Home / Berita Utama / 1 Tahun, Peserta KB Aktif Jabar Cuma Nambah Kurang dari 1 Persen

1 Tahun, Peserta KB Aktif Jabar Cuma Nambah Kurang dari 1 Persen

 

* Peserta KB Aktif Jabar Kini Jadi 7,129 Juta  * Peserta KB Baru 1,304 Juta, Setengahnya Suntik

Peserta KB baru menunjukkan kartu kepesertaan IUD. (DOK. BKKBN JABAR)

Peserta KB baru menunjukkan kartu kepesertaan IUD. (DOK. BKKBN JABAR)

Tahun 2016 terbilang “berat” bagi pengelola program KKBPK. Di Jawa Barat maupun nasional. Alat dan obat kontrasepsi (Alokon) kembali menjadi alasan ketidakberdayaan pengelola dalam menggerakkan program. Meski begitu, Jabar termasuk tangguh. Capaian hingga akhir tahun menunjukkan angka di atas 100 persen, baik peserta baru maupun peserta aktif.

Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Sugilar sumringah ketika ditanya capaian akhir program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) sepanjang 2016. Ditemui di ruang kerjanya belum lama ini, Gilar –sapaan akrab Sugilar– mengaku bersyukur pencapaian program 2016 masuk kategori “rapor biru” alias berkinerja baik karena berhasil membukukan capaian positif.

Kinerja moncer tersebut tercermin dari raihan peserta KB baru maupun KB aktif sepanjang 2016 lalu. Sampai akhir Desember 2016, Jawa Barat sukses menggaet 1.304.809 peserta KB baru. Jumlah ini melampui target atau perkiraan permintaan masyarakat (PPM) sebanyak 1.239.380 peserta. Dibandingkan dengan target tersebut, capaian Jabar menyentuh angka 105,28 persen. Dari jumlah tersebut, 52,75 persen atau lebih dari setengahnya merupakan pengguna KB suntik. Sementara proporsi pengguna pil pada angka 28,14 persen.

Peserta KB aktif malah lebih menggembirakan bila dibandingkan dengan target yang sudha terlebih daulu dipatok pada aal tahun. Dari target 5.820.220 peserta, Jabar berhasil membukukan angka 7.129.900 peserta KB aktif atau 122,5 terhadap target. Dari jumlah tersebut, 21,53 persen di antara merupakan peserta KB untuk metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Capaian MKJP ini sedikit mengalami kenaikkan bila dibandingkan dengan proporsi MKJP pada akhir 2015 lalu sebesar 21,53 persen.

Menarik bila capaian KB aktif 2016 ini bila dibandingkan dengan kondisi existing pada akhir 2015 lalu. Pada Desember 2015 lalu, tercatat peserta KB aktif di Jawa Barat berjumlah 7.114.256 peserta. Adapun jumlah pasangan usia subur (PUS) kala itu berjumlah sebanyak 9.541.148 keluarga. Dengan demikian, angka kesertaan ber-KB atau contraceptive prevalency rate (CPR) Jabar mencapai 74,56 persen. Setahun kemudian, jumlah peserta KB aktif Jabar menjadi 7.129.900 peserta atau sekitar 74,88 persen dibandingkan dengan jumlah PUS sebanyak 9.521.667 pasangan.

Membandingkan dua angka tersebut cukup menarik. Meski mendapat 1,304 juta peserta KB “baru”, rupanya total peserta KB aktif dalam satu tahun terakhir hanya bertambah 15.644 peserta. Berarti kehadiran peserta KB baru hanya mampu menambah 0,19 persen PA. CPR juga terdongkrak bukan semata-mata karena meroketnya capaian PA, melainkan karena adanya penurunan PUS dari 9.541.148 pasangan menjadi 9.521.667 pasangan.

Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Sugilar. (DOK. BKKBN JABAR)

Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Sugilar. (DOK. BKKBN JABAR)

“Kita tetap bersyukur, Alhamdulillah. Meskipun sedikit, PB tetap memiliki kontribusi terhadap PA. Beberapa provinsi lain ada yang capaian akhirnya malah turun bila dibandingkan dengan PA sebelumnya,” kata Gilar tanpa merinci provinsi yang dimaksud.

Alokon Tersendat (Lagi)

Ya, Jabar memang pantas bersyukur mengingat perjalanan 2016 yang mengharu-biru gara-gara tersendatnya pengadaan alokon. Kepala Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) BKKBN Jabar Rahmat Mulkan bercerita, setidaknya ada dua alasan yang berkaitan dengan melempemnya kontribusi PB terhadap PA. Pertama, tersendatnya pengadaan alokon yang kemudian berimbas pada tata kelola distribusi. Kedua, pencatatan dan pelaporan masih menyisakan bolong.

“Analisisnya banyak faktor. Kalau alokon sudah tersendat, otomatis kita kelabakan. Keterlambatan mulai awal tahun 2016, kita sudah kekurangan. (Alokon) Baru masuk lagi Mei, baru bisa pelayanan Mei-Juni. Juni-Juli sudah masuk bulan puasa. Kemudian kegiatan besar seperti Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang cukup menyita waktu. Setelah itu, (alokon) baru masuk lagi Oktober, terutama untuk pil dan suntik,” kata Rahmat saat berbincang bersama Warta Kencana di ruang kerja Kepala Bidang Advokasi, Penggerakkan, dan Informasi (Adpin) BKKBN Jabar baru-baru ini.

Apakah ketika PB tinggi tapi kontribusi rendah berarti angka drop out (DO) tinggi? Rahmat maupun Sekretaris BKKBN Jabar Doddy Hidayat Gandakusumah yang siang itu sama-sama turut berbincang menyebut frasa baru “DO administratif”. Yakni, DO bukan semata-mata berhenti menjadi peserta KB, namun hanya berhenti menggunakan satu alokon untuk kemudian memilih alokon baru. Dengan demikian, baik DO maupun PB sebenarnya lebih didominasi administrasi ketimbang benar-benar DO atau benar-benar PB.

