BANDUNG | WARTAKENCANA.COM
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengukuhkan Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sekaligus Bunda Generasi Berencana (Genre) Jawa Barat Atalia Praratya Ridwan Kamil menjadi Duta Penurunan Stunting Jawa Barat di Aston Pasteur, Kota Bandung, pada Senin, 27 Desember 2021. Turut dikukuhkan bersama Atalia seluruh Bunda Genre Kabupaten dan Kota se-Jawa Barat. Hasto juga turut menyaksikan penandatangan kerjasama sosialisasi pencegahan stunting dari hulu bagi calon pengantin antara Perwakilan BKKBN Jawa Barat dan Kepala Perwakilan Kementerian Agama Povinsi Jawa Barat.
Hasto menjelaskan, pengukuhan Duta Penurunan Stunting bertujuan mendorong upaya percepatan penurunan stunting dari 27,67 persen menjadi 14 persen pada 2024 mendatang. Percepatan penurunan stunting menjadi prioritas pembangunan yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
“Substansi utamanya tentang penguatan peran kader PKK di desa dan kelurahan sebagai Tim Pendamping Keluarga (TPK) dalam percepatan penurunan stunting, terutama dalam memberikan perhatian dan pembinaan pada para remaja sehingga mereka bisa menjadi calon orang tua cerdas dan sehat yang kemudian nantinya bisa melahirkan anak-anak berkualitas. Saya juga menitipkan agar setiap desa melibatkan masing-masing satu duta Genre laki-laki dan perempuan agar pembinaan juga turut melibatkan remaja itu sendiri,” kata Hasto saat ditemui usai pengukuhan Duta Penurunan Stunting Jawa Barat.
Hasto yang mengaku sedang bungah karena baru saja mendapat laporan prevalensi stunting berhasil direduksi menjadi 24,4 persen menilai penurunan prevalensi stunting menjadi salah satu kunci terciptanya Generasi Emas 2045 mendatang. Satu dekade menjelang ulang tahun ke-100 proklamasi kemerdekaan, Indonesia diperkirakan menutup periode bonus demografi yang lagi-lagi mesyaratkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas.
“Generasi Emas yaitu generasi yang memiliki kecerdasan yang komprehensif, produktif, dan inovatif. Kemudian, sehat menyehatkan dalam interaksi alamnya. Lalu, damai dalam interaksi sosialnya dan berkarakter kuat. Dan, berperadaban unggul. Untuk mewujudkan itu, kita memiliki peluang Bonus Demografi pada 2030-2035. Kita semua tahu, periode ini hanya akan menjadi ‘bonus’ jika kita memiliki SDM berkualitas. Artinya kualitas SDM sebagai penentu. Sedangkan saat ini kita masih memiliki persoalan dalam pembangunan kualitas SDM, salah satunya adalah stunting,”papar Hasto.
Lebih jauh Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting Nasional ini menegaskan perlunya berbagai upaya percepatan penurunan prevalensi dengan cara menutup setiap celah potensi risiko yang dapat mengakibatkan anak lahir stunting. Mulai dari fase remaja, fase calon pengantin (Catin) atau calon pasangan usia subur (PUS), fase hamil, dan fase pascapersalinan hingga bayi berusia 59 bulan.
Pencegahan stunting dari hulu di mulai dari remaja dan catin. Fase remaja dilakukan dengan edukasi kesehatan reproduksi, gizi, dan penyiapan kehidupan berkeluarga. Pada fase ini setiap remaja dipastikan ketercukupan kebutuhan gizinya. Dipastikan tidak buru-buru ingin menikah, dan dipastikan tidak melakukan perilaku berisiko yang dapat menyebabkan terjadinya kehamilan di usia muda. Fase ini juga kepada remaja perempuan diberikan akses terhadap suplemen tambah darah untuk mencegah anemia. Kepada remaja laki-laki diberikan akses terhadap suplemen zink untuk menjamin kualitas sperma kelak ketika sudah menjadi pasangan.
“Fase catin merupakan fase krusial. Pada fase ini dilakukan dengan melakukan skrining, edukasi, dan pendampingan. Skrining dilakukan untuk mendeteksi faktor risiko melahirkan anak stunting pada catin/calon PUS. Setiap Catin diharuskan memeriksakan kesehatannya, terutama pemeriksaan kadar Hb, pengukuran lingkar lengan atas, dan tinggi badan serta berat badan. Hasil pemeriksaan kesehatan tersebut kemudian diinput kedalam Aplikasi Elektronik Siap Nikah dan Hamil atau Aplikasi Elsimil,” terang Hasto.
