Home / Berita Utama / Politik Anggaran yang Memicu Darurat Alat Kontrasepsi

Politik Anggaran yang Memicu Darurat Alat Kontrasepsi

BANDUNG – DUAANAK.COM

Ada uang, ada barang. Rupanya diktum itu berlaku untuk semua hal. Termasuk soal alat dan obat kontrasepsi (Alokon). Politik anggaran yang tak berpihak pada pengendalian penduduk menjadi pemicu tersendatnya pengadaan alokon. Kini, sejumlah daerah terjerumus dalam darurat alokon.

Sekretaris Utama BKKBN Ambar Rahayu meninjau persediaan alat dan obat kontrasepsi di Gudang BKKBN Jabar. (DOK. BKKBN JABAR)

Sekretaris Utama BKKBN Ambar Rahayu meninjau persediaan alat dan obat kontrasepsi di Gudang BKKBN Jabar. (DOK. BKKBN JABAR)

Bulan-bulan terakhir ini menjadi begitu melelahkan bagi Ambar Rahayu. Sekretaris Utama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ini mengaku sudah bolak-balik mengikuti pertemuan pembahasan anggaran dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Upaya ini ditempuh agar anggaran yang diperuntukkan bagi pengadaan alokon bisa segera dicairkan.

“Tahun ini merupakan akir dari RPJMN 2009-2014. Tahun ini merupakan pertaruhan apakah kita bisa mencapai sasaran atau tidak. Sayangnya, 2014 tidak semulus yang kita bayangkan. Di tengah tahun kita mendapatkan efisiensi, dari semula Rp 2,88 triliun harus dipotong Rp 800 miliar,” ungkap Ambar saat berbicara di hadapan pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membidangi program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) di Hotel Karang Setra pertetangahan Juli 2014.

Tak pelak efisiensi anggaran ini membuat Ambar syok luar biasa. Maklum, jabatan yang diembannya merupakan mesin utama penggerak roda program KKBPK di tanah air. Dia bercerita, dari Rp 2,88 triliun tersebut, Rp 1,1 triliun di antaranya merupakan gaji, remunasi, dan biaya pemeliharaan rutin. Sedangkan anggaran untuk membiayai program hanya Rp 1,7 triliun. Dengan demikian, pemotongan Rp 800 miliar sudah menggerus hampir setengahnya program KKBPK.

Belakangn, Ambar sedikit bernafas lega. Alasannya, efisiensi yang semula Rp 800 miliar dipangkas menjadi Rp 350 miliar. Dengan begitu, sejumlah program yang semula hendak dibatalkan bisa kembali diberi nyawa. Tapi apa lacur, APBN Perubahan (APBNP) tak kunjung diteken wakil rakyat di Senayan. Pengadaan alokon yang menjadi tanggungan BKKBN pun kembali tersandung politik anggaran.

“Walaupun keputusan MK (Mahkamah Konstitusi, red) mengatakan bahwa DPR itu bukan satu-satunya alasan pengesahan APBN, tetapi tetap saja itu sulit ditembus. Tapi kenyataannya sangat sulit. Untuk mendapatkan tanda tangan saya harus lari menemui Ketua (Badan Anggaran DPR RI) hingga ke Sulsel. Walaupun sudah bertemu dan minta tolong, entah kenapa sampai sekarang belum juga ditandatangani,” Ambar menyesalkan.

“Ini kan sebenarnya untuk kepentingan rakyat. Tapi, kenapa kok wakil rakyat tidak memperlancar untuk kepentingan rakyat. Mudah-mudahan ke depan tidak begini lagi,” ungkap Ambar yang beberapa bulan sebelumnya menyempatkan diri blusukan menelusuri distribusi alokon ke Ciwidey, Kabupaten Bandung.

Di tempat yang sama, Kepala Bidang Advokasi, Penggerakkan, dan Informasi (Adpin) Rudy Budiman mengungkakan, saat ini persediaan alokon makin mengkhawatirkan. Beberapa daerah sudah memasuki masa kritis. Kondisi darurat alokon ini diperkirakan akan terus berlangsung manakala APBNP belum diketok palu.

Sampai Juni 2014, terang Rudy, persediaan suntik dan pil sudah habis. Bahkan, tidak cukup untuk melayani kebutuhan dalam satu bulan. Dari kebutuhan 1,065 juta pil per bulan, kini gudang BKKBN hanya memiliki 146 ribu set atau hanya cukup untuk 0,14 bulan. Sementara itu, gudang hanya menyisakan 1.000 vial KB suntik. Padahal, kebutuhan per bulan mencapai 554.120 vial.

Memang masih tersedia cukup banyak kondom. Dari kebutuhan bulanan sekitar 26.420 lusin kondom per bulan, stok di gudang masih menyisakan 416.700 lusin. Berarti, persediaan kondom di Jabar masih cukup untuk 15,77 bulan ke depan. Sayangnya, kondom bukanlah pilihan utama peserta KB di Jabar. Setelah digabung dengan MOP, partisipasi KB pria di Jabar baru berkisar 1,5% dari total peserta KB.

“Berdasarkan Undang-undang BPJS, BKKBN berkewajiban memenuhi seluruh kebutuhan alokon. Sayangnya, upaya kita memenuhi tuntutan tersebut kini tersendat,” kata Rudy.(NJP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top