Keluarga sudah sangat lama menempati marwah tertinggi dalam sejarah kehidupan umat manusia. Faktanya, keluarga tak selamanya mampu memerankan diri sebagai perawat nilai-nilai luhur kehidupan. Dalam banyak kasus, keluarga justru hadir sebagai pusat dari pusaran masalah. Ke mana perginya ketahanan keluarga? Vuo vadis ketahanan keluarga!
Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat Netty Prasetiyani Heryawan tak mampu menutupi kegeramannya saat menceritakan pengalamannya melakukan advokasi terhadap korban kekerasan perempuan di hadapan ratusan anggota Kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di lapangan Binjar Pangkalan Udara Sulaiman, Margahayu, Kabupaten Bandung. Wajar saja Netty geram tiada tara karena pelaku kekerasan pada perempuan maupun anak sebagian besar dilakukan oleh anggota keluarga atau pihak yang pada dasarnya dekat dengan korban.
Turut menjadi saksi kegeraman doktor ilmu pemerintahan dari Universitas Padjadjaran (Unpad) ini antara lain Komandan Lanud Sulaiman Kolonel Mohammad Syafii, Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Sugilar, Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Bandung Kurnia Dadang Naser, dan sejumlah pemangku kepentingan terkaitnya. Cerita keluh kesah dan kegeraman penggagas Gerakan Jabar Tolak Kekerasan ini muncul saat membuka pameran dan gelar dagang UPPKS dalam rangka peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-23 di Lapangan Binjas, Lanud Sulaiman.
Mengutip laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Netty menyebutkan bahwa 70 persen pelaku kekerasan adalah orang yang sangat dekat dan dikenal oleh korban. Bahkan, kekerasan terus bergulir selama bulan suci Ramadan. “Kalau kita mau buka, setiap harinya kita di P2TP2A menerima 7-8 laporan. Ramadan dikira menurun ternyata tidak. Yang mengerikan, pelaku kekerasan, utamanya kekerasan seksual, dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya memberikan perlindungan kepada anggota keluarga,” ungkap Netty.
Keluarga, imbuh Netty, merupakan institusi terkecil tempat berlangsungnya penanaman nilai-nilai kehidupan. Sebut saja misalnya karakter yang tangguh, akhlak yang mulia, dan lain-lain. Dengan begitu, di mana pun anak-anak setelah besar kelak berada, di mana pun berinteraksi, mereka memiliki imunitas dan antibodi dari sergapan dan kemajuan zaman, kecanggihan teknologi, kecepatan informasi yang tidak dapat terhindarkan belakangan ini.
Itu harapannya. Tapi ternyata, alih-alih berharap pada institusi yang bernama keluarga, hari ini tidak semua keluarga, tidak semua pasangan suami-istri, memiliki visi yang tangguh dalam membangun keluarga. Sehingga, ketika berbicara potret Indonesia, secara khusus potret Jawa Barat, maka Netty melihat ada sejumlah kerentanan yang patut dicermati dan waspadai. Kerentanan ini akan berdampak pada keluarga sebagai benteng utama.
“Satu sisi kita percaya bahwa keluarga merupakan tempat persemaian nilai-nilai kebaikan, budi pekerti, termasuk membangun karakter. Tetapi, di sisi lain keluarga mengalami ancaman. Hari ini di tengah kemajuan zaman, kemajuan teknologi, dan kecepatan informasi tidak dapat elakkan, kita melihat banyak pasangan-pasangan suami-istri tidak mampu menjalankan fungsi dan perannya. Kalau kemudian dalam undang-undang disebutkan ada sejumlah fungsi keluarga, ternyata hari ini kita melihat banyak keluarga menjadi masalah bagi perjalanan bangsa ini ke depan,” keluhnya.
“Saya harus katakan seperti itu karena hari ini begitu banyak catatan yang masuk ke Komnas Perempuan maupun KPAI terkait berbagai kasus kekerasan, baik berupa fisik, psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran ekonomi. Ini terjadi tidak hanya di ruang personal, tetapi juga di ruang publik atau masyarakat,” Netty menambahkan.
Netty lantas membandingkan pengalamannya ketika masih belia. Sudah lazim bila anak-anak kecil mendapat pesan dari orang tuanya untuk berhati-hati dengan orang yang tidak dikenal. Pesan itu pula yang masih terngiang di telinga Netty setiap kali berangkat sekolah.
