Home / Berita Utama / Tolak Kekerasan, BKKBN Jabar Roadshow ke 10 Sekolah

Tolak Kekerasan, BKKBN Jabar Roadshow ke 10 Sekolah

Sejumlah siswa SMAN 11 Bandung menunjukkan pesan penolakan terhadap tindak kekerasan di sekolahnya. (NAJIP HENDRA SP/DUAANAK.COM)

Sejumlah siswa SMAN 11 Bandung menunjukkan pesan penolakan terhadap tindak kekerasan di sekolahnya. (NAJIP HENDRA SP/DUAANAK.COM)

BANDUNG – DUAANAK.COM

Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat memastikan diri turut ambil bagian dalam hajat besar Gerakan Jabar Tolak Kekerasan yang dicanangkan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di halaman Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Senin 18 Juli 2016. Salah satunya dengan menggelar kampanye tolak kekerasan melalui roadshow mobil unit penerangan (Mupen) ke 10 sekolah di Kota Bandung dan sekitarnya bertepatan dengan hari pertama masuk sekolah.

Mupen dilepas Gubernur Heryawan usai Apel Besar Jabar Tolak Kekerasan di halaman Gedung Sate. Selanjutnya, kendaraan khas program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) ini langsung menuju 10 sekolah sasaran. Ke-10 sekolah tersebut terdiri atas SMA Negeri 14 Bandung, SMA Negeri 20 Bandung, SMA Negeri 3 Bandung, SMK PU Bandung, SMA Negeri 15 Bandung, SMA Negeri 11 Bandung, SMK Negeri 3 Bandung, SMK Negeri 4 Padalarang, dan SMA Negeri 1 Padalarang.

Di sekolah, tim roadshow menyajikan topik khusus tentang program Generasi Berencana (Genre) yang di dalamnya turut mengampanyekan penolakan terhadap kekerasan. Tim roadshow juga aktif memantau jalannya kegiatan pengenalan lingkungan sekolah (PLS) atau sebelumnya dikenal dengan masa orientasi sekolah (MOS) maupun jalannya telekonferensi antara Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jabar Netty Prasetiyani Heryawan dengan para siswa di sekolah yang bersangkutan.

“Sejak awal BKKBN sangat concern pada upaya-upaya pemberantasan kekerasan di kalangan remaja maupun keluarga. Untuk remaja misalnya, kampanye penolakan kekerasan terhadap kekerasan dikemas melalui program Genre yang fokus pada pencegahan narkoba, seks bebas, dan pernikahan dini. Fokus kami pada bagaimana mengatakan ‘tidak’ pada tiga hal tadi. Dalam pandangan BKKBN, seks bebas berkaitan erat dengan kekerasan seksual,” terang Kepala Sub Bidang Advokasi dan KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) BKKBN Jabar Elma Triyulianti saat ditemui sebelum roadshow mupen.

Lebih jauh Elma menjelaskan, dukungan terhadap gerakan Jabar Tolak Kekerasan merupakan sinergi berkelanjutan antara BKKBN dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan P2TP2A Jabar. Sebelumnya, BKKBN juga memberikan dukungan aktif dalam program-program yang dihelat Gedung Sate dan P2TP2A maupun pemangku kepentingan lain yang berhubungan dengan program KKBPK. Sebut saja misalnya “Gerakan 20 Menit Mendampingi Anak” yang sudah diluncurkan beberapa waktu lalu.

Domain BKKBN tidak semata-mata program KB, melainkan sangat luas menyangkut kependudukan dan pembangunan keluarga. Dalam kerangka pembangunan keluarga tersebut, BKKBN konsisten dalam mendukung dan mengampanyekan delapan fungsi keluarga. Selain fungsi reproduksi yang identik dengan KB tadi, ada tujuh fungsi lain yang harus menjadi perhatian keluarga: agama, pendidikan, cinta kasih, perlindungan, sosial dan budaya, ekonomi, dan lingkungan. Dengan demikian, gerakan Jabar Tolak Kekerasan sangat relevan dengan program BKKBN,” jelas Elma.

Sekolah Bebas Kekerasan

Ditemui terpisah di sela roadshow, Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMA Negeri 11 Bandung Dhiah Kuswarini menjamin masa pengenalan sekolah melalui kegiatan PLS terbebas dari praktik kekerasan. Bahkan, sambung Dhiah, aksi perpeloncoan sudah lama hilang dalam kegiatan-kegiatan sekolah.

Wakil Kepala SMAN 11 Bandung Dhiah Kuswarini. (DUAANAK.COM)

Wakil Kepala SMAN 11 Bandung Dhiah Kuswarini. (DUAANAK.COM)

“Saya berani pastikan dan saya jamin tidak akan ada tindakan kekerasan atau perpeloncoan apapun di SMA 11 (Bandung). Semua program PLS diawasai ketat oleh para guru. Kami tidak menyerahkan sepenuhnya ke siswa senior, tetapi diawasi guru secara ketat. Kalaupun ada keterlibatan siswa dalam hal ini pengurus OSIS, itu sifatnya hanya membantu,” tegas Dhiah.

