BANDUNG – DUAANAK.COM
Teknologi menjadi mengungkit utama kemajuan peradaban umat manusia. Sayangnya, pada saat yang sama, teknologi juga menjadi kabar buruk bagi pembangunan keluarga. Dalam banyak kasus, teknologi menjadi jembatan kehadiran “musuh” bagi keluarga. Perlu upaya ekstra menghalau musuh modern tersebut.
Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Jawa Barat Netty Prasetiyani Heryawan menyuguhkan cerita menarik ketika memberikan sambutan pada peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XXII di Kabupatan Bogor pada 8 Juni 2015 lalu. Netty masih ingat ketika masa kecilnya berada dalam sebuah lingkungan bersahaja.
Kala itu, ketika seorang anak sakit, maka seorang ibu akan sibuk berlarian mencari bawang merah untuk kemudian diparut dam ditambah minyak telon atau kayu putih. Parutan itu kemudian dibalurkan ke sekujur tubuh. Pada kasus yang lain, ketika seorang ibu mendapati perut anaknya kembung, maka dia akan mencari daut jarak di halaman rumahnya.
“Tapi hari ini, dengan kemajuan teknologi dan informasi, boro-boro mencari bawang merah. Yang dibuka adalah ponsel atau Android-nya untuk kemudian mengubah status (di media sosial) menjadi, ‘GWS ya sayang’. Tentu ini fenomena yang perlu kita sikapi,” kata Netty gemes.
Nyonya Gubernur Heryawan ini juga mengaku punya pengalaman menarik di microblogging Twitter. Saat itu Netty mendapat kiriman foto berjudul “Inilah ibu di era digital”. Dalam foto tersebut tampak seorang ibu dan seorang anak. Si ibu membelakangi anaknya sambil memegang ponsel cerdas, sementara si anak menghabiskan makan siangnya. Di belakang ibu dan anak tersebut ada papan nama restoran cepat saji terkemuka.
“Ini gambaran betapa ibu hari ini hanya sibuk dengan urusan pribadinya, sementara anak dibiarkan besar sendiri. Inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia menempati peringkat pertama tingkat obesitas anak-anak Indonesia. Gizi buruk kelima di dunia. Kemudian tubuh kerdil menempati urutan keempat di dunia,” kata Netty lagi.
Bahaya Teknologi Informasi
Doktor Ilmu Pemerintahan ini kemudian mengingatkan kekhawatiran John Naisbit sebagaimana terangkum dalam buku legendaris Megatrends 2000. Buku tersebut mengatakan, ke depan kita harus lebih berhati-hati dengan kecepatan teknologi dan informasi. Dan, Indonesia kini memanen bencana dari ketidakhati-hatian terhadap gempuran teknologi tersebut.
Ada lagi. Bila dulu orang tua malu dan merasa mendapay aib bila ada anaknya yang jadi pegawai seks komersial (PSK), kini sejumlah fakta menunjukkan sebaliknya. Pengalaman Netty dalam mengadvokasi kasus PSK anak menemukan adanya orang tua yang dengan sukarela menerima setoran anaknya yang PSK.
“Ini pengalaman saya ketika mengadvokasi kasus PSK anak yang dititipkan di kantor saya, P2TP2A. Ketika diperiksa di Polrestabes Bandung, bapaknya si anak ditanya siapa yang salah dalam kasus tersebut. Bapaknya dengan tenang mengatakan, ‘Itu kesalahan anak saya.’ Ini sebuah realita mengerikan,” tandas Netty lagi.
Di hadapkan pada fenomena di atas, tampaknya pesan-pesan orang tua dulu sudah berjungkir balik sedemikian rupa. Pesan ini misalnya, “Hati-hati Nak pada orang asing.” Dalam beberapa kasus, terdapat sejumlah ayah yang menjadi predator seksual bagi anak-anak perempuannya. Anak-anak kandungnya sendiri.
