BANDUNG – DUAANAK.COM
Penguatan program kependudukan keluarga berencana dan pembangunan keluarga (KKBPK) di Jawa Barat makin membuka harapan. Jika tak ada aral melintang, Jabar bakal menjadi provinsi perdana yang memiliki Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana di tanah air. Bila hal itu benar-benar terwujud, maka kelahiran dinas tersebut benar-benar senapas dengan Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dan di dalamnya mengamanatkan pembentukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD).
Rencana pembentukan Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana Jawa Barat tersebut menjadi salah satu poin yang disampaikan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan saat menyampaikan nota pengantar Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah dalam rapat paripurna DPRD Jawa Barat di Gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro Nomor 27, Kota Bandung, pada Rabu 31 Agustus 2016.
Heryawan menjelaskan, usulan pembentukan dan susunan untuk Organisasi Perangkat Daerah (OPD) ini berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 yang berimplikasi pada perubahan susunan organisasi, serta tugas dan fungsi perangkat daerah.
“Hal ini tindak lanjut dari undang-undang dan PP tersebut. Undang-undang ini kan dengan sejumlah paradigma dan perubahan yang baru yang mengakibatkan struktur di pemerintahan daerah, baik itu provinsi maupun kabupaten/kota berubah. Lebih efisien,” kata Heryawan usai rapat paripaurna.
Heryawan menjelaskan, susunan perangkat daerah ini ditetapkan berdasarkan tipologi Perangkat Daerah yang diklasifikasikan ke dalam tipe A, B, dan C yang ditentukan melalui variable beban kerja yang terdiri dari variabel umum dengan bobot 20 persen dan variabel teknis dengan bobot 80 persen. Berdasarkan UU tersebut, Jawa Barat akan memiliki Asisten Daerah yang semula berjumlah empat akan menjadi tiga orang asisten daerah, tenaga atau staf ahli gubernur yang semula berjumlah lima akan menjadi tiga orang, serta biro yang semula 12 akan diciutkan menjadi maksimal sembilan biro.
“Salah satunya ada penguatan asalnya Biro Keuangan menjadi Badan Pengelolaan Keuangan dan Barang Milik Daerah. Tentu kelebihannya kalau jadi Badan bukan Biro yang pertama, masih mengelola keuangan dan yang kedua, bisa menggulirkan uang,” ujar Aher.
Dalam usulan tersebut juga akan ada perubahan pada Dinas Peternakan dan Badan Ketahanan Pangan Daerah. Kedua perangkat daerah ini akan dilebur menjadi satu menjadi Dinas Peternakan dan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat, serta badan yang menangani para penyuluh akan dikembalikan ke dinas terkait.
“Eselon III di pertanian itu jadi hanya tiga, jadi asalnya ada lima dinas terkaitnya, yaitu Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Peternakan, Perkebunan, Bakorluh, dan Badan Ketahanan Pangan Daerah, jadi cuman tiga,” tutur Aher.
Kemudian Aher pun menjelaskan ihwal pihaknya meleburkan Badan Ketahanan Pangan Daerah dengan Dinas Peternakan. Kata Aher nantinya dinas tersebut akan bertugas mengadvokasi masyarakat untuk membangun ketahanan pangan yang semula berbasis pada karbohidrat menjadi ketahanan pangan berbasis protein hewani.
“Bakorluh diperintah oleh PP beralih fungsinya ke masing-masing. Jadi penyuluh pertanian kembali ke Dinas Pertanian, penyuluh kehutanan kembali dibawah pembinaan dan pengawasan Dinas Kehutanan, penyuluh perikanan di bawah Dinas Perikanan,” lanjutnya.
Selain itu, menurut usulan tersebut nanti Pemprov Jawa Barat juga akan memiliki kantor dinas baru untuk memperlancar tugas, kinerja, dan teknis kewenangannya. Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) akan dibagi menjadi dua, yakni Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana.
