JATINANGOR – DUAANAK.COM
IPADI is back! Setelah sekian lama vakum, Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) kembali menggelar pertemuan ilmiah nasional kependudukan di kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), Jatinangor, Jawa Barat. Para demografer ini saling berbagi hasil penelitian, mengkaji masalah, hingga merumuskan solusi seputar wacana kependudukan dan pembangunan berkelanjutan selama tiga hari, mulai Rabu kemarin hingga Jumat besok 28 November 2014. Pertemuan ilmiah dibuka Rektor Unpad Ganjar Kurnia didampingi Sekretaris Utama Badan Kependdukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Ambar Rahayu, Perwakilan UNFPA Indonesia Jose Feraris, dan Ketua IPADI Prijono Tjiptoherijanto di Bale Sawala, kampus Unpad.
Prijono menjelaskan, acara ini diikuti perwakilan IPADI dari seluruh provinsi dan sebagian lagi dari kabupaten/kota di Indonesia. Bahkan, sebagian pemakalah berasal dari sejumlah perguruan tinggi di luar negeri. Pertemuan di bagi ke dalam dua kategori, pleno dan paralel di empat ruangan terpisah. Sesi pleno menghadirkan narasumber dari sejumlah tokoh demografi Indonesia. Adapun sesi paralel menghadirkan para pemakalah terpilih yang diundang untuk mempresentasikan makalahnya di hadapan pemakalah lain maupun peserta umum.
Sejumlah narasumber terdiri atas Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Emil Salim, pimpinan Haryono Center Haryono Suyono, Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Sudharto P Hadi, guru besar Universitas Indonesia (UI) Suahasil Nazara, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Riwanto Tirtosudarmo, Rektor Unpad Ganjar Kurnia, Kepala BKKBN Fasli Jalal, guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Siswanto Agus Wilopo, Direktur Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kementerian PPN/Bappenas Suharti. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional cum Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof A Chaniago yang semula diagendakan menjadi keynote speaker urung hadir.
Dicegat di sela pertemuan, Prijono menjelaskan, temu ilmiah para ahli demografi ini diharapkan mampu menghasilkan peta jalan (road map) pembangunan kependudukan di Indonesia. Dia menegaskan, kependudukan merupakan salah satu faktor kunci dalam pembangunan berkelanjutan. Pada pertemuan Rio + 20 di Brasil pada 2012, kepala negara dan kepala pemerintahan dalam dokumen The Future We Want menyepakati bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang berpusat pada manusia.
“Salah satu butir deklarasi menyatakan, ‘We emphasize that sustainable development must be inclusive and people-centered, benefiting and involving all people, including youth and chlidren.’ Sesuai dengan arahan dari Prof Emil (Salim) tadi, kita ingin membantu pemerintah menunjukkan roadmap yang harus dilakukan untuk pembangunan kependudukan. Selama ini kita belum punya peta ke arah sana,” kata Prijono.
Pembahasan pembangunan, sambung dia, jelas menekankan pada perlunya pembangunan yang inklusif dan berpusat pada manusia atau penduduk serta memperhatikan dinamika penduduk. Kerangka pembangunan pasca-MDGs 2015 atau Post 2015 atau Sustainable Development Goals menekankan tiga pilar pembangunan untuk menuju pembangunan berkelanjutan.
“Ketiga pilar itu adalah pembangunan sosial yang berkelanjutan, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dan pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Titik sentral dari tiga pilar tersebut adalah inklusivitas dan people centered. Artinya, manusia atau penduduk menjadi titik sentral. Meningkatnya komitmen dan perhatian terhadap isu kependudukan dalam mewarnai kerangka pembangunan harus didukung oleh semua pihak, termasuk kaum intelektual dan praktisi kependudukan,” tandas Prijono.
Butuh Sebuah Gerakan
Di tempat yang sama, Ganjar Kurnia menyebutkan perlunya sebuah gerakan untuk pengarusutamaan kependudukan maupun keluarga berencana (KB) dan pembangunan keluarga. Gerakan ini melibatkan semua kalangan, baik pemerintah maupun swasta serta masyarakat. Tanpa itu, maka mainstreaming tidak akan berhasil.
“Mungkin gagasan yang paling tepat, program KB menjadi gerakan yang melibatkan semua pihak, dari presiden sampai bawah. Kalau tidak, tidak bisa. Saya bagian dari gerakan itu. Mungkin kalau tidak ada itu, maka tidak akan ada yang peduli dengan kependudukan ini. Karena itu, semua harus digarap, seperti pesantren, Pramuka, tentara, dan lain-lain,” tandas Ganjar.
Bekas atase pendidikan di Paris, Prancis, ini mengklaim Unpad sendiri selalu bergairah setiap kali berbincang tentang kependudukan. Sebagai rektor, Ganjar kerap menjadi narasumber di banyak tempat yang di dalamnya menyoroti masalah kependudukan. Di banyak tempat itulah Ganjar getol menyampaikan bahaya yang bakal timbul manakala jumlah penduduk tidak dikendalikan. Ganjar pun dengan lantang menyebut bonus demografi sebagai bahaya. Menurutnya, banyak orang sebenarnya tidak paham bonus demografi.
“Indonesia sebetulnya sedang bermasalah dalam kependudukan. Masalah ini berpilin-pilin sehingga akan berdampak pada aspek lain. Saat ini kita dihadapkan pada masalah yang sangat serius tentang kependudukan,” kata anggota dewan penasehat Pengurus Pusat IPADI ini.
Terkait bonus demografi yang terus diulang di sejumlah tempat, menurutnya banyak orang tidak paham secara menyeluruh. Ketika rasio ketergantungan rendah menjadi alasan lahirnya periode bonus, sebenarnya jumlah penduduk terus bertambah. Bonus menjadi kehilangan makna ketika kualitas manusia Indonesia masih rendah. Dia mencontohkan, rata-rata lama sekolah di Indonesia baru tujuh tahun atau Jawa Barat 8,2 tahun. Artinya, usia produktif yang akan menanggung beban ketergantungan itu ternyata tidak sampai tamat SMP. Padahal, tantangan kependudukan ke depan sangat berat.
“Rasio ketergantungannya berkurang, tetapi total penduduk bertambah dan kualitas belum sesuai. Ini generasi bonus demografi kita. Banyak yang membicarakan bonus demografi, namun pada tahap tertentu tidak paham betul. Sebenarnya ada masalah besar dalam kependudukan kita. Butuh gerakan serius untuk menjadikan kependudukan sebagai arus utama pembangunan,” ungkap Ganjar.
“Saya berterima kasih bila indikator kependudukan sudah masuk dalam RPJMN. Dalam dokumen biasanya tidak jelas indikatornya. Misalnya pada tahun 2025 menghasilkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, tidak jelas juga indikatornya. Tetapi sudah dikatakan pada 2019 diharapkan TFR 2,3, maka clear semua orang bisa mengarah ke sana. Tapi maaf kalau bahasanya masih GBHN ataui sekarang RPJMN, yang di dalamnya tidak menyebutkan indikator-indikator yang ingin dicapai, maka sebetulnya agak sulit bagi kita,” pungkas doktor Sosiologi Perdesaan dari Universitas Paris X Nanterre, Prancis, ini.(NJP)