“Banyak yang menjadikan ganti cara (kontrasepsi) sebagai PB. Pengguna suntik yang beralih ke implant dicatat sebagai PB, padahal sebelumnya juga mereka sudah menjadi peserta KB. Akibatnya muncul DO, tapi administratif. Ini yang ingin kami benahi. Ke depan, kalau ganti cara ya ganti cara, PB ya PB,” tandas Doddy diiyakan Rahmat.

Bahkan, Rahmat menyimpulkan bahwa mereka peserta KB tubektomi atau metode operasi wanita (MOW) hampir bisa dipastikan ganti cara. Sementara implant atau IUD masih terdapat peserta KB yang benar-benar baru. Penulisan alih cara sebagai PB rupanya sudah meniadi “tradisi” yang mengakar dalam pencatatan dan pelaporan di kabupaten dan kota. Buktinya, meski PB terus bertambah setiap tahun, PA tak pernah naik signifikan. Sebagai perbandingan, dalam lima tahun terakhir peserta KB aktif hanya bertambah 9.509 orang, dari 7.120.391 peserta pada 2012 menjadi 7.129.900 peserta saja pada 2016.

“Sebenarnya itu ganti cara, bukan PB. Tapi kabupaten dan kota memasukkannya sebagai PB. Sehingga kalau kita hitung, PB itu tidak signifikan terhadap penambahan PA. Dan, itu secara administrastif terjadi DO. Untuk 2017 mendatang, kami BKKBN akan fokus membenahi itu. PB dicatat PB, ganti cara itu ganti cara,” kata Rahmat.

Apalagi, imbuh Rahmat, pada 2017 mendatang penilaian hanya untuk PA. Stagnan atau naik. Inilah yang disebut sebagai additional user KB. Hanya yang benar-benar tambahan PA yang dianggap PB. Walaupun begitu, memang PA tidak bisa tanpa PB. Maklum, selalu ada DO, baik karena berakhirnya usia reproduksi pada perempuan sehingga tidak perlu lagi menggunakan kontrasepsi maupun PUS yang memutuskan berhenti ber-KB untuk kemudian memiliki anak. Pada kasus kedua ini, PUS memilih menjadi peserta KB untuk menjarangkan kelahiran.

Capaian Kinerja Program KKBPK Jawa Barat 2016.

Capaian Kinerja Program KKBPK Jawa Barat 2016.

Ihwal minimnya kontribusi PB terhadap PA, Gilar beralasan karena pada dasarnya peserta KB memang fluktuatif dari tahun ke tahun. Ada kalanya peserta KB naik sigfikan, ada kalanya turun cukup tajam. Gilar mencontohkan, dalam lima tahun terakhir terjadi fluktuasi peserta KB aktif. Pada 2012 lalu, PA Jabar berjumlah 7.120.391 orang. Jumlahnya kemudian 7.071.978 orang pada 2013. Setahun kemudian, 2014, PA kembali turun menjadi 6.998.177 peserta. Tahun berikutnya, 2015, PA naik menjadi 7.114.256 orang dan bertambah lagi menjadi 7.129.900 orang pada 2016.

“Tambahan sekitar 15 ribu PA itu lumayan. Dalam beberapa tahun malah kita pernah minus. Instilahnya rugi bandar. Mendapat PB sekian orang, tapi DO lebih dari PB. Akibatnya, PA jadi turun,” kilah Gilar.

Efisiensi Anggaran

Selain sengkarut alokon, performa kurang prima program KKBPK di Jawa Barat juga turut dipicu adanya kebijakan pemotongan anggaran pada tahun berjalan 2016. Doddy mengungkap, pemotongan anggaran alias efisiensi di Jabar mencapai Rp 48 miliar. Akibatnya, sejumlah kegiatan terpaksa ditiadakan.

“Praktis kita tidak bisa melakukan pembinaan di lapangan. Pembinaan untuk menjaga keberlangsungan pemakaian kontrasepsi terpaksa ditiadakan. Salah satunya berupa mendorong pengalihan metode kontrasepsi dari pil dan suntik menjadi MKJP. Praktis ini menghambat kinerja para pengelola program KKBPK di lapangan,” keluh Rahmat.

“Efisiensi juga berdampak pada pengolahan hasil Pendataan Keluarga (PK) 2015. Mestinya ada dua kegiatan yang dilakukan pada 2016 berkaitan dengan tindak lanjut PK 2015. Pertama, updating data dan pendataan ulang untuk sejumlah KK yang validitasnya tidak teruji. Kedua, mestinya pada 2016 ini hasil PK 2015 sudah dicetak menjadi Kartu Keluarga Indonesia. Ini juga tidak bisa dilakukan akibat pemotongan anggaran tadi,” Doddy menambahkan.

Secara nasional, Doddy menambahkan, pemotongan anggaran atau efisiensi anggaran BKKBN mencapai Rp 305 miliar. Jumlah ini setara dengan 7,9 persen dari total pagu anggaran BKKBN pada tahun anggaran 2016 sebesar Rp 3,8 triliun.

Meski begitu, Jawa Barat terlibang beruntung. Anggaran honorarium dam pembinaan tenaga penggerak desa atau kelurahan (TPD/K) tidak terpengaruh pemotongan anggaran. Nasib TPD selamat karena selama honorarium dan biaya operasional TPD bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBN) Jawa Barat. Keberadaan TPD ini yang kemudian menjadi pendukung utama ketahanan program KKBPK di Jawa Barat.(NJP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top