JAKARTA – DUAANAK.COM
Memasarkan sesuatu yang kasat mata memang lebih mudah. Calon pembeli bisa melihat secara nyata bentuk atau ukuran maupun warna setiap benda yang akan dibeli. Tanpa melihat bukti, tampaknya tak mudah menjual suatu barang. Pun dengan program kependudukan, keluarga berencana, dan keluarga berencana (KKBPK). Kini, dikembangkan suatu model advokasi KKB dengan cara menyodorkan bukti.
“Yang pasti-pasti aja, deh!” “Kami butuh bukti, bukan janji.” Itulah dua contoh pernyataan yang kerap mengemuka di tengah masyarakat, baik menyangkut janji-janji politik maupun serbuan iklan produk. Sebaliknya, mereka yang jumawa mengaku sukses kerap mengumbar kata-kata senada, “Kami beri bukti, bukan janji.”
Ya, semua butuh bukti. Tak terkecuali para pemangku kepentingan membutuhkan bukti sahih manfaat program KKB bagi pembangunan daerahnya. Langkah advokasi pun membutuhkan bukti (evidance based) sebagai bagian dari argumentasi yang kuat dan berorientasi pada efektivitas program. Majalah Warta Kencana dalam salah satu edisinya menjelaskan, tujuan advokasi program KKBPK adalah mendorong terjadinya keputusan, komitmen, dan kebijakan dalam meningkatkan pencapaian program KB. Perencanaan tersebut dilakukan terutama di tingkat kabupaten dan kota.
Ketua Yayasan Cipta Cara Padu (YCCP) Sugiri Syarief menjelaskan, aplikasi perangkat lunak yang digunakan untuk membuat perencanaan advokasi KKB adalah SmartChart. Di dalamnya mengandung instrumen perencanaan dengan menggunakan bukti-bukti yang didapat. Bukti-bukti tersebut terdiri atas data populasi seperti demografi dan situasi KB, data proyeksi biaya program KB, informasi terkait pengaruh jaring kerja, dan informasi kualitatif lainnya yang sengaja dikumpulkan untuk keperluan advokasi.
Dengan menggunakan bukti-bukti itu, dapat membantu advokasi untuk membuat keputusan strategis terkait tujuan program, sasaran, dan isi pesan yang penting demi keberhasilan advokasi KB. Keputusan strategis dimulai dengan membuat keputusan program yang menjadi landasan untuk melakukan langkah-langkah berikutnya secara berurutan. Adapun langkah-langkah yang dimaksud meliputi keputusan program, konteks, pilihan strategis, kegiatan advokasi, mengukur keberhasilan, dan kaji ulang.
“Langkah pertama dalam membuat keputusan program yaitu dengan mengidentifikasi tujuan akhir (goal), tujuan, dan pembuat keputusan. Keputusan proggam harus menggunakan data dasar seperti populasi, demografi, dan situasi KB. Selain itu, menggunakan data dari proyeksi biaya dan informasi dari peta pengaruh jejaring kerja. Perencanaan komunikasi tidak bisa dilakukan sebelum keputusan tentang tiga hal itu ditentukan, disertai dengan tiga prinsip utama,” papar dia.
Pertama, menentukan tujuan jangka panjang atau tujuan akhirnya. Dalam program KB tujuan jangka panjang yang ingin dicapai seringkali ditetapkan dalam angka demografi, misalnya angka total fertility rate (TFR). Untuk mencapai tujuan jangka panjang, hal yang dilakukan dengan menguraikannya menjadi bagian yang lebih kecil. Misalnya, dengan meningkatkan pemakaian kontrasepsi, meningkatkan pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) atau merubah kebijakan untuk meningkatkan anggaran KB.
Kedua, membuat langkah konkret dalam mencapai tujuan jangka panjang. Menetapkan tujuan merupakan komponen penting dari strategi. Bila tujuan terlalu luas, keputusan yang dibuatpun menjadi tak jelas. Akibatnya upaya yang dilakukan tidak akan efektif. Tujuan yang ingin dicapai dalam hal ini memiliki dua kategori, yaitu perubahan perilaku dan perubahan kebijakan. Keduanya memiliki tipe yang amat berbeda.
Ketiga, menentukan pembuat kebijakan akhir atau pihak yang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Pembuat keputusan akhir merupakan pihak yang memiliki kekuasaan untuk mewujudkan apa yang diinginkan. Untuk menentukannya, dapat menggunakan informasi dari peta pengaruh jejaring kerja. Siapapun yang membuat keputusan akhir atau dapat mengubah suatu kebijakan, maka dialah pembuat keputusan yang dicari. Merekalah sasaran advokasi itu.
