Strategi Desa Mengepung Kota
Dunia tak bisa melupakan teori ini. Ya, teori desa mengepung kota. Teori ini merupakan metode perjuangan duplikasi dari strategi yang dipraktikkan Partai Komunis Cina (PKC) yang mengawali kemenangannya. Strategi desa mengepung kota dilakukan untuk memperbaiki kegagalan Chiang Kai Sek dalam upaya mengubah sistem politik Cina di tahun 1930-an. Menurut catatan Barrington Moore, ada 12 langkah Mao Che Tung dan PKC untuk membentuk dan mengembangkan kekuasaan mulai dari pedesaan untuk kemudian menguasai perkotaan.
Dimulai dari daerah pedesaan di kawasan utara dengan jalan memanfaatkan kelemahan orang kaya termasuk pelarian Kuomintang yang pro penjajah Jepang, mereka melansir program sosial yang masih moderat untuk mendapatkan simpati dari masyarakat yang anti penjajahan. Lalu setahap demi setahap membentuk organisasi tersendiri. Disusul pelaksanaan program pemarakan dukungan rakyat lewat slogan “si kaya menyumbang kekayaan, si buruh menyumbang tenaga”. Dan berdasarkan pembayaran pajak dibedakan desa miskin dan kaya. Lalu petani miskin diajak menyembunyikan gabah di gua-gua dan bersiap mengungsi, supaya tidak diambil oleh penjajah (Jepang). Lewat gerakan itu PKC mengembangkan administrasi untuk mengelola program, gabah, dan petani atas dukungan tidak langsung Jepang dan orang kaya.
Selanjutnya orang komunis mengembangkan organisasi di kalangan petani seperti organisasi pemuda, wanita, dan seterusnya. Lebih jauh mengembangkan program ekonomi mandiri seperti koperasi, organisasi membantu orang melarat, dan sebagainya. Setelah beberapa tahun, kaum revolusioner komunis masuk ke desa dekat Kanton bukan lagi dalam bentuk perlawanan rakyat kepada Jepang, akan tetapi berupa dorongan dari atas lewat kejutan oleh tentara nasional yang membelot untuk mendobrak pertahanan desa dan mengumumkan bubarnya pemerintah lama. Beberapa hari kemudian, tentara komunis pilihan memilih pejabat pemerintah baru setelah memberhentikan pejabat lama. Beberapa bulan kemudian dibentuk kader land reform. Setelah itu revolusi bergulir terus menghancurkan rejim lama dan membentuk yang baru di bawah komando kekuasaan komunis.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari sejarah Tiongkok tersebut? Banyak hal tentunya. Salah satunya menyangkut cara pandang terhadap desa. Bagi Paman Mao, sapaan Mao Che Tung, desa adalah potensi besar untuk membangun kekuatan. Desa adalah pusat pemerintahan komunal yang efektif untuk menggerakkan pembangunan. Kalau sudah begitu, aparat desa sama halnya dengan fontliner paling strategis. Nah, cara pandang ini linier dengan kebijakan lini lapangan yang digulirkan Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat.
Mengacu kepada dokumen Rapat Kerja Daerah Pembangunan Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) yang dihelat beberapa waktu lalu, kebijakan tersebut diwujudkan dengan mengeluarkan enam strategi. Dua di antaranya adalah intensifikasi koordinasi program tingkat desa/kelurahan dan perluasan jejaring kerja di lapangan. BKKBN Jabar menilai desa sebagai pusat kegiatan masyarakat, sehingga penting untuk menjadi garda terdepan pembangunan KKBPK. Konsekuensi logis dari kebijakan ini adalah digulirkannya berbagai kegiatan di tingkat desa. Pada saat yang sama, kapasitas dan kualitas pengelola program lini lapangan (below the line) terus ditingkatkan.
Sampai akhir 2013 lalu, sumber daya lini lapangan Jawa Barat terbilang lumayan. BKKBN mencatat, Jabar memiliki 1.522 petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) dan penyuluh keluarga berencana (PKB), 1.506 tenaga penggerak desa/kelurahan (TPD/K) yang bersumber dari pembiayaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) provinsi, dan 175 TPD yang bersumber dari APBD kabupaten dan kota. Tahun ini, Gedung Sate menggenapkan jumlah TPD/K menjadi 2.000 orang.
Menyimak angka di atas, berarti sampai 2013 saja Jabar sudah memiliki 3.203 lini lapangan di level desa atau kelurahan. Dibanding jumlah desa di Jabar sebanyak 5.957 desa, berarti rasio petugas terhadap desa/kelurahan sudah di bawah dua. Dengan angka sedikit berbeda, Bidang Advokasi Penggerakkan dan Informasi (Adpin) BKKBN Jabar mencatat rasio 1,86. Artinya, satu PLKB/PKB/TPD/K menggarap 1-2 desa. Angka ini sudah lebih baik dibanding standar pelayanan minimam (SPM) pelayanan program keluarga berencana dan keluarga sejahtera (KB/KS) yang mensyaratkan rasio 1:2 pada 2014.
Bahkan, Jabar juga melampaui SPM KB/KS untuk jumlah Pos KB Desa. Bila pada 2014 disyaratkan 1:1 desa yang berarti satu pos KB menangani satu desa atau kelurahan, sampai 2013 lalu Jabar sudah memiliki 7.766 pos KB. Jumlah ini di atas jumlah seluruh desa atau kelurahan di Jabar. Kekuatan ini belum ditambah 59.971 sub pos KB yang bergerak di tingkat rukun warga (RW). Sehingga, dengan rumus bahwa lini lapangan merupakan level desa ke bawah, saat ini Jawa Barat memiliki 70.795 petugas lini lapangan. Dibanding jumlah desa, berarti rata-rata 11 orang petugas lapangan menggarap satu desa atau kelurahan.
Ditemui di ruang kerjanya belum lama ini, Kepala Bidang Adpin BKKBN Jabar Rudy Budiman menjelaskan, kebijakan optimalisasi lini lapangan tidak lepas dari realitas bahwa sampai saat ini masih terjadi disparitas informasi maupun kesertaan program KKBPK antara perdesaan dan perkotaan. Merujuk pada hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR) antara perdesaan dan perkotaan menunjukkan angka berbeda. TFR perkotaan pada angka 2,4, adapun perdesaan masih berkutat pada angka 2,8.
Angka kesertaan tersebut tampaknya tidak lepas dari pengetahuan responden SDKI terhadap pilihan kontrasepsi dalam ber-KB. Rudy menilai pengetahuan mengenai pembatasan kelahiran dan KB merupakan salah satu aspek penting ke arah pemahaman tentang berbagai alat atau cara kontrasepsi yang tersedia. Ini juga menggambarkan kecenderungan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) sebagai pilihan kontrasepsi.
“Secara umum, kelompok wanita umur 30-34 tahun yang berdomisili di wilayah perkotaan dan yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi mempunyai pengetahuan tertinggi mengenai metode kontrasepsi, baik metode kontrasepsi modern maupun tradisional. Sebaliknya, wanita kawin umur 15-24 tahun tinggal di perdesaan dan berpendidikan rendah memiliki pengetahuan yang rendah tentang metode kontrasepsi,” ungkap Rudy.(WARTA KENCANA)