“Ketika saya kecil, pesan ibu dan bapak masih terngiang. ‘Nanti pulang sekolah cepat pulang. Kalau ada orang asing mau ganggu cepat lari!’ Kan begitu. Tapi, ternyata hari ini yang harus kita khawatirkan bukan hanya orang asing. Bukan hanya orang tidak dikenal,” kenang Netty sekaligus menyesalkan terjadinya kasus-kasus kekerasan yang melibatkan orang-orang dekat belakangan ini.
Tentu, cerita-cerita kekerasan bukan semata-mata propaganda atau kampanye antikekerasan perempuan. Netty yang malang-melintang dalam advokasi kekerasan perempuan dan anak dalam beberapa tahun terakhir mendapati cerita mengerikan ketika menangani korban perkosaan.
Begini ceritanya. Sebut saja di salah satu kabupaten ada seorang anak berusia 7 tahun yang mencabuli adik kandungnya sendiri yang berusia 5 tahun. Ada lagi anak usia delapan tahun diperkosa oleh tiga orang bersama-sama yang pelakunya adalah ayahnya, kakaknya, dan pamannya sampai usia 12 tahun. Anak ini menstruasi tiga kali kemudian hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki.
“Jadi ini menjadi sebuah tantangan institusi keluarga ini diuji, Pak Gilar. Mari kita pahami bahwa keluarga ini menjadi tema yang sangat penting. Ternyata keluarga sedang mengalami ujian. Satu sisi kita percaya keluarga adalah institusi sakral, institusi yang dipercaya mampu melahirkan anak-anak yang berkarakter,” ungkap Netty sambil menyapa Sugilar, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat.
Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat ini yakin keluarga menjadi potret sebuah bangsa. Ketika keluarga kokoh dan tangguh, maka akan jadi kontributor bagi perjalanan bangsa ini ke depan. Dia menyayangkan ketika seseorang berbicara keluarga seringkali membuat jarak antara keluarga sendiri dengan keluarga orang lain. Kita seringkali membuat jarak antara keluarga dengan masyarakat. Alasannya, sebagian besar orang menganggap keluarganya baik-baik saja. Memiliki suami baik, setia, sukses berkarier, dan lain-lain.
Padahal, tidak semua keluarga seberuntung keluarga-keluarga tadi. Boleh jadi masih terdapat tetangga dengan lantai masih terbuat tanah. Dinding boleh jadi terbuat dari anyaman bambu yang di sana masih terdapat bolong-bolong. Bukan tidak mungkin keluarga-keluarga prasejahtera ini hanya memiliki satu kamar tidur atau tidak punya sama sekali. Tak ada lagi sekat antara ruang tidur anak dan orang tua.
Netty percaya tidak terpisahnya ruang tidur antara anak dan orang tua merupakan awal bencana. Inilah bibit kekerasan inses atau kekerasan seksual yang sedarah. Atas alasan ekonomi plus minimnya pengetahuan, orang tua merasa tidak perlu memisahkan kamar tidur anak dengan kamar tidur orang tua. Hal itu pula yang ditemukan Netty saat menangani korban kekerasan sedarah.
“Ketika ditanya mengapa seperti itu? Dia jawab, ‘Bapak dan ibu mengira aku sudah tidur. Padahal aku melihat apa yang mereka lakukan.’ Naudzubillahi min dzalik. Makanya menjadi bencana buat masa depan bangsa ini kalau kita membuat jarak antara masalah sosial dengan keberadaan kita. Kita sering katakan itu urusan orang lain. Itu masalah kamu, bukan masalah saya. Kalau meminjam anak muda, ‘Itu derita loe, bukan gue.’ Betul, nggak?” papar Netty.
Perempuan yang dinobatkan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta sebagai local hero dalam memerangi praktik perdangan manusia (human trafficking) ini mengingatkan beratnya tantangan perempuan Indonesia ke depan. Terlebih dengan diberlakukannya era perdagangan bebas ASEAN yang disepakati 10 negara anggota. Sumber daya alam melimpah yang dimiliki Indonesia menjadi tak berarti manakala sumber daya manusia (SDM) Indonesia tidak mampu bersaing dengan para pendatang.