Langkah kedua adalah konteks dengan membuat peta intenal dan eksternal. Pemetaan internal berguna untuk menilai aset dan tantangan organisasi atau kelompok peduli KB dari perspektif kapasitas yang dimiliki. Sementara pemetaan eksternal merupakan kesempatan terbaik dalam menilai lingkungan untuk kepentingan advokasi program.
Langkah berikutnya adalah memilih strategi dengan menentukan kelompok sasaran terlebih dahulu. Tim advokasi dapat melakukan segmentasi kelompok sasaran ke dalam kategori yang lebih spesifik menurut demografi, geografi, dan kategori lain yang relevan dengan tujuan advokasi. Sebagian besar informasi tersebut bisa didapat dari peta pengaruh jejaring kerja.
Menentukan kelompok sasaran yang berbeda akan menyebabkan perbedaan mendasar mengenai berbagai faktor, seperti apa saja kepentingan mereka dan dimana kelompok sasaran tersebut memperoleh informasi mengenai isu yang diusung Tim Advokasi. Dalam beberapa kasus, kelompok sasaran bisa saja sama dengan pembuat keputusan. Dalam kasus lain, bisa memilih kelompok sasaran yang dapat membantu untuk mempengaruhi pembuat keputusan.
Masyarakat umum dan media tidak bisa dijadikan target atau kelompok sasaran. Mustahil menemukan suatu pesan yang bisa berpengaruh terhadap semua masyarakat karena kemungkinan hasil dari pesan akan berlalu begitu saja dan tidak mempengaruhi siapapun. Begitu pula dengan media, jangakaunnya hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Karena kelompok sasaran berfungsi sebagai rujukan bagi masyarakat suatu isu, maka pihak yang dijadikan kelompok sasaran yaitu orang-orang yang menjadi contoh bagi masyarakat dalam membentuk opini. Banyak organisasi lebih tergoda beradu pendapat denga kelompok penentang dibandingkan memfokuskan diri pada kelompok sasaran yang ada dalam jangkauan sebenarnya. Kelompok sasaran tersebut berpotensi memberikan dukungan terhadap permasalahan, meski hanya dengan sedikit upaya advokasi.
Setelah menetapkan kelompok sasaran, hal selanjutnya adalah pesan yang akan disampaikan. Dalam bahasa sederhananya, yaitu apa yang ingin dikatakan. Namun, ada sebuah nasehat yang juga penting untuk diperhatikan, yaitu “Yang penting bukan apa yang ingin Anda katakan, melainkan apa yang dapat mereka dengar.” Dengan demikian, pesan yang disampaikan oleh tim advokasi kepada kelompok sasaran harus jelas dan mudah dimengerti.
Langkah keempat adalah kegiatan advokasi atau melakukan komunikasi. Tim advokasi mengidentifikasi taktik, menentukan alur sesuai batasan waktu dan memberikan tugas kunci kepada orang yang akan membantu mengimplementasikan strategi tim. Ida menjelaskan, hal-hal yang perlu dipertimbangkan dan ditetapkan, yaitu taktik, kerangka waktu, pembagian tugas, dan anggaran.
“Langkah berikutnya adalah mengukur keberhasilan. Untuk mengukurnya dengan menggabungkan antara upaya (output) dengan hasil. Output digunakan sebagai ukuran upaya tim advokasi dalam rangka untuk melangkah ke depan dalam melaksanakan strategi. Sementara hasil adalah perubahan yang terjadi karena proses output tersebut. Salah satu output kemungkinan mampu menghasilkan banyak berita, khususnya dalam menyampaikan pesan utama dan bisa dijadikan saluran untuk menjangkau kelompok sasaran tertentu,” papar Sugiri.
“Hasil yang bisa dilihat oleh kelompok sasaran adalah liputan berita. Berdasarkan liputan tersebut, bisa mengundang tim advokasi untuk memberikan testimoni pada saat tatap muka berikutnya. Pengukuran harus didefinisikan dan dikaji ulang selama program advokasi berjalan, tidak menunggu sampai akhir,” Sugiri melanjutkan.
Langkah terakhir yaitu mengjaki ulang strategi advokasi sebelum dilakukan. Semua keputusan strategi harus bisa mendukung terwujudnya pendekatan secara konsisten, dengan berpikir cermat sebelum mulai menginvestasikan waktu dan uang ke dalam strategi advokasi.(WARTA KENCANA)