Home / Artikel / Reedukasi Program KB Bagi Milenial dan Zilenial

Reedukasi Program KB Bagi Milenial dan Zilenial

Ghea Indrawari alias Ghea Idol tampil memukau pada malam soft launching rebranding BKKBN di Jakarta, akhir 2019 lalu. Rebranding merupakan cara baru agar BKKBN terus terhubung dengan generasi muda. (IRFAN HQ/BKKBN JABAR)

Oleh:
Wiwin Winarni Pamungkas

Orang tua kita dulu pasti mengenal program keluarga berencana dengan motto yang sangat tenar ‘dua anak cukup’. Sejak reformasi tahun 1998, karena dianggap terlalu dekat dengan rezim orde baru, program KB ditinggalkan bersama-sama. Menurut kelompok pendukung, banyak aspek kehidupan bermasyarakat yang kental dengan nuansa gotong royong, ikut raib bagai ditelan bumi. Apalagi kalau kita mengamati jumlah penduduk yang terus bertambah. Berdasarkan proyeksi penduduk 2015-2045 hasil Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2015, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 269,6 juta jiwa pada 2020. Angka tersebut terdiri atas 135,34 juta jiwa laki-laki dan 134,27 jiwa perempuan. Wahh…tentu amat pusing kepala para pengelola negeri ini. Tentang pertambahan jumlah penduduk, sebetulnya program KB tidak bisa serta-merta mengurangi apalagi menyetop jumlah anak lahir. Betul tidak? Karena pada dasarnya, kita, orang Indonesia sangat mencintai anak dan suka memiliki anak lebih dari dua. Lalu apa ya dampaknya buat kita? Belum lagi dihubungkan dengan prinsip agama membuat ribet meyakinkan bahwa jumlah anggota keluarga di Indonesia harus kecil, agar sejahtera harmonis katanya.  Lalu, apakah kita tidak perlu ikut program KB? Apalagi itu seolah-olah peninggalan zaman kolonial.  Lalu bagaimana milenial dan zilenial Indonesia terdampak oleh program KB?

Zaman now ini, program KB berubah bentuk loh, istilah kerennya bertransformasi!.  Diawali dengan perubahan logo yang lebih kekinian sampai mengganti istilah KB menjadi Banggakencana. Tak sampai disitu, mottonya pun berganti menjadi “berencana itu keren” dengan simbol jari bermakna cinta atau sarange gaya oppa-oppa Korea itu.  Banggakencana berarti pembangunan keluarga, kependudukan, dan keluarga berencana. Sama saja, bahkan lebih panjang ya… Namun lebih mudah diucapkan dan mengandung makna baru.  Saya juga yakin bahwa perubahan ini didasari juga oleh refleksi 50 tahun Banggakencana yang seolah-olah jalan ditempat karena aspek yang saya sebutkan diatas tadi.

Lalu, seperti apa ya Banggakencana itu bagi kita milenial dan zilenial Indonesia? Sebagai orang yang lahir pada era tahun 80-an, milenial berusia berusia 30-40 tahun. Kita sudah memiliki keluarga dan anak. Nah, Banggakencana bagi kelompok ini adalah memastikan fondasi dan sendi keluarga kita kuat dan mantap. Ilmu, seni dan keterampilan menjadi orang tua harus dipelajari pake niat. Komunikasi dengan pasangan harus lancar jaya yang dilandasi oleh sikap saling menghargai. Dan jangan lupa, kita harus memiliki hubungan seksual yang sehat dan menyenangkan. Ini adalah fondasi dasar Delapan Fungsi Keluarga bisa kita penuhi. Kedelapan fungsi itu mencakup agama, cinta kasih, perlindungan, ekonomi, pendidikan, reproduksi, pelestarian lingkungan dan sosial budaya. Fokus aktivitas keluarga adalah membimbing anak-anak yang memasuki usia remaja agar mereka memiki cita-cita dan gambaran hidup yang lebih baik.  Orang tua harus memiliki visi dan cara bagaimana mempersiapkan remaja tangguh yang siap berkompetisi menghadapi kehidupan yang semakin dinamis tanpa meninggalkan prinsip agama dan budaya lokal.

