Home / Berita Utama / Lini Lapangan 2.0 (I)

Lini Lapangan 2.0 (I)

Menggerakkan Program KKBPK dari Desa

Petugas lapangan KB menjelaskan alat kontrasepsi kepada sejumlah warga Sukasirna, Sukabumi. (NAJIP HENDRA SP/DUAANAK.COM)

Petugas lapangan KB menjelaskan alat kontrasepsi kepada sejumlah warga Sukasirna, Sukabumi. (NAJIP HENDRA SP/DUAANAK.COM)

Singkatnya, semua cara sudah dilakukan. Toh, pencapaian program KB yang kini meluas menjadi KKBPK seolah “begitu-begitu saja”. Hasil SDKI menunjukkan, kinerja program KB lamban. Perlu ada koreksi untuk pengelola program. Terutama di lini paling depan, lini lapangan.

Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Siti Fathonah setengah mengeluh ketika ditanya hasil eveluasi kinerja program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) tahun 2013. “Terus terang kita semakin sulit mencapai tuntutan kinerja program KKBPK 2014 ini. Terasa sekali bagi saya sangat sulit,” kata Fathonah ketika ditemui di sela Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Program KKBPK di Hotel Karang Setra, Kota Bandung, 25 Februari 2014.

Fathonah lantas merinci apa saja yang dianggapnya menghambat pencapaian kinerja program KKBPK di provinsi paling tambun di nusantara ini. Sumber daya manusia (SDM), sarana, dan anggaran merupakan tiga contoh yang disebut mantan Kepala Perwakilan BKKBN Kalimantan Barat ini. Di sisi lain, berlakunya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola program di lapangan.

“Bukan berarti saya give up, tapi memang kondisinya makin sulit. Banyak yang harus dikejar. Pada akhirnya saya berpikir bahwa kita harus mencari satu pola, bagaimana program itu bisa langsung dilaksanakan di lapangan tanpa kita bergantung pada kondisi di kabupaten atau bahkan provinsi dan nasional. Pemberdayaan di tingkat desa yang harus diangkat,” terang Fathonah.

Desa menjadi kata kunci dalam konsep lini lapangan yang diusung BKKBN Jabar. Bagi Fathonah, lini lapangan berkisar dari desa hingga ke bawah untuk kemudian menyentuh keluarga. Sementara kecamatan dan kabupaten dilibatkan pada sisi manajerial. Fokusnya adalah para sukarelawan di setiap desa. Mereka adalah Pos KB, sub-Pos KB, dan para kader lainnya.

Tak dapat dimungkiri selama ini para kaderlah yang memang menjadi ujung tombak program KKBPK. Para petugas inilah yang mengunjungi pintu demi pintu pasangan usia subur di perdesaan. Keikhlasan frontliner ini sudah terbukti dari tahun ke tahun, bahkan sejak kali pertama program KB digulirkan. Mereka bergerak dengan atau tanpa bantuan biaya operasional.

“Bayangkan, kader-kader ini kan gak ada yang dibayar. Kader inilah yang kita manfaatkan sebagai lini lapangan. Makanya konsep lini lapangan yang saya ambil adalah desa ke bawah, bukan kecamatan. Saya tidak bicara tingkat kecamatan kalau lini lapangan,” jelas Fathonah.

Sejalan dengan konsep yang diusungnya tersebut, BKKBN Jabar mengagendakan lebih banyak kegiatan yang di dalamnya melibatkan lini lapangan tadi. BKKBN Jabar mencoba menjadi katalisator bergulirnya kembali mekanisme operasional program KB yang dalam beberapa waktu belakangan melempem. (Mekanisme Operasional Lini Lapangan bisa dilihat pada infografik).

Dari infografik tampak mekanisme ini berusaha melibatkan sejumlah pihak dalam program KKBPK. Rapat koordinasi tingkat desa misalnya, di sana melibatkan petugas lapangan (PLKB), pos KB, kelompok kegiatan, bidan desa, hingga kepala desa. Dengan begitu, program KKBPK merupakan hajat bersama untuk kepentingan bersama.

