Home / Berita Utama / Anak Keluarga TKI Rawan Mengidap Masalah Sosial

Anak Keluarga TKI Rawan Mengidap Masalah Sosial

Kepala BKKBN Fasli Jalal  berbincang dengan anak keluarga TKI di BKB Kemas "Melati" Indramayu. (NAJIP HENDRA SP/DUAANAK.COM)

Kepala BKKBN Fasli Jalal berbincang dengan anak keluarga TKI di BKB Kemas “Melati” Indramayu. (NAJIP HENDRA SP/DUAANAK.COM)

INDRAMAYU – DUAANAK.COM

Anak-anak yang lahir di keluarga tenaga kerja Indonesia (TKI) teridentifikasi lebih rentan terhadap masalah sosial. Pada umumnya, mereka lebih banyak bermasalah dengan teman sebayanya. Fenomena ini muncul akibat berubahnya pola asuh dalam keluarga akibat kepergian orang tua, terutama sosok ibu, ke luar negeri.

Demikian salah satu poin yang mengemuka dalam ringkasan eksekutif “Pembangunan Model Integratif Solusi Strategik Dampak Migrasi TKI ke Luar Negeri terhadap Keluarga yang Ditinggalkan” yang diterbitkan Direktorat Analisis Dampak Kependudukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Studi kasus dilakukan di Kabupaten Indramayu.

Studi ini menyebutkan bahwa pola asuh di dalam keluarga sangat menentukan perkembangan kepribadian anak sekaligus sangat menentukan kualitas anak itu sendiri. Konsekuensi logis dari perginya perempuan, terutama yang sudah berumah tangga dan mempunyai anak, adalah banyaknya anak yang kehilangan kasih sayang. Parahnya lagi, anak kehilangan sentuhan kasih sayang pada usia pertumbuhan dan perkembangan puncak (golden ages), yaitu usia balita dan sekolah dasar.

Kelaziman dalam keluarga migran adalah beralihnya tugas ibu kepada suami. Seorang istri yang menjadi tenaga kerja wanita (TKW) bertugas mendari nafkah, sementara tugas, posisi, peran seorang ibu digantikan oleh suami. Pada suami TKW pada akhirnya menghadapi berbagai masalah, seperti sulitnya menjalankan peran-peran dalam mengatur rumah tangga tanpa istri, kesepian, dan pengisian waktu luang untuk mencegah perzinaan.

Dalam focus group discussion (FGD) di Desa Tinumpuk, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, terungkap adanya ketimpangan struktur keluarga yang berpengaruh langsung terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga. Akibatnya, norma kecil keluarga bahagia sejahtera menjadi sulit terwujud. Pada saat yang sama, ketahanan keluarga berkurang yang pada gilirannya berakibat pada gangguan keluarga dan perceraian.

Hasil studi juga menunjukkan anak-anak dari keluarga TKI yang tumbuh dan berkembang tanpa orang tua lengkap cenderung lebih bandel. Mereka lebih banyak bolos sekolah dan memilih menghabiskan waktu untuk bermain-main. Orang tua pengganti dari kalangan keluarga besar TKI biasanya kesulitan mengontrol perilaku anak karena tidak leluasa dalam memperlakukan anak-anak titipan tersebut. Fenomena ini tampak dari sebuah wawancara yang dilakukan tim peneliti dengan keluarga TKI di Desa Tinumpuk.

“Adi kita wis cerai, miang meng luar dadi ponakan tinggal bari kita bari buyite, Abdul Manaf, masih TK tapi bli gelem manjing sekolah dipaksa-paksa gah, kitae emong maksa-maksa bokat bocae otake anu kah.” (Adik saya sudah cerai, pergi ke luar (jadi TKI), sehingga ponakan tinggal bersama saya dan neneknya, Abdul Manaf. Masih TK tapi tidak mau sekolah. Sudah saya paksa juga tapi saya tidak mau memaksa sekali takut otak anaknya nanti bagaimana).

Hasil studi ini BKKBN ini tampaknya senada dengan temuan  Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK-UGM) yang melakukan penelitian di Sukabumi, Tasikmalaya, Ponorogo, dan Tulungagung pada 2010 lalu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga migran internasional mengalami risiko ketelantaran dalam pengasuhan, pendidikan, dan kesehatan. Anak-anak TKI teridentifikasi lebih banyak memiliki gejala problem sosial. Sebaliknya, keluarga nonmigran mengaku lebih bahagia dibandingkan anak-anak dari keluarga migran.

Sementara itu, saat ini diperkirakan terdapat sekitar 6,5 juta TKI berada di luar negeri. Mereka tersebar di 30 negara di dunia. Kuatnya motivasi akibat tekanan ekonomi keluarga disinyalir menjadi pemicu utama kepergian tenaga kerja Indonesia ke negeri, termasuk ke negara-negara yang sebelumnya diketahui rentan terhadap terjadinya kekerasan terhadap tenaga kerja. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) mencatat, dari 10 besar daerah pengirim TKI ke luar negeri, Kabupaten Indramayu menempati urutan pertama. Berikutnya berturut-turut adalah Lombok Timur, Cilacap, Cirebon, Lombok Tengah, Cianjur, Malang, Brebes, Kendal, dan Karawang.(NJP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top