JATINANGOR – DUAANAK.COM
Legenda hidup program keluarga berencana (KB) Indonesia, Haryono Suyono, memberikan kritik tajam untuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Selain tidak berhasil membumikan program KB di perdesaan, Ketua Yayasan Damandiri ini menilai BKKBN melulu berkutat pada aspek reproduksi. Padahal, ada delapan fungsi yang harus dijalankan sebuah keluarga.
Kritik terbuka itu disampaikan Haryono saat menjadi narasumber Pertemuan Ilmiah Nasional Kependudukan dan Pembangunan Berkelanjutan yang diprakarsai Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) di Bale Sawala, kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), Jatinangor, Jawa Barat, Rabu pagi 26 November 2014. Mantan Kepala BKKBN ini juga memuji visi dan misi yang diusung Presiden Jokowi yang menjadikan desa sebagai urat nadi utama pembangunan.
“Terus terang dan mohon maaf Ibu Sestama (Sekretaris Utama BKKBN), BKKBN selama ini hanya mementingkan satu fungsi, yaitu fungsi reproduksi, fungsi KB. Ke mana-mana masih membawa spiral, bawa kondom, bawa kontrasepsi. Bahkan kontrasepsi vasektomi dan tubektomi. Kalau vasektomi ditawarkan, kalau tubektomi ditawarkan, pasti sebuah keluarga akan menjawab, ‘Ya saya mau vasektomi kalau tugas fertilitas saya sudah selesai.’ Wajar bila rata-rata aspektornya di atas 40 tahun, sudah punya anak 3-4 tahun,” kata Haryono.
Menyimak pernyataan seniornya tersebut, Sekretaris Utama BKKBN hanya mangut-mangut. Haryono melanjutkan, dengan usia peserta KB seperti itu, maka vasektomi tidak akan menurunkan fertilitas. Penggagas Posdaya ini juga menyindir pemecahan rekor Musium Rekor Dunia Indonesia (MURI) tentang capaian vasektomi beberapa waktu lalu.
“Hati-hati, walaupun dapat promosi dari MURI. Juara MURI itu tidak ada artinya untuk menurunkan fertilitas. Ingat, karena umur akseptor sudah tua, varitasnya tinggi. Lebih baik pakai kondom tapi baru menikah, lebih baik pakai pil tapi baru menikah,” tandas Haryono.
Tak hanya itu, Haryono juga mengkritik revitalisasi program KB yang dianggapnya malah mundur ke era tahun 1970-an ketika program KB pertama kali digulirkan. Program KB yang sejatinya menyentuh delapan fungsi keluarga, dipersempit untuk hanya menurunkan angka kelahiran. Delapan fungsi keluarga yang disebutkan Haryono itu meliputi Ketuhanan Yang Maha Esa, budaya, cinta kasih, perlindungan, kesehatan dan KB, pendidikan, wirausaha, dan lingkungan hidup.
Dana Kependudukan PBB, UNFPA, juga tak luput dari kritik manta Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan rezim Orde Baru tersebut. Hadirnya UNFPA pada 2005 dianggapnya turut menggagalkan program KB karena mengurangi atensinya terhadap keluarga berencana. Revitalisasi program KB tapi disalahkartikan denga menggiring kembali ke era 70-an. Para petugas sibuk mencari akseptor baru, bukan berusaha mewujudkan norma kecil keluarga bahagia sejahtera.
“Saya kritik karena sekarang presidennya sudah ganti. Beberapa waktu lalu tidak saya kritik karena presidennya berasal dari Pacitan, sama dengan saya. Sekarang dari Solo, saya kritik untuk menjadi perhatian,” ujar Haryono disambut tawa renyah peserta pertemuan.
Selain melulu mengurus reproduksi keluarga, Haryono juga mengkritik BKKBN yang dianggapnya tidak lagi menaruh perhatian pada perdesaan. Kondisi ini diperburuk dengan berkurangnya jumlah petugas lapangan beluarga berencana (PLKB), baik karena pensiun maupun mutasi ke lembaga sesuai kebijakan daerah. Menurutnya, PLKB yang sekarang bertahan sudah menua sehingga dinamikanya sangat lambat.
“Saya masih sering terjun ke desa dan melihat teman-teman di desa. Di desa tidak acuh lagi terhadap program KB. Petugas-petugas lapangan yang tadinya melebihi 30 ribu, sekarang sekitar 20 ribu atau kurang. Dinamikanya semakin lambat dibanding periode 1970-2000. Akibatnya, keluarga Indonesia menjadi makin dinamis. Ini menjadi tantangan kita semua,” ungkap Haryono.
Menyikapi tantangan tersebut, Haryono mengajak IPADI dan BKKBN untuk turut terlibat aktif dalam mengejewantahkan visi dan misi Presiden Jokowi yang dikenal dengan nama Nawa Cita. Inti Nawa Cita, sambung Haryono, adalah menjadikan desa sebagai pusat pemberdayaan dan pembangunan. Jokowi mencoba menerapkan pembangunan dari pinggiran untuk mendorong pemerataan pembangunan dan membuka aksesibilitas bagi semua kalangan.
“Negara melindungi segenap bangsa, pemerintah tidak absen membangun tata kelola pemerintahan, membangun dari pinggiran, menolak negara lemah penegakan hukum, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, meningkatkan produktivitas rakyat, mewujudkan kemandirian ekonomi, melakukan revolusi karakter bangsa, memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia,” Haryono mengutip visi Nawa Cita yang diusung duet Jokowi-Jusuf Kalla.
“Lihat sekarang para menteri sekarang sibuk sekali. Karena itu, mohon Saudara-saudara sekalian menjadi pendamping menteri dan membawa pesan-pesan Nawa Cita itu ke desa, kampung, dan kelurahan. Karena di situlah sebenarnya pusat keluarga Indonesia, penduduk Indonesia. Kurangilah pertemuan-pertemuan di tempat-tempat mewah, lakukanlah pertemuan-pertemuan di desa-desa, kampung, kecamatan sehingga pesannya minimum bisa didengarkan bupati, camat, dan kepala desa,” tegas Haryono.(NJP)