Home / Berita Daerah / Mengenal Lebih Dekat Sekolah Siaga Kependudukan

Mengenal Lebih Dekat Sekolah Siaga Kependudukan

Kegiatan SSK berlangsung di Pojok Kependudukan (Population Corner) di Kabupaten Sukabumi. (DOK. BKKBD KAB. SUKABUMI)

Kegiatan SSK berlangsung di Pojok Kependudukan (Population Corner) di Kabupaten Sukabumi. (DOK. BKKBD KAB. SUKABUMI)

BANDUNG – DUAANAK.COM

Sesungguhnya masa depan program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) ada pada generasi muda. Pemahaman yang baik terhadap masalah-masalah kependudukan berpengaruh langsung terhadap laju pertumbuhan penduduk maupun angka fertilitas di kemudian hari. Sekolah Siaga Kependudukan (SSK) hadir membawa misi itu, misi pembangunan kependudukan masa depan.

Jeroan SSK ini yang pada Rabu, 9 September 2015, kemarin dikupas dalam media gathering yang digagas Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat. Hadir menjadi narasumber Kepala Perwakilan BKKBN Jabar Sugilar, Kepala SMA Negeri 1 Cisolok Sukabumi Yayan Mochamad Ramdhan, dan Ketua Koalisi Kependudukan Jawa Barat Ferry Hadiyanto. Tulisan ini merupakan resume diskusi yang dipadukan dengan hasil wawancara duaanak.com dengan Kepala BKKBD Kabupaten Sukabumi Ade Mulyadi beberapa waktu sebelumnya.

Menebar Benih Kependudukan

Ada ilustrasi sederhana yang diungkapkan Kepala BKKBD Kabupaten Sukabumi Ade Mulyadi untuk menggambarkan dampak kependudukan bagi kehidupan masyarakat. Ade mengibaratkan masalah tersebut sebagai hama atau predator yang merusak tanaman di sebidang tanah. Dia mencontohkannya berupa ular. Ular terus datang mengacak-acak tanaman petani. Petani pun dengan sigap menangkap sekaligus membinasakan ular-ular perusak. Begitu seterusnya.

Nah, tindakan petani memberantas ular merupakan sebuah cara untuk menghindari dampak atau masalah hama tanaman berupa serangan ular. Ketika satu ular diberantas, tak ada jaminan bakal menghentika serangan ular berikutnya dan berikutnya lagi. Membunuh ular merupakan solusi praktis jangka pendek, sebelum kedatangan ular-ular lain.

Lalu, bagaimana cara menghentikan gelombang serangan ular berikutnya? Ade Mulyadi punya ide untuk membinasakan telur-telur ular di sarang sang predator. Bila seekor ular piton misalnya bertelur rata-rata 10-100 butir setiap kali bertelur, maka jumlah potensi ancaman itu pula yang bisa dihindari sang petani. Langkah ini dianggap lebih efektif untuk menekan serangan ular di kemudian hari. Yakni, menyelesaikan masalah dari hulu, dari sarangnya.

Dengan logika yang sama, upaya-upaya mengatasi masalah kependudukan sesungguhnya bisa dimulai dengan menyemai benih-benih kependudukan kepada generasi muda. Ketika seorang remaja sudah memahami dengan baik bahaya perkawinan usia muda, ancaman ledakan penduduk akibat kelahiran yang tak terkendali, maupun dampak lain seperti kekurangan pangan, lahan produktif, dan lain-lain, maka diharapkan bisa berperan aktif. Caranya tentu saja dengan menunda menikah pada usia muda, mengendalikan kelahiran melalui program keluarga berencana, dan lain-lain.

“Ketika anak-anak kita sudah paham kependudukan, nanti pemerintah gak usah capek-capek lagi. Makanya digulirkanlah Sekolah Siaga Kependudukan (SSK). Itu upaya preventif untuk mencegah timbulnya masalah yang diakibatkan dari tidak terkendalinya penduduk. Output-nya nanti terwujudnya sebuah keluarga sejahtera,” papar Ade saat ditemui di kantornya beberapa waktu lalu.

SSK didefinisikan sebagai implementasi operasional pengendalian kependudukan dan keluarga berencana dengan program-program pendidikan, terintegrasi dikelola dari, oleh penyelenggara pendidikan melaui memberdayakan sekola serta memberikan kemudahan atau akses terhadap anak didik untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan khusus bidang kependudukan dan keluarga berencana, pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi kreatif serta program sektor lainya.