Tahun Lini Lapangan

Revitalisasi program KKBPK melalui lini lapangan di Jawa Barat memang tidak serta merta. Juga bukan gawean BKKBN semata. Berbicara saat menyampaikan laporan penyelenggaraan Rakerda di hadapan Gubernur Jawa Barat yang diwakili Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat, Sekretaris Utama BKKBN, dan kepala SKPD KB Kabupaten dan Kota serta mitra kerja, Fathonah menegaskan bahwa penetapan 2014 sebagai Tahun Lini Lapangan merupakan kesepakatan bersama.

“Bapak Gubernur dan Ibu Sestama (BKKBN), rakerda hari ini telah diawali dengan kegiatan prarakerda kemarin pagi hingga malam. Prarakerda diikuti seluruh kepala SKPD kabupaten/kota beserta sekretatis badan dan bidang keluarga sejahtera. Prarakerda menghasilkan beberapa kesepakatan, di antaranya menetapkan tahun 2014 sebagai tahun lini lapangan. Sudah barang tentu ini mengandung konsekuensi terhadap strategi penggarapan yang mengarah pada kekuatan penuh di lini lapangan,” tandas Fathonah.

Ditemui setelahnya, Kepala Bidang Advokasi, Penggerakkan, dan Informasi (Adpin) BKKBN Jawa Barat Rudy Budiman menjelaskan, komitmen pemerintah daerah menjadi faktor determinan dalam pembangunan KKBPK. Dalam iklim desentralisasi, kabupaten dan kota memiliki kewenangan penuh dalam penyelenggaraan KKBPK. Faktanya, marginalisasi program KB pascareformasi juga tampak dari rendahnya komitmen anggaran daerah yang dialokasikan untuk program KB.

Pada mulanya, jelas Rudy, perubahan BKKBN dari sentralisasi menjadi desentralisasi diasumsikan kabupaten dan kota lebih mampu mengenali permasalahan dan memahami kebutuhan masyarakat. Dengan begitu, kabupaten dan kota lebih mampu merumuskan program-program yang sesuai dengan kondisi riil di daerahnya. Sayangnya, tidak semua landasan teoritik itu terwujud.

Alih-alih melipatgandakan kinerja, infrastruktur program KKB di kabupaten dan kota melemah. “Komitmen pemerintah kabupaten dan kota bervariasi, kelembagaan program KB tidak seragam, dan kualitasnya tidak sama. Ada dinas, badan, kantor, merger, bahkan ada yang hilang. Tenaga lapangan banyak yang berpindah tugas sebagai tenaga administrasi, begitu pula aparat di kantor kabupaten dan kota,” kata Rudy.

Sadar suasana politik desentralisasi begitu adanya, Rudy menjelaskan, penggarapan lini lapangan berupaya melakukan intensifikasi koordinasi program tingkat desa dan kelurahan. Strategi lainnya melalui perluasan jejaring kerja di lapangan, intensifikasi penggerakan calon peserta KB metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP), intensifikasi pembinaan peserta MKJP, pendampingan pasangan usia subur (PUS) dengan materi 4T (terlalu muda, terlalu tua, terlalu rapat, terlalu banyak). Upaya lainnya melalui intensifikasi KIE individu bagi PUS unmet need.

Menyiasati kekuarangan PLKB di beberapa daerah, Rudy menyarankan agar tugas-tugas PLKB kepada pos KB yang telah memenuhi persyaratan tertentu. Caranya, pos KB dengan kualifikasi PLKB tersebut diberi legitimasi dari pimpinan daerah dan didukung dengan insentif memadai, baik dari APBD maupun maupun APBN.

“Agar mekanisme operasional ini bisa dilakukan secara optimal, maka perlu dukungan dana operasional dari APBD. BKKBN sendiri hanya mampu membiayai lima kegiatan dalam satu tahun. Berikutnya, perlu peningkatan pembinaan dan fasilitasi ke lini lapangan secara  berjenjang, mulai kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, dan dusun atau RW,” papar Rudy.(WARTA KENCANA)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top