Home / Berita Utama / Jabar Idola Pekerja Migran

Jabar Idola Pekerja Migran

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat Hening Widiatmoko (DOK. LITERA MEDIA)

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat Hening Widiatmoko (DOK. LITERA MEDIA)

Ada gula, ada semut. Begitu pepatah bilang. Bila lapangan kerja diibaratkan gula, maka pekerja adalah semutnya. Begitulah Jawa Barat. Sebagai provinsi dengan seabrek industri strategis, wajar bila kemudian mengundang kehadiran pekerja dari seantero penjuru negeri.

Tentu Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat Hening Widiatmoko tak sedang berkeluh kesah. Apalagi mencari kambing hitam. Sorotan Widi, sapaan akrabnya, terhadap derasnya kedatangan pekerja migran ke Jawa Barat lebih dimaksudkan untuk menganalisis dinamika ketenagakerjaan yang memang menjadi tugasnya. Meski tidak bisa digeneralisasi, Widi mengungkapkan bahwa di sejumlah daerah pekerja migran lebih dominan ketimbang urang Jawa Barat pituin.

Yang kemudian Widi sesalkan adalah para migran tersebut tidak mampu menembus pasar kerja. Akhirnya, mereka menumpuk di sejumlah kantung pengangguran. Mereka inilah yang kemudian menambah rumit benang kusut ketenagakerjaan di Jabar. Dengan jumlah angkatan kerja lebih dari 20 juta orang dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) nyaris menembus dua digit, wajar bila kemudian Widi makin puyeng. Bagaimana pun, ketika mereka sudah masuk ke wilayah Jawa Barat, maka tugas pemerintah provinsi untuk menanganinya.

“Migrasi menjadi salah satu fenomena yang melekat dengan dunia ketenagakerjaan di Jawa Barat. Kalau dilihat siapa dan dari mana mereka, ini relatif sulit diidentifikasi. Migran-migran ini kebanyakan menetap di Bogor atau daerah industri lain. Niatnya cari kerja, jadi penduduk di sana (Bogor, red). Akhirnya, jadi masalah bagi Bogor itu sendiri. Penduduk Bogor sendiri udah banyak memang, paling banyak di Jawa Barat. Dengan angka 200 ribu penganggur, mereka sebagai penyumbang terbesar. Bogor dan Bandung merupakan pusat kedatangan para migran,” ujar Widi saat ditemui di kantornya belum lama ini.

Peraih magister demografi dari The University of Adelaide yang tesisnya tentang pekerja migran di Jabar ini mafhum bila ternyata para migran terkonsentrasi di beberapa daerah. Kembali ke rumus kuno tadi, “Ada gula, ada semut.” Kota-kota industri secara alamian menjadi destinasi favorit para migran. Atas alasan itulah Widi bisa memahami ketika migran lebih memilih Bekasi ketimbang Cirebon atau Bogor ketimbang Ciamis. Secara umum, tingkat migrasi masuk (in-migration) di Jabar memang terbilang tinggi.

Hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 lalu menunjukkan, angka migrasi risen (recent migration) di Jawa Barat berkisar pada angka di atas 500 ribu. Angka ini menempati peringat nomor wahid di Indonesia. Angka absolut ini memang lebih bila dikonversi ke dalam persentase. Persentase migrasi risen Jabar yang “hanya” 5 persen masih di bawah Kepulauan Riau yang hampir menyentuh angka 15 persen. Ihwal migrasi risen ini, SP 2010 menggunakan definisi, “Recent migration menyatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai migran bila tempat tinggal waktu survei berbeda dengan tempat tinggal lima tahun sebelum survei.” Dengan demikian, para migran ini datang ke Jawa Barat dalam kurun waktu lima tahun ke belakang.

Menariknya, industri atau dunia usaha bukan satu-satunya pemicu migrasi. Widi mencatat, lembaga pendidikan turut mengundang kedatangan migran. Mengapa bermasalah? Lagi-lagi berhubungan dengan dunia usaha. Merasa nyaman tinggal di Jawa Barat, sebagian lulusan perguruan tinggi di Bandung atau kota lain di Jawa Barat memilih mencari pekerjaan dan menetap di Jawa Barat. Yang membuat Widi sedih, di beberapa daerah, warga lokal hanya menjadi penonton. Pada saat bersamaan, permintah daerah tidak berwenang membatasi kedatangan arus migrasi.

“Pernah Pemerintah Kabupaten Karawang menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang isinya pembatasan tenaga kerja dari luar daerah. Di sana disebutkan, perusahaan wajib merekrut 60 persen dari tenaga kerja yang dipekerjakan berasal dari penduduk Karawang. Perda ini kemudian dianulir Kementerian Dalam Negeri. Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri menilai perda tersebut diskrminatif. Sesuai undang-undang, setiap warga negara berhak tinggal di wilayah Republik Indonesia. Artinya, pembatasan bukanlah solusi untuk menekan arus migrasi,” terang Widi.