Karena Sekolah Itu Istimewa

Latar belakang kelahiran SSK juga sejatinya tidak bisa dilepaskan dari program generasi berencana (Genre) yang sudah terlebih dahulu digulirkan. Terlebih selama ini sekolah dianggap satu-satunya agen perubahan (agent of change) secara formal di Indonesia. Sayangnya, kurikulum pendidikan kependudukan kurang kontekstual. Banyak contoh-contoh kependudukan yang terdapat pada buku pelajaran masih menggunakan fakta atau ilustrasi di luar negeri. Padahal, masalah kependudukan melekat pada kehidupan siswa di masyarakat.

Alasan SSK makin kuat mengingat selama ini materi kependudukan tidak terintegrasi ke semua mata pelajaran. Pembelajaran kependudukan juga masih berbasis tekstual. Seharusnya pendidikan kependudukan aplikatif dan bisa dilakukan langsung oleh peserta. Juga tak ada kearifan lokal dalam kurikulum kependudukan. Kondisi ini terjadi karena guru kurang memiliki pengetahuan kependudukan itu sendiri. Padahal semua masalah sosial akibat dari masalah kependudukan.

Pada saat yang sama, semua kebijakan pembangunan berbasis data kependudukan. Di samping itu, ada korelasi signifikan antara bencana alam dengan masalah kependudukan. Sebaliknya, sejauh ini tidak ada sosialisasi masalah kependudukan ke sekolah. Kondisi ini diperburuk dengan minimnya informasi kependudukan di sekolah.

Cikal bakal SSK bergulir ketika pada 2011 lalu BKKBD mengundang guru-guru di Kabupaten Sukabumi untuk mengikuti orientasi kependudukan. Sambutannya luar biasa. Peserta orientasi tampak antuasias ketika diajak merumuskan bahan ajar kependudukan untuk dijadikan suplemen bagi anak didik di sekolah masing-masing. Para guru pun semakin aktif berdiskusi mengenai masalah-masalah kependudukan.

Dari diskusi itu, muncullah ide untuk memperkuat implementasi pendidikan kependudukan di sekolah. Tujuan kala itu sederhana saja. Agar modul bisa diimpelentasikan, harus ada wadah untuk pengelolaan. Sejumlah nama dilemparkan para guru, sampai akhirnya terpilih disepakati SSK, Sekolah Siaga Kependudukan. SSK ini menjadi semacam jaminan bahwa modul bisa diimplementasikan di sekolah.

Mengapa sekolah penjadi strategis bagi pendidikan kependudukan? Setidaknya ada lima alasan mengapa harus di sekolah. Pertama, sekolah memiliki kemampuan dan kemandirian. Ketua, dapat mendayagunakan potensi/sumber daya. Ketiga, dapat mengatasi masalah/memenuhi kebutuhan. Keempat, dapat meningkatkan keterampilanan/meningkatkan pengetahuan. Kelima, dapat menerapkan dan mengimplementasikan. Gong SSK ditandai dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara BKKBD dengan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi yang turut disaksikan bupati.

Secara umum, SSK bertujuan memberikan arah dan pedoman bagi penanggung jawab dan pengelola pendidikan, guru pembina, dalam melakukan pengarapan program kependudukan, KB, dan pemberdayaan keluarga. Secara khusus, SSK bertujuan memberikan wawasan, sikap pengetahuan, dan keterampilan tentang program KKBPK kepada peserta didik.

Selain itu, bertujuan memberikan arah dan bimbingan kepada peserta didik untuk berprilaku keluarga berkualitas. Kemudian, memberikan pengetahuan kepada peserta didik tentang masalah-masalah kependudukan setempat. Juga, meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menyajikan data mikro kependudukan berupa peta atau grafik untuk dianalisis secara sederhana. SSK juga mengemban misi mengurangi angka drop out (DO) dan kasus-kasus lainnya yang banyak terjadi di sekolah.

Ketika kali pertama digulirkan pada 2014, SSK diimplementasikan di dua sekolah: SMAN 1 Cisolok dan SMAN 1 Cisolok. Meski masih berupa percontohan (pilot project), virus SSK ini sudah terlebih dahulu menyebar ke sejumlah sekolah. Modul sudah beredar di sekolah-sekolah lain di luar sekolah piloting. Pada 2015, SSK digulirkan 16 sekolah. Yakni, delapan SMP dan delapan SMA. Pembatasan jumlah sekolah dilakukan untuk keperluan pemantauan, pengendalian, dan supervisi. Tentu, ada beberapa skeolah yang juga mengimplementasikan secara terbatas dengan cara menjadikan modul bahan ajar sebagai suplemen pembelajaran.