Selanjutnya, aplikasi Elsimil akan mengolah data yang diinput dan mengeluarkan hasil berupa “Kartu Kewaspadaan Stunting” atau “Sertifikat Siap Nikah dan Hamil” yang berisi kondisi risiko catin/calon PUS. Catin akan dikatakan “Berisiko” atau “Belum Ideal/Siap” jika terdapat salah satu dari lima variabel yang berada dalam kondisi belum ideal/masih berisiko. Misalnya LiLA-nya kurang dari 23,5 cm, atau Hb-nya kurang dari 12 gram per desiliter. Sebaliknya, jika semua variabelnya sudah dalam kondisi ideal/tidak berisiko, Aplikasi Elsimil akan mengeluarkan hasil bahwa catin/calon PUS tersebut “Ideal” atau “Tidak Berisiko”.
Calon pengantin, sambung Hasto, bukan saja harus mendapat edukasi. Lebih dari itu, catin diperiksa dan hasilnya ditindaklanjuti dengan intervensi sesuai rekomendasi hasil pemeriksaan. Kerjasama antara BKKBN dengan Kementerian Agama menargetkan agar setiap catin wajib menjalani pemeriksaan dalam tempo tiga bulan sebelum pernikahan.
“Kami akan kampanye terus mengenai percepatan penurunan stunting. Pada 29 Desember lusa misalnya, kami akan ke Boyolali untuk mengumpulkan catin. Mereka akan diperiksa dulu. Terus terang ini sangat murah, karena itu bisa kita lakukan secara massif,” ujar Hasto.
Bagi Hasto, upaya skrining kesehatan terhadap catin bukan hal baru. Yang membedakannya dengan ikhtiar penurunan stunting adalah fokus variabel yang menjadi faktor risiko pada catin yang menyebabkan bayi lahir stunting. Hasil skrining menjadi input bagi Tim Pendamping Keluarga (TPK) untuk ditindaklanjuti dalam proses pendampingan untuk memastikan catin mengetahui dan memahami kondisi kesehatannya (sesuai dengan hasil skrining).
Selanjutnya, memberikan edukasi tentang upaya yang harus dilakukan oleh catin untuk memperbaiki kondisi kesehatannya. Lalu, membantu menghubungkan catin dengan petugas dan fasilitas kesehatan dalam upaya memperbaiki kondisi kesehatannya. Jika terpaksa harus menikah dalam kondisi yang tidak ideal, TPK dapat memastikan catin untuk menunda kehamilan dengan menggunakan kontrasepsi.
Ditemui usai dikukuhkan menjadi Duta Penurunan Stunting, Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat Atalia mengaku sangat siap menjadi ujung tombak percepatan penurunan stunting di Jawa Barat. Terlebih Jawa Barat sudah mendeklarasikan diri untuk terbebas dari stunting pada 2023 mendatang.
“Duta Stunting ini ambigu. Seolah-olah dutanya juga stunting, padahal tidak. Nah, ini saya kira sangat tepat. Duta Penurunan Stunting. Tentu kami semua siap menggerakkan segenap potensi untuk mempercepat penurunan stunting di Jawa Barat. Kita sudah bertekad menuju zero stunting pada 2023. Jabar Juara Zero Stunting!” tandas Atalia.
Di tempat yang sama, Sekretaris Daerah Jawa Barat Setiawan Wangsaatmaja menjelaskan, Jawa Barat memiliki strategi percepatan penurunan stunting melalui tiga fokus. Pertama, fokus pada lokasi sasaran, yakni kabupaten/kota dan desa prioritas. Kedua, fokus intervensi aksi secara spesifik dan sensitif. Ketiga, fokus pada kelompok sasaran, yakni 1000 hari pertama kehidupan.
“Permasalahan stunting yang mutidimensional memerlukan upaya lintas sektor dan melibatkan seluruh stake holder secara terintegrasi melalui koordinasi serta konsolidasi program dan kegiatan pusat, daerah, hingga desa. Multisektor berarti tidak terbatas pada sektor kesehatan. Pelibatan multipihak berarti kolaborasi lintas pemangku kepentingan, baik pemerintah, dunia usaha, akademisi, media, dan lain-lain,” papar Setiawan.
Setiawan menjelaskan, melalui hasil analisis dan pemetaan, Jawa Barat telah mampu memberikan gambaran prevalensi stunting hingga level desa. Peta ini meliputi cakupan layanan, permasalahan dan potensi intervensi yang dapat menjadi progam kerjasama dengan seluruh pemangku kepentingan pembangunan, terutama corporate social responsibility (CSR).(NJ)