“Dinas Kependudukan provinsi akan berfungsi menjadi koordinator Dinas Kependudukan Kabupaten/Kota. Ditambah penguatan Keluarga Berencana,” tambah Aher.
Selan itu, ada juga Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah yang akan menjadi Dinas Perpustakaan Daerah dan Dinas Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat. “Kedua lembaga ini ga nyambung sebenarnya, jauh karakternya. Jadi ini (kearsipan dan perpustakaan) harus dibangun dengan baik, sebab arsip dan perpustakaan penting. Dengan harapan perpustakaan akan lebih besar, lebih maju dan arsip akan lebih rapih dan tertata dengan baik,” pungkasnya.
Sementara itu, sebaimana pernah ditulis dalam duaanak.com, Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) sudah secara tegas mengelompokkan urusan pengendalian penduduk dengan keluarga berencan (KB). Dibanding UU Pemda sebelumnya, jelas ini merupakan lompatan besar. Bila dicermati, UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemda sama sekali tidak memasukkan program KB, apalagi pengendalian penduduk. Program KB baru masuk dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Di sana diatur urusan KB berada satu rumpun dengan keluarga sejahtera (KS).
Urusan KB lebih jauh diatur dalam PP Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Di sini, urusan KB disaturumpunkan dengan urusan pemberdayaan perempuan. PP inilah kemudian menjadi salah satu alasan pemerintah daerah menerbitkan nomenklatur kelembagaan yang menyaturumpunkan KB dengan pemberdayaan perempuan melalui Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB).
Dalam UU Pemda versi terbaru, urusan pengendalian penduduk dan keluarga berencana masuk dalam klasifikasi urusan wajib nonpelayanan dasar. Ini merupakan bagian dari urusan pemerintahan konkuren, yakni adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan ini diatur dalam Pasal 11 dan 12. Pengendalian penduduk dan KB menjadi bagian dari 18 urusan wajib di luar pelayanan dasar.
Lebih spesifik pembagian urusan pengendalian penduduk dan keluarga berencana dijelaskan dalam matriks pada lampiran UU tersebut. Mengacu kepada matriks tersebut, urusan pengendalian penduduk dan KB meliputi empat sub urusan, meliputi: 1) Pengendalian penduduk; 2) Keluarga berencana; 3) Keluarga sejahtera; 4) Standardisasi dan sertifikasi. Dari empat sub urusan tersebut, pemerintah pusat memiliki kewenangan paling besar, terutama dalam KB dan standarisasi dan sertifikasi. Bahkan, poin keempat ini mutlak urusan pemerintah pusat.
Khusus sub urusan KB, pemerintah pusat memiliki kewenangan dan bertangung jawab atas lima aspek, pemerintah provinsi dua aspek, dan pemerintah kabupaten/kota sebanyak empat aspek. Pemerintah provinsi “hanya” berwenang dalam 1) Pengembangan desain program, pengelolaan dan pelaksanaan advokasi, komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pengendalian penduduk dan KB sesuai kearifan budaya lokal; 2) Pemberdayaan dan peningkatan peran serta organisasi kemasyarakatan tingkat daerah provinsi dalam pengelolaan pelayanan dan pembinaan kesertaan ber-KB.
Di sisi lain, pemerintah pusat tetap bertanggung jawab atas pengelolaan dan penyediaan alat dan obat kontrasepsi untuk kebutuhan pasangan usia subur (PUS) nasional. Sementara pemerintah kabupaten dan kota bertanggung jawab dalam pengendalian dan pendistribusian kebutuhan alat dan obat kontrasepsi serta pelaksanaan pelayanan KB di Daerah kabupaten/kota.
Secara umum, UU anyar ini menjadi semacam jalan ke arah pembentukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangunan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (PKPK). Terlebih bila kehadiran Kementerian Kependudukan benar-benar menjadi kecanyataan. Dengan dua instrumen tambahan tersebut, pembangunan yang bertumpu pada kependudukan optimistis bisa segera diwujudkan.(NJP)