“Oke kita maish bangga dengan sebutan Zamrud Katulistiwa, oke kita masih ingat bait-bait syair yang dikumandangkan oleh Koes Plus pada masanya. Kita punya batubara, kita punya bijih besih, kita punya berbagai produk pertanian holtikultura, dan sebagainya. Tapi apa jadinya kalau kemudian SDM yang seharusnya mengelola itu bergeletakkan, bergelimpangan karena terjebak pada pergaulan bebas, melakukan seks berisiko, termasuk juga menjadi pengguna narkoba, mmenjadi pelaku kejahatan, terpapar pornografi. Setiap hari tidak ada yang dipikirkan kecuali kesenangan semu, termasuk adiktif terhadap tayangan-tayangan yang tidak dapat kita hindarkan ada di sebuah kotak ajaib yang bernama televisi. Termasuk ada di sebuah kotak ajaib yang secara sadar Bapak dan Ibu berikan langsung kepada anak-anak di rumah tanpa regulasi, tanpa edukasi,” tandas Netty.
Dampaknya jelas. Sebagan anak sangat hapal dengan lagu Hamil Duluan, Hamil karena Setan, Gadis Bukan Perawan, Mobil Bergoyang, dan lain-lain. Siapa yang salah? “Apa kita mau tunjuk Pak Danlanud? Pak Danlanud gimana kan Bapak sudah jadi komandan, jagain anak-anak di sini. Apa kita mau begitu? Apa kita mau tunjuk Pak Polis?. Pak, masak anak saya pacaran sama tukang es bisa hamil 5 bulan? Bapak apa kerjanya? Masak iya kita akan mengatakan seperti itu sebagai orang tua, sebagai keluarga, sebagai kader, kader PKK, pos KB, PLKB, TPD, atau PIK Remaja. Apa kita akan menunjuk kesalahan itu pada orang lain?” Netty menambahkan.
Dia berpesan agar jangan pernah salahkan warga negara asing yang kemudian hari ini merambah Papua untuk membuat pabrik semen. Lalu, di mana pekerja-pekerja Indonesia? Netty khawatir bangsa Indonesia hanya akan jadi penonton. Pemerintah sibuk melakukan rehabilitasi bagi pemuda-pemuda yang seharusnya bisa mengelola sumber daya alam. Netty mengajak semua pihak merenungkan hal itu. Ternyata ada saudara atau tetangga yang hari ini tidak beruntung.
UPPKS Bisa Jadi Pilar Ekonomi Keluarga
Untuk itu, Netty mengajak untuk memberikan dukungan kuat terhadap program UPPKS sebagai pemberdayaan ekonomi keluarga. Dukungan nyata menjadi penting mengingat sebagian besar orang yang dijemput P2TP2A Jabar dari Batam, Entikong, dan beberapa tempat lain, ermasuk anak usia 14 tahun menunggu vonis gantung di Singapura, beralasan pergi bekerja dan terjebak pada praktik perdagangan orang karena alasan ekonomi.
“Saya mengira saya dipekerjakan sebagai pegawai salon, Bu. Katanya gajinya Rp 5 juta. Tapi hari pertama saya bekerja saya harus melayani lima laki-laki hidung belang,” ucap Netty menirukan ucapan seorang korban trafficking yang dijemputnya beberapa waktu lalu. Lagi-lagi alasannya ekonomi.
Pada waktu lain, Netty bertanya kepada seorang anak perempuan berusia sekitar 16-18 tahun. “Mengapa bekerja di sana?” Jawabannya karena mereka ingin meringankan beban keluarga. Berapa gaji di sana? “Nilai saya Rp 250 ribu rupiah,” jawab di anak. Berapa persentase antara kamu dengan mucikari? “Si Mamih 60 persen, saya 40 persen. Saya bekerja setiap pukul 7 malam sampai pukul 4 pagi,” si anak menimpali.
“Sementara di mana anak-anak kita pada jam-jam segitu? Anak-anak kita sedang tidur, sedang belajar, sedang menonton film kesayangannya, sedang membaca dan sebagainya. Sementara mereka harus melawan keengganan untuk kemudian melayani laki-laki hidung belang paling sedikit mereka katakan melayani 7-8 laki-laki. Kalau paling sedikit, lagi sepi, melayani 7-8 orang, berarti ada masa ramainya? Iya, jawab mereka. Berapa? Pernah 32 laki-laki termasuk warga negara asing yang sedang berwisata di Jawa Barat ini. Seperti itu,” ujar Netty makin geram.