Untuk zillenial dewasa ini berusia minimal 25 tahun. Kalian yang tinggal di kota banyak yang belum menikah. Nah Banggakencana artinya, bagaimana kamu merencanakan kehidupan berkeluargamu nanti. Dengan kemudahan akses informasi dewasa ini, kamu mengetahui bermacam-macam nilai, sendi dan fondasi keluarga yang berbeda dengan orang tua kita. Sejumlah kecil zilenial di perkotaan bahkan tidak mau menikah dan berkeluarga karena pengaruh pandangan tersebut. Akan tetapi, mereka memiliki pasangan seksual. Nah..hal inilah yang sering kali memperuncing perbedaan nilai keluarga dan budaya yang tak jarang memercikan konflik sosial. Media sosial memperkeruh situasi ini. Pada Maret 2019, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,382. Hal ini menandakan bahwa ketimpangan antara si kaya dan miskin khususnya di perkotaan semakin tajam. Bagi sebagian zilenial, dia bisa membeli kopi di toko waralaba internasional ternama setiap hari.  Bagi sebagian besar lainnya, untuk bertahan hidup di kota mereka harus bekerja keras bagai kuda!.  Kita bisa bayangkan, bagaimana konsep perencanaan hidup berkeluarga bagi dua kelompok zilenial ini?

Kelompok zilenial yang tinggal di daerah perdesaan, juga menghadapi tantangan. Tingkat pendidikan orang tua yang rendah di perdesaan mengakibatkan situasi rumit seumpana lingkaran setan. Keluarga miskin jiwa dan harta lazim ditemui di perdesaan. Hal ini ujung-ujung mengancam ketahanan keluarga. Longgarnya sendi, fondasi dan keterampilan parenting orang tua membuat zilenial memiliki ikatan yang renggang dengan orang tua. Ketergantungan justru erat pada rekan sebaya atau singkatnya pacar. Beberapa terpaksa menikah lho..karena keduluan hamil. Nah…rumit kan situasinya? Ada keluarga rapuh sendi dan fondasi yang terpaksa terbentuk.  Ada kehamilan tidak diinginkan terjadi. Adik bayi rentan dihabisi kehidupannya sebelum dia lahir ke dunia, atau dia lahir kedunia dengan badan yang cebol atau stunting. Bayi stunting terancam tidak bisa berulang tahun untuk yang pertama kalinya. Lebih jauh lagi, zilenial yang terpaksa jadi ibu pun bisa game over. Mati bunuh diri karena malu atau mati karena perdarahan pada saat megugurkan kehamilannya di dukun beranak. Kemiskinan juga membuat para ibu nekat menjadi buruh migran. Suami merana. Anak dititipkan pada nenek atau kakek yang tidak lebih miskin dan bodoh dari orang tuanya.  Kasus kekerasan pada anak, kekurangan gizi, zinah dan perselingkuhan yang berujung perceraian mengintai zilenial di perdesaan.

Sekarang ini, petugas keluarga berencana atau PKB, yang pada saat kaum milenial masih main layangan, dapat dengan mudah ditemui di desa melakukan tugasnya. Bersama kader masyarakat mereka mendata, mengedukasi dan menggerak masyarakat dalam program KB zaman kuda gigit batu. Dewasa ini, PKB banyak berkurang karena pensiun, tidak diminati dan tidak ada rekrutmen yang dilakukan pemrintah dalam 10 tahun terakhir pasca reformasi tahun 1989 lalu. Kader masyarakat keder. Tidak ada play maker di lapangan! Program KB mati suri.  Keluarga Indonesia siaga merah karena rapuh sendi dan fondasinya.

Banggakencana harus kita hidupkan lagi, dengan memastikan bahwa keluarga kita kuat. Keluarga kita resilience.  Bermula dari keluarga, kita menularkan semangat merencanakan dan menata keluarga pada keluarga yang lain, pada anak kita, pada teman dari keluarga kita, pada teman dari anak kita. Sudah tidak zaman lagi, kita bahagia dan selamat sendiri-sendiri. Kita harus bahagia bersama, maju bersama dan masuk surga bersama-sama!

Wiwin Winarni, Petugas KB Internasional. Ibu satu anak. Penggiat dan peneliti program Banggakencana, CSR, dan Pembangunan Berkelanjutan. Hobi makan dan masak. Manusia kertas yang menjadikan membaca aktivitas harian layaknya makan. Penikmat kopi kelas berat dan sedang belajar untuk bisa lebih banyak tersenyum dan ngabodor! :-)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top