara, mari kita sukseskan program BKKBN. Nikah usia 19 tahun. Lebih matang, lebih baik. Insyaallah ke depan punya keturunan lebih berkualitas,” tandas .

Kiai Usamah lantas merujuk pada sebuah hadits Nabi Muhammad saw yang menekankan pentingnya merencanakan masa depan keluarga. Dalam bahasa hadits, “Jangan sampai kita ke depan kita menurunkan keturunan yang lemah.” Lemah ekonominya, lemah pendidikan, lemah fisiknya, stunting, dan seterusnya. Karena itu, sambung Usamah, keluarga betul-betul dituntut menurunkan keturunan yang kuat, yang baik, lebih baik dari generasi dari generasi sekarang. “Ke depan kita harus menghasilkan keturunan yang lebih baik,” tegasnya.

Sejalan dengan pesan Rasulullah tersebut, Usamah menilai program penyiapan kehidupan bekeluarga bagi remaja (PKBR) merupakan sebuah jalan menuju terwujudnya generasi kuat. Sebagai pendidik, Usamah menyambut dengan tangan terbuka program PKBR di pesantren yang diasuhnya. Program yang dilembagakan melalui pusat informasi dan konseling remaha (PIKR) tersebut sangat tepat untuk mendorong pemahaman dan kesadaran remaja tentang pentingnya perencanaan keluarga dan kesehatan resproduksi remaja. Khususnya melalui pendewasaan usia perkawinan.

“Ini momentum baik untuk bersama-sama mempersiapkan masa depan lebih baik. Jadi, pada adik-adik remaja jangan terus melamun ‘kapan aku duduk bersanding dengan kekasihku?’ Hari ini kita sosialisasi PKBR. Mari matangnya usia menikah, matangkan psikologisnya, matangkan segala-galanya. Kapan menikah, kapan punya anak, dan seterusnya. Semuanya direncanakan,” papar Usamah.

“Pak Hasto, kita di sini, bekerja sama dengan puskesmas. Mereka mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, mempersiapkan kehamilan, agar mereka betul-betul dapat mempersiapkan diri dengan baik. Dan, dengan dibentuknya PIKR di sini tentu saja ke depan akan menjadi tonggak kerjasama antara pondok pesantren dengan BKKBN. Santri-santri An-Nasuha bisa merencanakan keluarga dengan baik, dengan matang. Rencana yang baik. Jangan sampai buru-buru menikah, apalagi kecelakaan. Terpaksa dinikahkan karena reuneuhna tiheula. Jangan sampai terjadi seperti itu,” tambah Usamah kepada Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo yang duduk di antara para santri.

Sex Education ala Kitab Kuning

Lebih jauh Usamah mengungkap bahwa dunia pesantren sebenarnya tidak asing dengan dengan wacana kesehatan reproduksi (Kespro). Bahkan, terdapat kitab kuning yang secara khusus membahas tentang pendidikan seks (sex education). Kitab klasik dengan judul Qurratu al-‘Uyun bi Syarh Nazham Ibnu Yamun atau cukup disebut Qurratul ‘Uyun yang berarti “Penyejuk Mata” ini ditulis Syekh Muhammad at-Tahami Ibnu Madani. Isinya membahas pernikahan dan hubungan membina rumah tangga dengan pasangannya.

Kitab Qurratul ‘Uyun berisi pendidikan seks berdasarkan hukum Islam yang diajarkan di pesantren.

“Salah kalau santri-santri belajar seks kepada orang-orang Barat. Banyak kitab-kitab kuning di sini, di pondok pesantren, yang mengajarkan tentang pendidikan seks atau sex education. Kitab diajarkan saat santri sudah menginjak usia baligh, antara 17-18 tahun,” ungkap Usamah.

Usamah menjelaskan, secara keseluruhan kitab Qurratul ‘Uyun berisi risalah pernikahan dan adab melakukan jima alias hubungan suami-istri. Materi diajarkan kepada santri tingkat akhir. Santri yang belum “cukup umur” belum diperkenankan untuk mengikuti ngaji kitab ini. Mereka harus mempelajari kitab-kitab dasar aqidah-tauhid, fiqih, nahwu-sharaf (tata bahasa Arab) sesuai tahapan dan kurikulum pakem khas pesantren. Hingga pada waktu yang tepat mereka akan belajar kitab yang kajiannya selalu ditunggu-tunggu itu.

“Biasanya kalau sudah tingkat akhir itu santri banyak yang nanya, ‘Pak, kapan kita belajar Qurratuul ‘Uyun?’ Kitab ini memang ditunggu-tunggu,” ujarnya terkekeh.

Menurutnya, pendidikan seks di pesantren selalu terkait dengan hulu dan hilir ilmu itu sendiri. Ada yang lebih penting untuk dipelajari sebelum ngaji adab dan tata cara berjima. Bab aqidah (iman), thaharah (bersuci), dan fiqih muamalah merupakan rangkaian pembelajaran yang wajib dipahami dan diamalkan. Bersuci dari hadast kecil dan hadast besar, mensucikan najis, periodisasi haidl (menstruasi), nifas dan istihadlah menjadi salah satu pondasi bagi bangunan ilmu dan kehidupan rumah tangga yang kelak akan dibangun.

Qurratul ‘Uyun isinya luar biasa. Metode-metode yang orang lain menyampaikan dalam sex education, dalam kitab Qurratul ‘Uyun itu ada. Jadi, kalau BKKBN mau belajar sex education untuk dikembangkan di Indonesia, datang ke pesantren. Bagaimana agar mendapatkan keturunan berkualitas,” jelasnya.

Dia mencontohkan, Qurratul ‘Uyun mengajarkan tentang bagaimana seorang suami untuk selalu menghormati sang istri dalam melakukan hubungan seksual. Laki-laki dilarang untuk melakukan pemaksaan dalam melakukan seksual.

“Kamu itu istriku. Kewajiban kamu itu melayani aku. Kapanpun yang aku mau. Nah, laki-laki yang berkata demikian sesungguhnya bukan laki-laki yang baik. Proses ‘tidur bareng’ laki-laki dan perempuan harus sedang optimal dua-duanya. Jangan sampai istri sedang dalam tertidur, apalagi sakit, lalu dipaksa berhubungan badan. Ini kalau terjadi kehamilan akan menghasilkan anak yang idiot. Nah, Quurotul ‘Uyun mengajarkan kita untuk adil kepada pasangan. Ibaratnya, jika laki-laki voltasenya sudah tegangan 220, maka istri juga harus dinaikkan dulu jadi 220.  Jangan sampai istri berkata ‘Da ieu mah kawajiban. Pasrah wae. Teu aya rasa naon-naon’. Jika terjadi kehamilan, anaknya menjadi anak yang tidak berkualitas,” pungkasnya. NJP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top