Yang repot, upaya restitusi gagal karena pola hidup konsumtif sudah menjajah mereka. Kiri-kanan handphone, rambut dicat warna-warni, pakaian juga sudah berubah. Nah, ketika pelaku harus membaya biaya ganti rugi atau restitusi, tidak ada yang bisa dibayarkan. Kenapa? Rata-rata sudah berhutang pada mucikari atau pelaku perdagangan orang. Selain untuk membiayai gaya hidup, utang juga datang ketika korban sudah telanjur meminjam uang untuk mengirim kepada keluarga di kampung.
Jadi, sambung Netty, ketika bicara UPPKS maka pandangan harus diperluas. Ternyata salah satu kegiatan ekonomi produtif dan berkontribusi besar pada perjalanan ekonomi bangsa ini adalah usaha ekonomi kerakyatan yang dilakukan dari rumah ke rumah ini. Karena tidak butuh modal besar, pelaku ekonomi kerakyatan tidak gampang kolaps. Sementara korporasi raksasa pada umumnya memiliki utang jumbo juga.
Kalau sudah begitu, Netty menilai saat ini tinggal bagaimana berusaha secara serius dan bersungguh-sungguh menggandeng mitra. Termasuk kerjasama solid dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (KUMKM), dan organisasi perangkat daerah (OPD) lain untuk melakukan pembinaan agar mereka terus membangun jejaring kelompok.
“Di sini kita berharap bukan hanya karena alasan ekonomi tetapi juga ingin memastikan kelompok-kelompok UPPKS ini menjaga keseinambungan dalam kepesertaan dalam ber-KB. Kita berharap dengan pancingan, dengan stimulus UPPKS, keluarga-keluarga anggota UPPKS ini bisa bertahan dan setidaknya memiliki jaminan kira-kira apa yang bisa kumpulkan untuk melanjutkan kehidupan, untuk memastikan anak-anaknya bersekolah, memastikan anak-anaknya tidak kekurangan gizi, dan sebagainya,” harap Netty.
Yang harus kita lakukan tentu saja adalah pembinaan sehingga produk yang dihasilkan kelompok UPPKS bisa berkualitas, termasuk di dalamnya masalah kemasan (packaging). Dalam banyak kasus, produk UPPKS atau home industry lain memiliki cita rasa tinggi. Namun ketika tapi kemasannya tidak enak dilihat, jadi tidak dilirik orang. Dia mencontohkan ketika dirinya jalan-jalan ke Malaysia. Dari sisi rasa, dodol ala Malaysia kalah jauh dari dodol Garut atau wajit Cililin. Tapi karena kemasannya bagus, pengunjung kepincut untuk membeli.
Tidak kalah pentingnya adalah promosi. Selain melalui berjualan langsung seperti pameran atau gelar dagang, bisa juga ada strategi online. Netty mencatat, dalam satu hari itu ada 1 miliar foto diunggah ke media sosial. Terlebih sekitar 8 juta penduduk Indonesia itu pengguna Facebook terbesar keempat di dunia. Belum lagi pengguna handphone Indonesia terbesar keempat di dunia. Jadi bila kemudian strategi promosinya bisa dikembangkan, mudahan-muahan kalaupun tidak setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, bisa berdagang secara langsung, mudah-mudahan ada banyak cara yang bisa memperluas jangkauan.
“Akhirnya, untuk mensukseskan program ekonomi kerakyatan adalah dengan cara bela dan beli produk Indonesia, bela dan beli produk Jawa Barat. Bela dan beli produk-produk yang dihasilkan kelompok UPPKS, kelompok-kelompok keluarga prasejahtera atau KS I dan pada umumnya produk yang ada di Jawa Barat. Hanya dengan cara itulah mereka bisa memiliki keyakinan bahwa produk-produknya dicintai dan diminati digunakan oleh masyarakat secara luas. Hanya dengan cara itulah mereka akan memproduksi secara lebih banyak lagi,” ajak penyuka kriya rumahan tersebut.(NJP)