“Ada beberapa sekolah swasta yang protes mengapa tidak menjadi kelompok sasaran. Padahal, dalam pelaksanaannya kami tidak melihat sekolah negeri dan swasta karena sasaran kami itu siswa. Mau swasta, mau negeri, sama saja. Sekarang tinggal komitmennya pusat, provinsi, mau seperti apa. Hanya tentu kita juga ada keterbatasan. Jangan sampai semua digarap tapi tidak terkendali. Tetap harus disesuaikan dengan kemampuan kita untuk mengendalikannya. Supaya tetap komitmen, gradual, dan sustainable,” kata Ade Mulyadi.

Population Corner

Selain mengintegrasikan pendidikan kependudukan ke dalam mata pelajaran yang sudah ada, SSK juga menggagas sebuah pojok yang di dalamnya menjadi pusat sumber daya informasi kependudukan, KB, dan pembangunan keluarga (KKBPK). Pojok kependudukan (population cerner) ini juga berfungsi menjadi pusat informasi dan konseling untuk masalah-masalah kependudukan maupun kesehatan reproduksi bagi remaja. Karena itu, di setiap sekolah yang sudah mengimplementasikan SSK harus terlebih dahulu berdiri Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIKR).

Untuk keperluan tersebut, population corner mempersenjatai diri dengan aneka sumber daya informasi dan pendukung lainnya. Informasi itu dibagi ke dalam beberapa rumpun, seperti foto, peta, grafik, dan ornamen kependudukan lainnya. Informasi dalam bentuk foto tersebut antara lain mengenai kesehatan reproduksi remaja, kelahiran sehat, kematian akibat langsung dan tidak langsung, perkawinan dini, perkawinan dewasa, pertumbuhan penduduk, migrasi atau mobilitas, daerah kumuh, korban tawuran, kemacetan lalulintas, dan lain-lain.

Peta kependudukan berupa persebaran penduduk di Kabupaten Sukabumi, pertumbuhan, kepadatan, migrasi, usia kawin, tingkat kesertaan KB, kualitas SDM, komposisi, dan lain-lain. Grafik berupa persebaran, pertumbuhan, kepadatan, migrasi, usia kawin, angka ketergantungan, kesertaan KB, komposisi penduduk, angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi (AKB), dan lain-lain. Ornamen lain berupa brosur/artikel/buletin/majalah, spanduk, banner, film kependudukan, pameran/bazaar, lomba (Population Cup), lagu-lagu motivasi kualitas penduduk, novel kependudukan, buku referensi, dan lain-lain.

Population corner dilengkapi dengan fasilitas laptop, wireless, infokus, papan-papan demografi, dan fasilitas lainnya. Sebagai tempat konseling, di sana si anak bisa berkonsultasi tentang kependudukan, KB, dan kesehatan, pertanian, atau apa saja yang berhubungan dengan kependudukan. Sementara dibatasi untuk KKB dan kesehatan,” jelas Ade.

SSK juga memberikan warna lain dengan menghadirkan para petugas KB di sekolah. Para petugas ini bisa menerima konsultasi di pojok kependudukan atau bahkan menjadi guru tamu di kelas. Untuk keperluan itu, guru berkoordinasi dengan UPT KB di kecamatan untuk menghadirkan petugas lapangan di sekolah. Dengan begitu, tidak melulu guru yang menyampaikan materi kependudukan di kelas.

Lebih dari itu, siswa diajak terlibat aktif dalam mekanisme operasional program KKBPK melalui tugas terstruktur dari guru bersangkutan. Cara ini ditempuh agar sekolah benar-benar hadir di masyarakat. Anak-anak mengetahui dengan baik kondisi demografi di lingkungan masing-masing. Praktik pendataan keluarga ini berlangsung di RT masing-masing. Hasilnya dianalisis dan disajikan di hadapan siswa lain. Layaknya petugas KB, siswa turut membuat peta keluarga, grafik kesertaan ber-KB, dan lain-lain.

“Misalnya dia menganalisis mengapa penduduk di atas 50 tahun tinggi dan kebanyakan perempuan. Ternyata penduduk peduduk di RT saya itu kebanyakan penduduk usia lanjut dan anak-anak. Ke mana yang produktifnya? Ternyata mereka berangkat ke Jakarta atau ke Jeddah misalnya. Kemudian apa yang harus dilakukan kepada usia lanjut atau anak-anak. Ternyata perkawinan anak usia dini menjadi penyebabnya. Anak sampai bisa menganalisis seperti itu,” ujar Ade bangga.

Tak berlebihan kiranya ketika Ade menyebut SSK merupakan cara lain menghasilkan petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) di tengah sulitnya menambah jumlah petugas lini lapangan. Bila SSK sudah berjalan di semua sekolah, maka Ade optimistis setiap tahunnya bakal menghasilkan ratusan bahkan ribuan “PLKB” muda. (*)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top