BANDUNG | WARTAKENCANA.COM
Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Eni Gustina menyampaikan bahwa stunting pada dasarnya tidak lepas dari tugas pokok dan fungsi BKKBN. Ini terjadi karena dalam proses pendampingan, mulai dari poses calon pengantin (Catin) hingga pascapersalinan selalu terkait langsung dengan pelayanan keluarga berencana (KB). Dalam Bahasa Eni, “Mulutnya bicara stunting, tapi kaki-tangannya bicara pelayanan KB.”
“Kami BKKBN sudah bekerjasama dengan Kemeneterian Agama dan Kementerian Kesehatan. Ketika catin datang ke KUA, kemudian diperiksa oleh petugas kesehatan, oleh petugas KB dimasukkan ke dalam aplikasi Elsimil. Ketika ditemukan risiko, intervensinya adalah pelayanan KB. Maka kita katakan, ‘Mulutnya bicara stunting, tapi kaki-tangannya bicara pelayanan KB,” ungkap Eni saat menyampaikan sambutan pada Malam Kadeudeuh Bapak Asuh Anak Stunting di Prime Park Hotel, Kota Bandung, akhir pekan kemarin.
Saat menemukan adanya calon ibu belum cukup umur untuk hamil, maka intervensi yang dilakukan adalah edukasi untuk menggunakan kontrasepsi. Saat Masih menemukan kasus anemia, maka hal yang dilakukan adalah menyarankan untuk menggunakan kontrasepsi dulu. Saran yang sama diberikan jika menemukan indeks massa tubuh (IMT) belum cukup atau dia masih kekurangan energi kronis (KEK), kontrasepsi dulu.
“Demikian juga dengan ibu hamil. Kita masukan ke dalam Elsimil. Jika ditemukan risiko, kita intervensi dulu. Ibu harus ada interval kelahiran. Karena interval ini juga sangat penting sekali. Dulu cukup dua tahun, sekarang setelah ada penelitian mutakhir menjadi tiga tahun. Yang terbaik adalah melewati lima kali masa gestasi. Jadi 4,5 tahun merupakan risiko terendah kematian ibu, risiko terendah kematian bayi, dan risiko terendah stunting. Sudah ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa lima kali masa gestasi adalah jarak terbaik untuk interval kelahiran,” Eni melanjutkan.
Pada pendampingan kepada anak di bawah lima tahun (Balita) juga demikian. Ketika menemukan seorang anak berisiko stunting, maka ibunya disarankan ikut KB. Di sinilah pentingnya identifikasi keluarga berisiko stunting karena dari data ini bisa dilakukan pendampingan selama 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Agar dapat menekan risiko tadi, sambung Eni, TPK memberikan pendampingan, baik ibu hamil dari keluarga miskin atau ibu hamil dengan penyakit tertentu atau ibu hamil dengan anemia.
“Selama ini Kementerian Kesehatan sudah memiliki penambahan makanan tambahan berupa biskusit, tetapi ternyata ini juga tidak efektif. Kita tentu tidak bisa menyalahkan, ternyata makanan tambahannya ada di pos jaga atau makana tambahannya menjadi suguhan. Ini tidak sesuai dengan sasaran. Untuk itu, kami berterima kasih sekali kepada babinsa yang sudah menggerakkan pelayanan KB maupun bersama-sama melakukan identifikasi keluarga berisiko stunting untuk kemudian bersama-sama melakukan penggerakkan,” papar Eni.(NJP)
Mulut Bicara Stunting, Kaki-Tangan Bicara KB
BANDUNG | WARTAKENCANA.COM
Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Eni Gustina menyampaikan bahwa stunting pada dasarnya tidak lepas dari tugas pokok dan fungsi BKKBN. Ini terjadi karena dalam proses pendampingan, mulai dari poses calon pengantin (Catin) hingga pascapersalinan selalu terkait langsung dengan pelayanan keluarga berencana (KB). Dalam Bahasa Eni, “Mulutnya bicara stunting, tapi kaki-tangannya bicara pelayanan KB.”
“Kami BKKBN sudah bekerjasama dengan Kemeneterian Agama dan Kementerian Kesehatan. Ketika catin datang ke KUA, kemudian diperiksa oleh petugas kesehatan, oleh petugas KB dimasukkan ke dalam aplikasi Elsimil. Ketika ditemukan risiko, intervensinya adalah pelayanan KB. Maka kita katakan, ‘Mulutnya bicara stunting, tapi kaki-tangannya bicara pelayanan KB,” ungkap Eni saat menyampaikan sambutan pada Malam Kadeudeuh Bapak Asuh Anak Stunting di Prime Park Hotel, Kota Bandung, akhir pekan kemarin.
Saat menemukan adanya calon ibu belum cukup umur untuk hamil, maka intervensi yang dilakukan adalah edukasi untuk menggunakan kontrasepsi. Saat Masih menemukan kasus anemia, maka hal yang dilakukan adalah menyarankan untuk menggunakan kontrasepsi dulu. Saran yang sama diberikan jika menemukan indeks massa tubuh (IMT) belum cukup atau dia masih kekurangan energi kronis (KEK), kontrasepsi dulu.
“Demikian juga dengan ibu hamil. Kita masukan ke dalam Elsimil. Jika ditemukan risiko, kita intervensi dulu. Ibu harus ada interval kelahiran. Karena interval ini juga sangat penting sekali. Dulu cukup dua tahun, sekarang setelah ada penelitian mutakhir menjadi tiga tahun. Yang terbaik adalah melewati lima kali masa gestasi. Jadi 4,5 tahun merupakan risiko terendah kematian ibu, risiko terendah kematian bayi, dan risiko terendah stunting. Sudah ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa lima kali masa gestasi adalah jarak terbaik untuk interval kelahiran,” Eni melanjutkan.
Pada pendampingan kepada anak di bawah lima tahun (Balita) juga demikian. Ketika menemukan seorang anak berisiko stunting, maka ibunya disarankan ikut KB. Di sinilah pentingnya identifikasi keluarga berisiko stunting karena dari data ini bisa dilakukan pendampingan selama 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Agar dapat menekan risiko tadi, sambung Eni, TPK memberikan pendampingan, baik ibu hamil dari keluarga miskin atau ibu hamil dengan penyakit tertentu atau ibu hamil dengan anemia.
“Selama ini Kementerian Kesehatan sudah memiliki penambahan makanan tambahan berupa biskusit, tetapi ternyata ini juga tidak efektif. Kita tentu tidak bisa menyalahkan, ternyata makanan tambahannya ada di pos jaga atau makana tambahannya menjadi suguhan. Ini tidak sesuai dengan sasaran. Untuk itu, kami berterima kasih sekali kepada babinsa yang sudah menggerakkan pelayanan KB maupun bersama-sama melakukan identifikasi keluarga berisiko stunting untuk kemudian bersama-sama melakukan penggerakkan,” papar Eni.(NJP)