“Kalau dulu, seorang istri melabuhkan perlindungan dirinya pada suami. Tapi hari ini, banyak ditemukan suami melakukan kekerasan terhadap istrinya. Baik verbal sampai fisik, seksual, dan sebagainya. Kita harus melainkan mewaspadai bahwa pergeseran itu sudah masuk ke ruang-ruang kita, ruang-ruang tidur anak kita,” imbuh Netty.
“Bahkan, secara tidak sadar kita sendiri yang menitipkan musuh-musuh itu kepada tangan anak-anak kita. Kita sendiri yang memulai mengenalkan musuh-musuh itu kepada kehidupan mereka pada usia sangat dini. Bahkan, kini gawai atau smartphone itu sudah sangat dini dikenalkan orang tua kepada anak-anaknya. Hari ini anak-anak kita usia tiga tahun sudah terampil menggunakan ponsel Android melalui teknologi touch screen,” Netty melanjutkan.
Beberapa waktu lalu, Kementerian Komunikasi dan Informasi menerbitkan buku Hidup Hanya Sekali. Dalam buku itu diingatkan bahwa dalam membangun keluarga dihadapkan pada empat tantangan besar. Pertama, pornografi. Menurut buku itu, hampir 100 persen anak-anak kita sudah mengakses pornografi pada usia 17 tahun. Dan, 90 persen dilakukan pada saat mengerjakan tugas sekolah.
“Sangat mengerikan bila pada usia 17 tahun anak-anak kita sudah mengakses pornografi, secara sengaja atau coba-coba mengklik iklan pop-up pada saat membuka internet. Bayangkan bila anak-anak kita sudah teradiksi dengan pornografi maka mereka akan ketagihan dan membuka situs-situs yang lain,” ujar Netty.
Belum lagi, belakangan ini anak-anak senantiasa berada dalam ancaman kejahatan kemanusiaan, human trafficking misalnya. Yang mengerikan, apa yang menyebabkan mereka terjebak pada human trafficking, bukan hanya persoalan klasik ekonomi atau kemiskinan. Akhir-akhir ini ditemukan kasus anak-anak hanya dengan alasan ingin rebounding di Singapura bisa menjadi korban trafficking.
“Ini yang kemudian saya pesankan kepada Bapak dan Ibu untuk menjaga anak, baik laki-laki atau perempuan. Anak-anak laki-laki pun tidak bebas dari ancaman predator seksual maupun trafficking,” tambahnya.
Dua hal lain yang turut menjadi sorotan adalah narkoba dan prostitusi. Persoalan narkoba, baik yang ditawarkan secara tegas atau sangat halus, kemudian menghancurkan masa depan masa anak-anak bangsa. Celakanya, kasus narkoba menjangkiti tanpa belas kasihan. Bila anak-anak dari kalangan mapan mengonsumsi merek-merek kenamaan, mereka yang tidak memiliki kesempatan membeli yang mahal berusaha melakukan pengoblosan dengan aneka obat-obatan.
“Akhirnya hari ini harus prihatin dengan kasus prostitusi, baik yang dilakukan secara klasik dengan membuka lokasi di sebuah tempat maupun yang bersolo karir dengan menjajakan diri melalui online. Ini yang kemudian harus kita khawatiri yang mengancam keberadaan keluarga-keluarga di Jawa Barat,” pesan Netty.
Menutup orasi penuh energi tersebut, Netty mengajak segenap keluarga di Jawa Barat bekerja keras, bersungguh-sungguh, mengusung tema keluarga. Dia menegaskan, pentingnya bersepakat menjadikan keluarga sebagai tempat persemaian nilai-nilai kebaikan. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang akan menjadi penentu kekuatan sebuah bangsa.
“Tidak ada sebuah bangsa manapun di belahan bumi ini, kecuali mengandalkan kekuatan sebuah bangsa dari kekokohan keluarganya. Namun, hari ini realitas yang kita hadapi tidak sederhana,” pungkas Netty.(WARTAKENCANA)
Pindad perusahaan anak bangsa yang patut dibanggakan