SUMBER – DUAANAK.COM
Munculnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang intinya antara lain melegalkan aborsi bagi korban perkosaan, hingga kini masih menuai reaksi dan menjadi bahan perdebatan dari berbagai pihak, termasuk Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kabupaten Cirebon yang masih menunggu tuntasnya pro dan kontra di pusat.
“Meskipun menyangkut kesehatan reproduksi, tidak bisa diselesaikaan oleh salah satu pihak, tetapi harus diselesaikan oleh kita semua. Aborsi bisa diperbolehkan ketika ada pengecualian. Dari dahulu kalau aborsi karena alasan medis memang diperbolehkan,” kata Kepala BPPKB Kabupaten Cirebon HM Sofyan di Sumber, Kamis 4 September 2014.
Menurut pria yang biasa disapa Opang tersebut, alasan medis itu misalnya, jika janin yang dikandungnya itu akan mengancam kesehatan atau jiwa ibu yang mengandungnya, anak yang dikandungnya cacat, atau karena alasan kegagalan KB yang menyangkut alat kontrasepsi.
Opang berpendapat, karena saat ini PP Nomor 61 tersebut di tingkat nasional masih menjadi bahan perdebatan berbagai pihak, semestinya dikaji kembali. Kecuali ada pasal-pasal KUHP yang memperbolehkan aborsi akibat perkosaan. Sepanjang masih ada pasal-pasal KUHP yang bisa menjerat pelaku aborsi, tentunya dokter tidak akan mau melakukannya.
Ditanya sikap BPPKB terkait PP 61 tahun 2014 tersebut, Opang menegaskan, pertama, meskipun PP sudah diterbitkan, pihaknya masih menunggu pro dan kontra di tingkat pusat. Alasannya, sulit membuktikan aborsi itu merupakan hasil perkosaan atau tidak.
“Kedua, aborsi harus dilakukan oleh tenaga medis atau dokter. Namun, persoalannya, apakah dokter juga mau, karena dalam KUHP masih melarang aborsi,” kata Opang.
Di tempat terpisah, Wakil Ketua IPKB Kabupaten Cirebon Ibnu Saechu mengungkapkan, PP tentang Kesehatan Reproduksi yang memuat pasal mengenai praktik aborsi legal, dalam peraturan itu di antaranya telah mencantumkan syarat-syarat praktik aborsi legal. Salah satunya akibat pemerkosaan dan kedaruratan medis. Pro dan kontra pun bergulir yang sebetulnya kembali membuka pro dan kontra pada masa silam praktik aborsi.
Ibnu menerangkan, sejumlah ahli medis dan filsuf Yunani pada masa lalu tidak mendukung praktik aborsi. Namun, ada di antaranya yang memperbolehkannya, dengan catatat sebelum janin tersebut bernyawa. Aristoteles berpendapat, aborsi harus dilakukan sebelum janin bernyawa dan mampu menendang. Aristoteles mengelompokkan jika aborsi semacam itu sebagai pengendalian kelahiran. Hal itu, sesuai konsep filsuf tersebut yakni mengenai kota ideal yang pernaha ditulisnya.
“Kalau bicara mengenai ilegal dan legalnya aborsi, tentu sangat panjang jika diceritakan, baik di Indonesia sendiri yang mengalami timbul tenggelam terkait aturan tersebut, maupun yang berkembang di dunia,” kata Ibnu.
Selanjutnya, kata dia, memasuki abad ke-20, gerakan pro-aborsi kembali menguat. Ini terkait dengan kemunculan gerakan dan gagasan feminisme di sejumlah negara Barat. Menurut mereka, aborsi bukan soal kapan kehidupan dimulai, melainkan soal hak kaum wanita untuk menentukan pilihan mereka sendiri.
Dijelaskan, sampai saat ini praktik aborsi masih menjadi perdebatan di berbagai negara di dunia. Di sisi lain, perkembangan teknologi aborsi sangat pesat dan canggih. Sementara itu, pandangan kaum wanita terhadap kehamilan pun hingga sekarang tetap beragam, banyak yang mengharapkannya sehingga menikmatinya. Namun, banyak pula yang sama sekali tidak menginginkan kehamilan tersebut, wajar saja jika kelompok yang terakhir ini memilih praktik aborsi.(AKIM GARIS/IPKB KAB. CIREBON)