 

Kuncinya adalah Daya Saing

Ketika cara-cara represif atau diskriminatif tidak diperkenankan dalam menyelesaikan migrasi yang teramat tinggi, Widi pun mengajak untuk kembali kepada persoalan mendasar. Yakni, seseorang mempekerjakan orang lain manakala dia dianggap mampu dan bisa bekerja. Kalau sudah begitu, maka daya saing menjadi satu kunci penting. Selain dibangun melalui pendidikan, daya saing juga sangat ditopang soft skill yang dimiliki masing-masing pekerja. Tidak kalah pentingnya adalah preferensi dari pihak lain.

Hasil penelusuran yang dilakukan Disnakertrans Jabar, di kalangan pengusaha berkembang adanya anggapan bahwa pekerja migran lebih menguntungkan perusahaan. Asumsinya, migran yang datang dari provinsi lain tujuannya betul-betul mencari kerja. Sebagai pendatang, dia tidak punya pilihan selain bekerja. Sehingga, mereka cenderung dapat diarahkan. Ini kontras dengan pekerja lokal yang cenderung merasa memiliki positioning lebih kuat. Sejauh penelurusan Widi, pekerja lokal dianggap sering meminta izin tidak masuk kerja dan memiliki etos kerja rendah.

“Perantau cenderung menerima kenyataan bahwa dia itu perantau, gak punya pilihan selain bekerja. Orang lokal lain lagi. Izin tidak masuk karena hajat atau apalah. Terus karena mereka merasa orang situ, etos kerjanya kurang bagus. Kita boleh mengatakan ini salah, pengusaha-pengusaha itu salah, seharusnya tidak boleh membedakan seperti itu seharusnya. Tapi kenyataan dalam kondisi sekarang, ketika ada keharusan produtivitas perusahaan itu tinggi, maka semua karyawan tidak boleh punya pikiran lain selain dia betul-betul bekerja dengan fokus,” papar Widi.

Dampak migrasi mengarah ke mana-mana. Salah satunya menyangkut budaya. “Makanya saya bilang Jawa Barat itu dipengaruhi oleh migrasi yang akhirnya merambah ke mana-mana. Saya gak terlalu heran apabila efek yang lain seperti budaya mucul. Coba di satu komunitas di perusahaan ada pendatang dari Jawa. Dari 10 itu, 3 orang Jawa. Akhirnya bahasa Indonesia dulu kan. Terus di antara mereka sama-sama orang Jawa pake bahasa Jawa. Terus orang Sunda gimana? Apalagi komposisinya terbalik 60:40, lebih banyak orang jawanya, habis sudah. Boro-boro pake bahasa Sunda, pake bahasa Indonesia saja mungkin tidak,” Widi mencontohkan.

Meski begitu, Widi mengaku tidak pesimistis menghadapi kondisi tersebut. Bila perusahaan cukup bijak, sambung duia, maka dia akan patuh pada sebuah pepatah: Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Dia berharap perusahaan mengakomodasi warga lokal agar kehadiran perusahaannya turut merasa dimiliki masyarakat. Dengan begitu, kemungkinan munculnya sengketa perburuhan bisa diminimalisasi. Bahkan, Widi mengaku menemukan di beberapa tempat masyarakat ikut turun membendung aksi massa yang didalangi serikat pekerja yang berunjuk rasa secara berlebihan.

Nah, menyiasati rendahnya daya saing tersebut, Widi kini concern memberikan pelatihan dan pendampingan kepada calon pekerja di Jawa Barat. Cara ini ditempuh dengan memberikan serangkaian pelatihan, baik berjenjang sesuai standar pelatihan pendidikan nonformal maupun dengan memberikan pelatihan praktis. Tulisan lengkap mengenai peningkatan daya saing tenaga kerja Jawa Barat disajikan dalam rubrik Seputar OPD. Pada saat yang bersamaan, Disnakertrans juga menjalankan fungsi intermediasi antara pekerja dan pengusaha. Ketika perusahaan membutuhkan pekerja dengan kualifikasi tertentu, maka tim Widi secara gesit menelusuri daftar pencari kerja yang sudah terlebih dahulu disiapkan. Pihaknya juga memberikan pelatihan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan perusahaan.

Pada akhirnya, dengan serangkaian kerja sistematis dan terukur tersebut Widi berharap urang Jawa Barat bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Eh, di provinsi sendiri. (NJP)

One comment

  1. Nirvana Paradiso

    Meski setiap warga negara memiliki hak untuk hidup dan menetap di seluruh wilayah RI, namun perlu ada regulasi khusus untuk mengatur migrasi. Lebih dari itu, keberpihakan pemerintah daerah diharapkan mampu memproteksi warga Jawa Barat dari ancaman “pendudukan” oleh warga lain. Ulah nepi jati kasilih ku junti. salam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top