BANDUNG – DUAANAK.COM
Sejatinya kokok ayam 1 Januari 2017 mendatang menjadi penanda peralihan status pegawai para penyuluh dan petugas lapangan KB. Namun, alih status tersebut gagal gara-gara pemerintah pusat belum mengalokasikan belanja pegawai bagi ribuan ASN tersebut. Menteri Keuangan menilai belum ada pijakan hukum kuat yang mendasarinya.
Dibanding kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) lain, boleh jadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) paling serius menyikapi pelimpahan tenaga fungsional penyuluh. Maklum, BKKBN merasa kedodoran dalam menggerakkan program gara-gara kehilangan kendali terhadap pengelolaan para petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) dan penyuluh KB (PKB) sejak dimulai babak desentraliasasi satu dekade silam.
Keseriusan itu diwujudkan dengan segera dimulainya pemetaan sebagai bagian dari tahapan terima personel, pendanaan, dan dokumentasi (P2D) PKB/PLKB. Hasilnya, Jawa Barat memiliki 1.367 PKB/PLKB yang tersebar di 27 kabupaten dan kota se-Jawa Barat. Dokumen 1.367 PKB/PLKB itu seluruhnya sudah diserahkan kepada kepada BKKBN pusat. Sebanyak itu pula yang kini berharap-harap cemas menunggu kepastian status kepegawaian.
Sebagai catatan, pelimpahan penyuluh dari daerah kembali ke pusat tersebut merupakan salah satu konsekuensi dari perubahan pembagian kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Mengacu kepada Lampiran N undang-undang tersebut, urusan pengendalian penduduk dan KB meliputi empat sub urusan, meliputi: 1) Pengendalian penduduk; 2) Keluarga berencana; 3) Keluarga sejahtera; 4) Standardisasi dan sertifikasi. Dari empat sub urusan tersebut, pemerintah pusat memiliki kewenangan paling besar, terutama dalam KB dan standarisasi dan sertifikasi penyuluh dan petugas lapangan KB. Bahkan, poin keempat ini mutlak urusan pemerintah pusat.
Khusus sub urusan KB, pemerintah pusat memiliki kewenangan dan bertangung jawab atas lima aspek, pemerintah provinsi dua aspek, dan pemerintah kabupaten/kota sebanyak empat aspek. Pemerintah provinsi “hanya” berwenang dalam 1) Pengembangan desain program, pengelolaan dan pelaksanaan advokasi, komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pengendalian penduduk dan KB sesuai kearifan budaya lokal; 2) Pemberdayaan dan peningkatan peran serta organisasi kemasyarakatan tingkat daerah provinsi dalam pengelolaan pelayanan dan pembinaan kesertaan ber-KB.
Langkah cepat BKKBN juga tidak lepas dari keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/253/Sj tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan. Edaran tersebut menekankan bahwa serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D) harus segera dilakukan untuk menghindari stagnasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berakibat pada terhentinya pelayanan kepada masyarakat. Mengacu kepada Pasal 404 Undang-undang 23/2014, serah terima P3D urusan konkuren pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dilakukan paling lama dua tahun terhitung sejak UU tersebut diundangkan pada 2 Oktober 2014.
Sebelumnya, Lampiran II Undang-undang Nomor 23/2014 mengatur secara rinci Manajemen Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Konkuren. Substansi urusan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota termasuk kewenangan dalam pengelolaan unsur manajemen (yang meliputi sarana dan prasarana, personel, bahan-bahan, metode kerja) dan kewenangan dalam penyelenggaraan fungsi manajemen (yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengoordinasian, penganggaran, pengawasan, penelitian dan pengembangan, standardisasi, dan pengelolaan informasi) dalam substansi urusan pemerintahan tersebut melekat menjadi kewenangan masing-masing tingkatan atau susunan pemerintahan tersebut.
Mentok di Tangan Menkeu Sri
Pada mulanya semua berjalan lancar. Sampai kemudian perjalanan PLKB/PKB ke rumah lama tersandung sepucuk surat yang dilayangkan Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati pada 9 September 2016. Surat bernomor S-757/MK.02/2016 tentang Usulan Penyediaan Tambahan Alokasi Belanja Belanja Pegawai Tahun 2017 sebagai Tindak Lanjut Rencana Pengalihan Status Pegawai Atas Pelaksanaan undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini merupakan jawaban atas surat Kepala BKKBN Nomor 1612/RC.600/B1/2016 tentang perkiraan kebutuhan gaji dan tunjangan PLKB/PKB pada 17 Juni 2016.
Dalam suratnya, bekas Managing Director International Monetary Found (IMF) ini menegaskan penyediaan alokasi gaji dan tunjangan PLKB/PKB tersebut belum dapat dipertimbangkan. Alasannya, sesuai arahan Presiden Jokowi pada rapat kabinet terbatas beberapa waktu sebelumnya tidak memperkenankan dilakukan pengalihan status pegawai dari daerah ke pusat. Di sisi lain, peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari Undang-undang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi dasar hukum pengalihan status pegawai belum ditetapkan.
“Alokasi anggaran untuk belanja pegawai berkenaan Tahun Anggaran 2017 tetap dialokasikan melalui APBD sampai dengan adanya kejelasan status dan dasar hukum pelaksanaan pengalihan. Atas perhatian dan kerjasama Saudar, kami usapkan terima kasih,” demikian bunyi Surat yang diteken langsung Menkeu Sri Mulyani tersebut. Selain ditujukan kepada Kepala BKKBN, surat juga ditembuskan ke sejumlah kementerian terkait seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Perhubungan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Kepala Badan Kepegaiawan Negara.
Apa boleh buat. Kewenangan penganggaran memang menjadi domain Kementerian Keuangan. BKKBN pun tak mampu berkutik. Menindaklanjuti “penolakan” Menkeu tersebut, BKKBN langsung melayangkan surat kepada para kepala daerah berisi permintaan agar tetap mengalokasikan belanja pegawai dan tunjangan bagi PLKB/PKB di daerah masing-masing. Pengalihan bakal dilakukan setelah memiliki dasar hukum tetap.
Hanya Tertunda
Lalu, bagaimana selanjutnya? Deputi Pengendalian Penduduk BKKBN Wendy Hartanto mengungkapkan pelimpahan status kepegawaian PLKB/PKB hanya soal waktu. Pada akhirnya, seluruh PLKB/PKB akan menjadi pegawai pemerintah pusat. Alasannya, alih status PLKB/PKB merupakan amanat undang-undang.
“Ini amanat Undang-Undang, jadi hanya tertunda. BKKBN akan terus mengawal proses pengalihan PKB/PLKB ke pusat,” tegas Wendy saat membuka Rapat Penelaahan Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) Provinsi Jawa Barat Bandung baru-baru ini.
Menurut Wendy, penundaan terjadi karena undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) telanjur disahkan. Dengan demikian, usulan penambahan anggaran untuk belanja ASN PKB/PLKB tidak bisa lagi dianggarkan karena dana alokasi umum (DAU) yang telanjur diserahkan ke kabupaten/kota tidak mungkin ditarik kembali.
Untuk itu, Wendy meminta seluruh pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membidangi program KKBPK di kabupaten/kota untuk dapat menjelaskan perihal ini kepada seluruh PKB/PLKB di wilayahnya masing-masing. Juga kepada bupati atau wali kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.(NJP/HK)