Home / Berita Utama / Kependudukan Diabaikan, Indonesia Jadi Supermarket Bencana

Kependudukan Diabaikan, Indonesia Jadi Supermarket Bencana

Rektor Undip sekaligus Guru Besar Sosilogi Lingkungan Hidup Sudharto P Hadi di arena Pertemuan Ilmiah IPADI di Bale Sawala, kampus Unpad Jatinangor. (NAJIP HENDRA SP/DUAANAK.COM)

Rektor Undip sekaligus Guru Besar Sosilogi Lingkungan Hidup Sudharto P Hadi di arena Pertemuan Ilmiah IPADI di Bale Sawala, kampus Unpad Jatinangor. (NAJIP HENDRA SP/DUAANAK.COM)

JATINANGOR – DUAANAK.COM

Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Sudharto P Hadi menyodorkan fakta pilu pembangunan di Indonesia. Saking sering dan beragamnya bencana menimpa Indonesia, Sudharto menyebut negeri kaya sumber daya alam ini tak ubahnya “supermarket” bencana. Seperti halnya supermarket, bencana apapun ada di Indonesia.

“Musim hujan datang banjir, sementara kalau musim kemarau kekeringan dan kebakaran hutan. Mau bencana apa saja ada. Tekanan ekologis kita sudah sangat berat,” ungkap Sudharto pada Pertemuan Ilmiah Nasional Kependudukan dan Pembangunan Berkelanjutan yang diprakarsai Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) di Bale Sawala, kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), Jatinangor, Jawa Barat, Rabu pagi 26 November 2014.

Peraih gelar Master in Environmental Studies (MES) di Faculty of Environmental Studies, York University, Toronto, Kanada, pada 1989 ini menjelaskan, evolusi hubungan manusia dan alam telah memicu meroketnya bencana di dunia. Dahulu kala manusia menganut paham biosentrisme dan ekosentrisme yang menjadikan alam sebagai pusat kehidupan. Pada saat itu, manusia merasa menjadi bagian dari alam. Dia mencontohkan, manusia Indonesia menciptakan aturan (pemali) agar hubungannya serasi dengan alam.

“Di Maluku ada sistem Sasi di Maluku. Kemudian tradisi zoning suku Tabla di Papua. Karuhun bagi masyarakat Kampung Naga. Pasang masyarakat di Kajang, Sulawesi Selatan. Ada lagi Awig-awig Subak dan Awig-awig desa adat di Bali. Masyarakat kita sudah menerapkan self managing, self regulating,” moderator debat calon presiden dan wakil presiden ini mencontohkan.

Bertolak belakang dengan manusia lampau, relasi alam dan manusia kini tak lagi mesra atau harmonis. Manusia yang semula menjadi bagian dari alam, kini manusian menjadikan dirinya sebagai pusat kehidupan atau antroposentrisme. Dalam mayarakat industri, manusia melawan dan mengendalikan alam yang kemudian berdampak secara lokal, regional, dan global.

“Harus diakui bahwa salah satu pemicu meningkatnya bencana akibat jumlah penduduk yang semakin meningkat, bahkan cenderung tak terkendali. Akibatnya, kebutuhan manusia meningkat dan makin beragam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga turut memicu percepatan eksploitasi alam. Manusia bukan lagi memanfaatkan, tapi sudah melakukan eksploitasi. Manusia berkuasa atas alam,” papar Guru Besar Sosilogi Lingkungan Hidup ini.

Dia menambahkan, pembangunan berorientasi ekonomi yang mengabaikan lingkungan hidup ini pada akhirnya melahirkan dampak berupa bencana dalam berbagai bentuk. Model pembangunan itu telah memicu pemanasan global (global warming) yang berakibat pada kenaikkan permukaan air laut, kenaikkan temperatur laut dan udara, meningkatnya curah hujan, evaporasi, dan badai tropis.

Dampak lanjutannya, kenaikkan permukaan air laut mengakibatkan tenggelamnya pulau-pulau kecil, intrusi air laut, rob, dan abrasi. Kenaikkan temperatur air laut memicu menurunnya populasi ikan. Kenaikkan temperatur udara memicu timbulnya aneka penyakit. Curah hujan tinggi mengakibatkan longsor, banjir, dan perubahan pola tanam. Meningkatnya evaporasi mengakibatkan kekeringan yang berdampak lanjutan pada kelangkaan pangan. Sementara badai tropis mengakibatkan gangguang transportasi, kelangkaan air, dan kelangkaan pangan.

“Pembangunan kita disetir oleh pasar (market driven), tidak didasarkan pada daya dukung dan daya tampung lingkungan. Akibatnya, saat ini konsumsi sumber daya alam di 52 negara di dunia atau 80 persen dari jumlah penduduk sudah melampaui sepertiga dari kemampuan lingkungan untuk memulihkannya. Hitungan ini didasarkan pada konsep jejak ekologis (ecological footprint), di mana di sana terdapat jumlah maksimum populasi yang bisa didukung suatu kawasan secara berkelanjutan,” terang peraih gelar PhD dari School of Community and Regional Planning University of British Columbia (UBC), Vancouver, Kanada tersebut.

Sebagai solusinya, Sudharto menawarkan gagasan pentingnya pengendalian jumlah penduduk untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Upaya itu diikuti dengan perubahan pola konsumsi ke arah sustainable consumption patterns dan pengembangan teknologi yang lebih ramah terhadap lingkungan. Pengabaian pembangunan pada aspek kependukan hanya akan mengukuhkan Zabrud Khatulistiwa ini sebagai supermarket bencana. Naudzubillah! (NJP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top