BEKASI | WARTAKENCANA.COM
Upaya percepatan penurunan stunting bukan semata tugas pemerintah. Upaya yang sama bisa dilakukan masyarakat. Salah satunya melalui optimalisasi pemanfaatan kampung keluarga berkualitas (Kampung KB) yang sudah sejak awal menjadi ruang partisipasi masyarakat dalam pembangunan secara nyata. Ke depan, Kampung KB harus lebih banyak ambil bagian dalam upaya percepatan penurunan stunting di Jawa Barat.
Koordinator Bidang Pengendalian Penduduk Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Irfan Indriastono mengungkapkan hal itu dalam sosialisasi program percepatan penurunan stunting di Kantor Kelurahan Margamulya, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, pada Kamis, 23 Juni 2022. Sosialisasi percepatan penurunan stunting merupakan kolaborasi BKKBN dan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang digelar secara maraton di sejumlah kabupaten dan kota di Jawa Barat. Acara serupa juga berlangsung simultan di seluruh provinsi di Indonesia.
“Kampung KB harus menjadi bagian dari upaya kita dalam percepatan penurunan stunting. Kampung KB kita memiliki pengalaman konkret mendorong partisipasi peran masyarakat dalam program pembangunan yang di dalamnya melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, bukan hanya OPD KB. Keberadaan tim pendamping keluarga (TPK) diharapkan bisa memanfaatkan keberadaan kampung KB dalam memberikan pendampingan kepada keluarga sasaran,” ungkap Irfan.
Menurutnya, kampung KB memiliki irisan langsung dengan TPK yang nota bene merupakan ujung tombak percepatan penurunan stunting di masyarakat. Alasannya, TPK merupakan sebuah tim gabungan lini lapangan yang terdiri atas bidan, kader keluarga berencana (KB), dan kader Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Nah, kader KB maupun kader PKK dan bidan sudah terbiasa berkolaborasi melaksanakan kegiatan di kampung KB. Apalagi, upaya penanggulangan stunting setelah keluarnya Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting memberikan perhatian besar pada aspek pencegahan dari hulu. Di sinilah peran kader menjadi sangat penting.
“Merujuk pada Perpres 72/2021, OPD KB itu berperan mulai dari pembekalan calon pengantin. TPK bertugas memberikan pemahaman dalam persiapan menikah untuk menghindari stunting. Misalnya, jika lingkar lengan atasnya kurang dari 23,5 persen itu kemungkinan anaknya stunting lebih tinggi. Persiapan juga mulai perbaikan gizi. Kemudian sejak remaja sudah mulai diberikan tablet tambah darah (TTD) sebagai upaya nanti pada saat hamil supaya tidak terjadi anemia yang bisa menyebabkan BBLR (berat bayi lahir rendah). Dengan BBLR, kemungkinan stunting jadi besar,” terang Irfan.
“Kemudian, ibu hamil diberikan penyuluhan untuk memeriksakan diri secara teratur, memperhatikan asupan gizi secara baik, dan seterusnya. Ibu bersalin dan ibu nifas juga menjadi binaan kita. Kegiatan-kegiatan tersebut bisa dilakukan secara terpadu di kampung KB,”sambung Irfan.
Lebih jauh Irfan menjelaskan, keberadaan kampung KB juga menjadi pusat gizi serta pelayanan pada anak stunting melalui hadirnya Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT). Menurutnya, BKKBN bersama para ahli gizi telah menyusun menu sehat dengan konsep produk lokal karena sekaligus memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat sendiri.
DASHAT merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam upaya pemenuhan gizi seimbang bagi keluarga berisiko stunting yang memiliki calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, baduta/balita stunting terutama dari keluarga kurang mampu. Melalui pemanfaatan sumberdaya lokal (termasuk bahan pangan lokal) yang dapat dipadukan dengan sumberdaya/kontribusi dari mitra lainnya.
Tak hanya itu, kampung KB juga menjadi pusat sumber daya informasi percepatan penurunan stunting di tingkat lokal melalui pemanfaatan Rumah Data Kependudukan yang kemudian dikenal dengan nama Rumah Dataku. Ini sejalan dengan konsep Rumah Dataku yang berfungsi sebagai basis data dan informasi serta pusat intervensi pembangunan di tingkat mikro wilayah kampung KB.
“Rumah Dataku tersebut dipastikan memiliki urgensi dan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat di lokasi Kampung KB. Secara konseptual, Rumah Dataku merupakan program yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan intervensi sosial berdasarkan partisipasi masyarakat dan peran strategis data. Proses ini dilakukan dengan menyederhanakan kondisi masyarakat yang kompleks ke dalam gambaran data yang kemudian melalui pemeranan atau keterlibatan kader masyarakat menyediakan skema intervensi dalam proses percepatan pembangunan, termasuk percepatan penurunan stunting, di tingkat lokal,” papar Irfan.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI Wenny Haryanto menjelaskan, sosialisasi percepatan penurunan stunting menjadi salah satu upaya dalam penggalangan dukungan atau komitmen pemangku kepentingan (stake holders) serta penyebarluasan informasi tentang upaya pencegahan dan penurunan stunting. Kegiatan ini merupakan upaya argumentatif dan persuasif yang langsung menyentuh masyarakat dan keluarga karena dilakukan melalui promosi, edukasi serta dialog langsung dengan masyarakat di tingkat lini lapangan.
“Stunting bukan semata-mata tanggung jawab BKKBN. Percepatan penurunan stunting merupakan tanggung jawab kita semua. Karena itu, kegiatan ini melibatkan semua unsur yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat serta mitra kerja terkait. Kami di Komisi IX DPR RI berkomitmen kuat mendorong upaya percepatan penurunan stunting agar target prevalensi 14 persen yang dicanangkan Presiden Jokowi bisa tercapai,” ungkap Wenny.
Wenny berharap sosialiasasi yang dilakukan secara massif dan berkesinambungan mampu membangun kesadaran keluarga dalam upaya pencegahan stunting. Hal ini penting karena pencegahan menjadi kata kunci dalam percepatan penurunan stunting. Ketika anak-anak yang sudah teridentifikasi stunting memerlukan penanganan ekstra, maka pencegahan dari hulu menjadi keniscayaan.
“Saat ini, berdasarkan hasil SSGI 2021, prevalensi stunting nasional mencapai 24.4 persen. Jawa Barat malah lebih besar lagi, 24.5 persen. Dengan kata lain, satu dari empat anak kita menderita stunting. Fakta ini mendorong kita untuk lebih serius melakukan upaya percepatan penurunan stunting. Dengan kolaborasi segenap pemangku kepentingan, kita semua berharap agar prevalensi stunting bisa mencapai target 14 persen pada 2024 mendatang,” harap Wenny. (NJP)