Home / Artikel / Total Football Program KKBPK (Catatan Akhir Tahun)

Total Football Program KKBPK (Catatan Akhir Tahun)

Najip Hendra SP, Managing Editor Majalah Warta Kencana dan Penanggung Jawab DUAANAK.COM)

Najip Hendra SP, Managing Editor Majalah Warta Kencana dan Penanggung Jawab DUAANAK.COM)

Tak perlu diragukan lagi, tahun 2014 merupakan salah satu periode paling penting bagi program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) di Indonesia, juga Jawa Barat. Secara politik, pada tahun ini terjadi suksesi kepemimpinan nasional. Fase ini sangat menentukan karena arah pembangunan nasional sangat ditentukan oleh orientasi kepemimpinan nasional.

Semula kita semua sempat menaruh asa tinggi untuk terwujudnya penguatan kelembagaan program KKBPK dengan hadirnya kembali Kementerian Kependudukan sebagai prasyarat utama pengarusutamaan program KKBPK. Ada kekecewaan mendalam ketika asa itu kemudian pudar seiring komitmen kepemimpinan nasional untuk menyederhanakan kementerian maupun lembaga negara nonkementerian. Program KKBPK bukan pilihan utama, kurang seksi, tidak menarik. Bukan tidak mungkin, dalam sanubari terdalamnya para pengelola program KKBPK berguman, “Yah, da aku mah apa atuh?”

Sejalan dengan itu, pergantian rezim juga berarti bergantinya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Tahun ini merupakan akhir dari RPJMN 2010-2014 serta menjelang berakhirnya MDGs 2015. Dengan demikian, apapun yang dicapai pada 2014 merupakan potret pencapaian RPJMN selama lima tahun. Hasil ini yang kemudian menjadi baseline untuk RPJMN 2014-2019.

Yang juga sangat penting adalah momentum pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui asuransi sosial Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mulai berlaku pada 1 Januari 2014. Sebagai bagian dari sistem anyar itu, pelayanan keluarga berencana (KB) turut merasakan karut-marut nasional itu. Gara-gara aturan baru ini, pelayanan KB terpusat yang biasanya running awal tahun baru bisa dilaksanakan pada bulan ke empat. Kondisi ini diperburuk dengan lambannya pengadaan alat dan obat kontrasepsi (Alokon). Wajar bila kemudian penyelenggara program KB kedodoran. Rapor merah pun tak terhindarkan.

Deretan rapor merah ini cukup menarik. Dibanding tahun-tahun sebelumnya, tahun 2014 ini boleh dibilang paling buruk. Hal ini setidaknya terlihat dari pencapaian indikator pada kontrak kinerja provinsi (KKP) dalam tiga tahun terakhir. Pada 2012 lalu misalnya, dari 14 indikator terdapat tiga angka merah. Setahun kemudian, 2013, dari 15 indikator terdapat tiga angka merah. Bandingkan dengan 2014 yang membukukan sembilan angka merah dari 17 indikator KKP. Dari deretan angka merah, pencapaian metode operasi pria (MOP) atau vasektomi mencatat rapor merah dua tahun berturut.

Terlepas dari angka-angka itu, pengalaman otentik para pelaku program di lapangan sesungguhnya lebih penting. Angka merah yang bersumber dari data valid tentu lebih baik daripada angka biru yang angkanya ditulis dari balik meja. Tentu, angka biru yang otentik jauh lebih baik. Di antara yang otentik itu terselip sebuah pengalaman “pahit”. Ternyata program KKBPK yang menghabiskan dana triliunan rupiah itu tidak lagi akrab di telinga masyarakat kebanyakan.

Di antara kegetiran itu, para petugas merasa semakin dianaktirikan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Tengoklah forum-forum percakapan di media sosial, nyaris semua isinya berupa keluh kesah. Sebagian besar dari keluhan itu menyangkut tunjangan, gaji, biaya operasional, dan tetek-bengek fulus lainnya. Pada saat yang sama, masyarakat di desa mengaku sangat jarang mendapat kunjungan para petugas lapangan KB. Pengakuan sejumlah bidan pun tak jauh beda. Biasanya para petugas hanya datang untuk meminta laporan.

Pada saat yang sama, kelembagaan yang membidangi KKBPK makin terpinggirkan. Setelah era sentralistik berakhir, pada umumnya BKKBN kabupaten atau kota bermetamorfosis menjadi beragam bentuk. Yang paling lazim adalah bersatunya kelembagaan KB dengan pemberdayaan perempuan (PP). Ini bisa dilihat dari mayoritas nomenklatur Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga (KPPKB) atau BKBPP. Belakangan turut bergabung program perlindungan anak (PA) atau pemberdayaan masyarakat (PM). Di beberapa kabupaten malah KB, PP, PA, dan PM bernaung dalam satu rumah. Bahkan, ada juga di dalamnya menggabungkan dengan pemerintahan desa (PD). KB pun dianggap cukup hanya menjadi bidang atau sub bidang.

Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa program KB yang sempat menjadi primadona pembangunan ini kini semakin terpinggirkan? Untuk menjawabnya, alangkah baiknya pula para pengelola program untuk menjawab sebuah pertanyaan, “Apa manfaat program KB atau KKBPK bagi pembangunan daerah?” Pertanyaan ini menjadi penting di tengah politik otonomi daerah. Ketika politik dan ekonomi menjadi “panglima” pembangunan, maka para pengelola program KB sudah sejatinya mampu memberikan nilai tambah program bagi nilai ekonomi dan politik itu. Tanpa itu, rasa-rasanya sulit menjadikan program KB atau KKBPK atau kependudukan sebagai sentral pembangunan (people-centered development).

Di usia senjanya, maestro program KB Haryono Suyono masih getol mencermati dinamika program itu di desa. Hasil blusukan itu pernah disampaikan di tengah temu ilmiah kependudukan beberapa waktu lalu, “Saya masih sering terjun ke desa dan melihat teman-teman di desa. Di desa tidak acuh lagi terhadap program KB.” Menyedihkan, bukan?

Dinamika program KB atau KKBPK itu pula yang mendapat sorotan maestro lainnya, Emil Salim. Di forum yang sama dengan Haryono, Emil Salim berpesan, “BKKBN kalau berbicara, juga harus pandai berbicara dalam bahasa politik. Dia tidak berdiri sendiri. Dia tidak hanya pembanguan demografi, it’s total football. Ada dimensi ekonomi, politik, sosial, lingkungan, dan lain-lain. Berarti, BKKBN dari sekarang harus melakukan reorientasi berpikir.”

So, sudahkah kita berpikir total football untuk program KB? Wallahualam. (Najip Hendra SP/Managing Editor Warta Kencana)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top