Dhiah yang memiliki portofolio tujuh tahun menjadi pembina organisasi siswa intra sekolah (OSIS) mengaku sangat menghargai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru. Namun demikian, tanpa mengurasi rasa hormat terhadap pemerintah, Dhiah menilai keluarnya Permendikbud memunculkan kesan adanya ketidakpercayaan terhadap pihak sekolah dan organisasi siswa. Tanpa Permendikbud tersebut, sambung Dhiah, praktik-praktik perpeloncoan sudah lama hilang di sekolah. Adapun penugasan yang diberikan kepada siswa baru senantiasa didiskusikan antara OSIS dengan sekolah. Hanya tugas-tugas yang dianggap relevanlah yang boleh diberikan kepada siswa baru.

“Sebelum memberikan tugas kepada siswa baru, kami pihak sekolah duduk bareng dengan pengurus OSIS. Mana tugas yang relevan dan mana yang tidak relevan. Setelah disepakati, barulah diberikan kepada siswa baru. Misalnya ada nama makanan yang dianggap teka-tekinya terlalu menyulitkan, langsung kami coret. Jadi, sebetulnya tidak mengada-ada. Selama ini sekolah tidak lepas tangan,” jelas Dhiah.

Namun demikian, Dhiah memahami kehawatiran masyarakat terhadap kemungkinan adanya praktik perpeloncoan di sekolah. Keluarnya Permendikbud 18/2016 merupakan respons pemerintah atas kekhawatiran masyarakat tersebut. Menjawab kekhawatiran tersebut, sambung Dhiah, pihak sekolah mempersilakan para orang tua untuk turut memberikan pengawasan jalannya kegiatan PLS. Apalagi, tahun ini orang tua disarankan untuk mengantar anak pada hari pertama sekolah.

Pengakuan serupa diungkapkan dua siswa SMA Negeri 11 Bandung yang ditemui di sela kegiatan PLS, Mustika Nur dan Naufal Arya. Siswa kelas XI ini mengaku tidak pernah mendapatkan perlakuan kasar atau penugasan aneh selama pengenalan sekolah. Beberapa tugas yang diterima dapat dikategorikan wajar dan tidak sampai menimbulkan cedera fisik maupun nonfisik.

Mengutip Permendikbud 18/2016, pemerintah melarang sejumlah contoh penggunaan atribut dalam pelaksanaan PLS. Beberapa di antaranya sebagai berikut: 1) Tas karung, tas belanja plastik, dan sejenisnya; 2) Kaos kaki berwarna-warni tidak simetris dan sejenisnya; 3) Aksesoris di kepala yang tidak wajar; 4) Alas kaki yang tidak wajar; 5) Papan nama yang berbentuk rumit dan menyulitkan dalam pembuatannya dan/atau berisi konten yang tidak bermanfaat; 6) Atribut lainnya yang tidak relevan dengan aktivitas pembelajaran.

Sejumlah siswa SMAN 11 Bandung menjulurkan telapak tangan sebagai simbol penolakan terhadap kekerasan di sekolah. (NAJIP HENDRA SP/DUAANAK.COM)

Sejumlah siswa SMAN 11 Bandung menjulurkan telapak tangan sebagai simbol penolakan terhadap kekerasan di sekolah. (NAJIP HENDRA SP/DUAANAK.COM)

Selain itu, Permendikbud juga melarang sejumlah aktivitas sebagai berikut: 1) Memberikan tugas kepada siswa baru yang wajib membawa suatu produk dengan merk tertentu; 2) Menghitung sesuatu yang tidak bermanfaat (menghitung nasi, gula, semut, dsb); 3) Memakan dan meminum makanan dan minuman sisa yang bukan milik masing-masing siswa baru; 4) Memberikan hukuman kepada siswa baru yang tidak mendidik seperti menyiramkan air serta hukuman yang bersifat fisik dan/atau mengarah pada tindak kekerasan; 5) Memberikan tugas yang tidak masuk akal seperti berbicara dengan hewan atau tumbuhan serta membawa barang yang sudah tidak diproduksi kembali; 6) Aktivitas lainnya yang tidak relevan dengan aktivitas pembelajaran.

Mengacu kepada Permendikbud 18/2016, PLS bertujuan mengenali potensi diri siswa baru dan membantu siswa baru beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya, antara lain terhadap aspek keamanan, fasilitas umum, dan sarana prasarana sekolah. Di samping itu, PLS juga bertujuan menumbuhkan motivasi, semangat, dan cara belajar efektif sebagai siswa baru. Kemudian, mengembangkan interaksi positif antarsiswa dan warga sekolah lainnya serta menumbuhkan perilaku positif antara lain kejujuran, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati keanekaragaman dan persatuan, kedisplinan, hidup bersih dan sehat untuk mewujudkan siswa yang memiliki nilai integritas, etos kerja, dan semangat gotong royong.(NJP)

2 comments

  1. seharusnya dilakukan dulu dulu…

  2. seharusnya dilakukan dari dulu-dulu…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top