Home / Berita Utama / Ini Dia Angka-angka Akrobatik Mini Survei 2013

Ini Dia Angka-angka Akrobatik Mini Survei 2013

Persentase Perempuan Hamil di Jawa Barat Berdasarkan Kabupaten dan Kota. (CAPTURE MINI SURVEI 2013)

Persentase Perempuan Hamil di Jawa Barat Berdasarkan Kabupaten dan Kota. (CAPTURE MINI SURVEI 2013)

BANDUNG – DUAANAK.COM

Survei memang survei, bukan fakta absolut. Meski begitu, dengan metodologi yang tepat mampu mencerminkan realitas populasi. Begitu pula dengan Mini Survei (MS) program keluarga berencana (KB) yang dihelat 2013 lalu –dan hasilnya dipublikasikan tahun ini.

Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Barat Soeroso Dasar mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika moderator pada rapat pendahuluan Review Program Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) memberikan kesempatan kepada peserta rapat untuk menyampaikan pendapat atau pertanyaan. Sesi pertama ini Soeroso belum beruntung. Barulah moderator mempersilakan Soeroso ketika termin kedua pertanyaan dibuka.

“Saya mengapresiasi hasil survei yang dilakukan BKKBN. Pembagian kuadran mengingatkan saya pada diagram Cartesius untuk melihat korelasi antara sumbu x dan sumbu y. Bagi saya ini kemajuan dalam menganalisis program KKBPK di Jawa Barat,” kata Soeroso yang mengaku memiliki riwayat penelitian selama belasan tahun di almamaternya, Universitas Padjadjaran (Unpad).

Itu saja? Ternyata tidak. Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unpad ini menyampaikan unek-uneknya tentang beberapa hal yang mengemuka dalam hasil MS 2013. Boleh jadi pertanyaan Soeroso sebenarnya mencerminkan pertanyaan serupa dari benak banyak peserta rapat. Bahkan, bukan tidak mungkin yang diungkapkannya merupakan titipan dari peserta rapat, heheh..

“Saya terkaget-kaget menyimak angka kehamilan di Jawa Barat berdasarkan hasil Mini survei 2013. Bagaimana bisa di Kabupaten Karawang terdapat 33,1 persen wanita usia suburnya bisa hamil bersamaan? Apakah survei ini sudah menggunakan metodologi secara benar?” Soeroso seolah menggugat.

Pentolan Koalisi Kependudukan Jawa Barat ini makin heran ketika mencermati angka pasangan usia subur (PUS) yang belum terlayani (unmet need). Di Karawang, masih mengutip rilis survei yang sama, angka unmet need-nya 10,8 persen. Dibandingkan dengan angka prevalensi atau kepesertaan KB yang mencapai 71,3%, angka-angka tersebut menjadi tidak masuk akal.

Di bagian lain, angka-angka akrobatik MS juga ditunjukkan pada tingkat kesertaan ber-KB berdasarkan tingkat pendidikan. Ternyata tingkat kepesertaan ber-KB antara mereka yang tamatan SD lebih tinggi daripada tamatan perguruan tinggi. Ini menjadi pertanyaan serius mengingat betapa pengaruh pendidikan terhadap kesertaan KB itu sangat kecil. Prevalensi lulusan perguruan tinggi ini hanya mampu mengalahkan mereka yang tidak tamat SD atau mereka yang tidak mengenyam bangku sekolah.

Berikut tingkat kepesertaan KB berdasarkan pendidikan tersebut: Tak sekolah 56%, tak tamat SD 60%, tamat SD 66%, tamat SLTP 67%, tamat SLTA 66%, dan tamat perguruan tinggi 63%. Angka ini menunjukkan mereka yang berpendidikan SLTP ternyata memiliki kesadaran untuk ber-KB paling tinggi. Secara umum, berarti tingkat pendidikan tidak linear dengan kesadaran untuk ber-KB.

Tidak kalah menariknya adalah rendahnya kesertaan ber-KB di Kota Cimahi. Berdasarkan karakteristik wilayah, imbuh Soeroso, Cimahi merupakan tetangga Kota Bandung yang nota bene merupakan jantung Jawa Barat, kota besar utama di Indonesia. Dengan begitu, akses terhadap pelayanan KB sebenarnya tidak sulit. Terlebih Kota Cimahi memiliki teritori yang sangat kecil, hanya tiga kecamatan. Bandingkan dengan Kabupaten Sukabumi yang memiliki 47 kecamatan atau Kota Bandung dengan 30 kecamatan.

Menanggapi hal itu, Kepala Perwakilan BKKBN Jabar Siti Fathonah menjelaskan, MS dilaksanakan setiap April-Mei. Dengan demikian, angka-angka yang muncul menggambarkan kondisi sesaat pada bulan-bulan tersebut. Pejabat eselon II yang mengawali karirnya dari peneliti ini mengingatkan bahwa survei tidak menggambarkan kondisi selama satu tahun. Lazim dalam pertanyaan penelitian atau sensus mencantumkan periode atau waktu.

“Mungkin enaknya bikin anak itu musim dingin sekitar Februari atau Maret, jadi April-Mei hamil. Ini jokes saja,” kata Fathonah mengawali jawabannya.

Dengan demikian, terang Fathonah, kondisi pada satu periode tertentu tidak bisa digeneralisasi ke dalam satu periode penuh. Karena itu, sangat mungkin terjadi sautu kondisi secara bersamaan. Hal ini juga tidak bisa dipisahkan dari karakterisrik wilayah. Buktinya, kabupaten lain menunjukkan potret berbeda. Kota Cirebon misalnya, hanya mencatat jumlah kehamilan pada saat dilakukannya survei sebanyak 2,6%.

Menyinggung kondisi Kota Cimahi, Fathonah menilai tidak harus menjadi polemik mengingat kondisi perkotaan tidak lepas dari adanya kawasan kumuh (slum area) berupa bantaran sungai, rel kereta api, terminal, dan kantong-kantong lainnya. Kondisi itulah yang menjadikan akses mereka terhadap pelayanan menjadi sulit. Atau, bisa saja upaya pengelola program untuk menyentuh kelompok ini tidak optimal.

“Karena itu, unmet need di kota-kota besar atau perkotaan pada umumnya antara lain berkaitan dengan kantong kemiskinan atau kawasan kumuh tadi. Beda dengan daerah lain seperti kawasan pegunungan atau pesisir. Saya malah senang memunculkan angka 9,4%. Kalau angkanya 5% malah saya bertanya, benar atau nggak kelompok-kelompok tersebut digarap,” ungkap Fathonah.

Fathonah juga mengoreksi penggunaan diagram Cartesius dalam penggunaan diagram. Penentuan kuadran, terang Fathonah, berpijak pada diagram Scatter yang di dalamnya memuat sebaran angka. Diagram ini dikembangkan untuk melihat posisi sebuah daerah. Penentuan kuadran sendiri ditentukan setelah memasukkan instrumen total fertility rate (TFR) dan prevalensi (CPR).

“Jadi, memang tidak untuk melihat hubungan TFR terhadap CPR. Penentuan kuadran untuk melihat benchmark saja,” terang Fathonah.(WARTAKENCANA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top